Ciuman perpisahan tadi, suamiku, hanya sejenak melepaskan beban, setelah itu yang tertinggal hanyalah nyeri kehilangan. Lalu, kita akan menyusuri perjalanan sendiri-sendiri. Di mana pun bandara, entah di El Tari Juanda, Husein Sastranegara, atau di Soekarno-Hatta, aku senantiasa sadar diri, ini adalah gerbang kedatangan dan kepulangan yang membuat diriku sedemikian melankoli. Sebuah perasaan yang semestinya tak harus kuikuti.
Aku merasa, pelukanmu masih tertinggal di jiwaku, juga aku masih membayangkan jemarimu menggenggam lenganku seperti saat kita berdua menyusuri sunyi di Sumlili, mata kita saling berpandangan mengeja keraguan di persimpangan Oekabiti. Mungkin aku masih bermimpi. Sore lalu, kita masih mencari durian di jalan Puputan, lalu menelusuri bentangan jalan di Nusa Dua. Engkau berkata,”Kadang aku merasa hidup itu seperti mimpi.” Kemudian, engkau bercerita tentang sebagian kisah perjalanan hidupmu di Toronto keindahan Paris, Boston dan London, juga Swedia. Engkau bercerita tentang kanal dan kincir angin di Belanda, serta musim semi di Jerman. “Aku ingin bersamamu melewati jembatan San Francisco, dan menyusuri gurun untuk mencapai Idaho.” Aku melamunkan engkau sendirian begitu lama di Everett, membelah musim di antara salju-salju yang menepuk-nepuk jendela apartemen. “Hidup memang mimpi itu sendiri,” kataku menimpali.
Kau tahu, aku selalu tergugu, menelan kerinduanku menyelimuti tubuhmu kala engkau tertidur lelap. Membuka pagimu dengan membuatkan secangkir cokelat hangat, lalu duduk tenang berhadapan di meja makan, sambil menunggumu sarapan. Aku ingin bercerita padamu, bahwa aku bertemu kunang-kunang tadi malam, dan capung merah di kolam kemarin siang. Aku berjumpa jangkrik dan juga belalang sembah. Aku menyisihkan sedikit makanan untuk burung-burung yang menyambangi halaman sembari membayangkan ada berapa tetes kira-kira air hujan yang akan turun dari pelataran awan, seraya menerka-nerka, dari arah mana nanti angin akan bertiup. Hatiku demikian berbunga-bunga menatap pendar-pendar warna langit, dan tetumbuhan di bukit-bukit serta wajah cerah para petani.
Di Ngurah Rai, pesawat datang dan pergi dengan kisahnya masing-masing. Seperti kita hampir selalu naik pesawat sendiri-sendiri, dan arah perjalanan yang seringkali berbeda. Kita bertemu sesaat, setelah itu berpisah begitu lama. Ketika aku naik pesawat nanti menuju Husein Sastranegara, aku berjanji akan melarutkan semua duka, seraya menghibur diri, bahwa kita adalah pasangan istimewa.
(Denpasar, 12 Februari 2014)