Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Aku sudah Memaafkan Papa, Ma

6 Desember 2021   09:12 Diperbarui: 6 Desember 2021   09:22 176 5


Pagi itu ketika kami jalan santai keluar kompleks penginapan di Cisarua, Rara tiba-tiba bertanya, "Nur, menurut kamu aku ini ada tipe tipe masokis ga sih?"

What???? "Maksud kamu?"

"Ups, maksudku, dalam pandangan kamu, aku punya kecenderungan kayak orang yang menyukai kekerasan 'ga?" .

Aku merasakan lututku gemetar, sementara Rara terlihat melangkah dengan ringan. Dia berhasil membuatku terkejut tanpa persiapan. Oh, tentu saja. Mana ada kejutan terjadi dengan persiapan?

Subuh tadi, aku keluar kamar penginapan dan berdoa di teras. Doaku begini, "Tuhan, aku ingin Rara menceritakan apa yang ia alami dan rasakan. Aku bersedia mendengarkan keluhannya atas perlakuan Sahat. Aku mencoba mendengarkan saja dulu, sambil kalau bisa memberinya sedikit sudut pandangan berbeda. Namun kalau dia belum mau, tak apa. Aku mengajaknya hang out ke sini hanya untuk memberitahu dia bahwa dia aman bersamaku.

Sesudah berdoa, aku meneruskan tidur. Dan inilah yang terjadi ketika kami jalan pagi setelah mandi dan sarapan. Tuhan menjawab doaku dengan cara yang tidak kupersiapkan sebelumnya. Tuhan, tahukah Engkau kalau lututku gemetar?

"Ra, gimana kamu sampai berpikir begitu? Elo sendiri apa yang elo rasakan?"

"Aku masih terbawa omongan si Citra, Nur."

"Omongan yang mana?" aku mencoba menebak-nebak. Jangan-jangan, omongan Citra tempo hari, yang mengolok Rara sebagai orang altruis yang nggak ada juntrungannya. Pahlawan kesiangan yang terjangkit sindrom heroisme.

"Omongan dia yang pedes banget. Yang akhirnya kamu belain aku. Yang akhirnya si Citra terpaksa diem setelah kamu memotong omongan dia."

 Yaaaa, betul 'kan tebakanku. Pasti itu yang dia maksud.


***

Peristiwa lima hari lalu, kala Rara mengadu kalau Sahat mendorong dia ketika sedang jalan-jalan di mall. Respons kami seragam: tinggalkan Sahat dan tenangkan diri. Biar kami yang berbicara pada Sahat.

Rara menerima saran kami. Namun setelah itu dia seolah berbicara pada dirinya sendiri, "Mungkin aku hadir supaya bisa menolong dia ya?" Tapi rupanya pengakuan Rara menimbulkan kesewotan Citra. Dia setengah memaki Rara dan menyebut gadis itu sebagai pahlawan kesiangan.

Aku segera menengahi. Aku bilang pada Citra, hentikan komentar dia pada seseorang yang sedang bingung dengan apa dialaminya. Dia menerima Sahat dengan tulus, tapi tak menduga kalau Sahat sering menyakiti. Aku sampai hafal kapan Rara mengadu kalau Sahat menghina dia, hafal kapan Sahat kemudian meminta maaf berkali-kali dan hafal kapan Sahat mengulangi perbuatannya, berikut hafal kapan Rara akan melebarkan toleransinya pada Sahat.

Aku pikir, hentikanlah semuanya di sini. Sonya yang turut hadir di situ mengajakku menyingkir sebentar. Ia minta aku mengajak Rara bicara dari hati ke hati.


***


Kami ingin kembali ke topik inti tentang dugaan Rara atas dirinya. Ah, rasanya dia tidak mengidap sindrom masokisme. Menurutku, Rara masih sebatas ingin menjadi penolong bagi semua orang. Dan ini yang dimanfaatkan oleh Sahat.

"Lebih baik Sahat menghadapi ayahnya. Mengapa ia kerap dipukul dan direndahkan sedemikian? Bukan menjadikan kamu pelampiasan," kataku.

Rara terdiam.

"Banyak perempuan dihinggapi perasaan useless kalau tidak berbuat sesuatu. Ini pasti gara-gara sejak kecil kita dicekoki dengan pemahaman yang keliru. Perempuan bernilai kalau ini dan itu. Kalau tidak seperti ini dan itu, kita bukan perempuan baik. Nah, kamu merasa useless 'kan, kalau tidak menolong Sahat. Padahal yang bisa menolong Sahat adalah dirinya sendiri. Maksudku, dia mesti bicara pada ibunya tentang luka-luka akibat perlakukan ayahnya."

Kami semua sudah tahu kalau ayah Sahat sudah meninggal beberapa tahun yang lalu.

"Aku perlu menemani Sahat?" tanya Rara.

Aku bimbang menjawab pertanyaan Rara. Terakhir mereka bertemu, situasinya tidak baik. Sahat mendorong tubuh Rara di keramaian dan itu cukup untuk mempermalukan sahabat kami. Tetapi Rara belum menyelesaikan persoalan mereka. Sialnya, Sahat tidak meminta maaf sampai hari ini.

***

Sahat tampak tidak senang ketika kami membahas kejadian di mall. Itu urusan privat, katanya. Persetan, kejadiannya di tempat umum dibilang urusan privat? Bahkan kalau tidak ada saksi pun persoalan ini bisa dibawa ke ranah hukum. "Hat, elo kayak nggak pernah makan sekolahan aja. Zaman sekarang, kekerasan dalam bentuk apapun bisa diperkarakan," nada suara Ita mulai meninggi.

Tapi bukan itu tujuan utama kami bertemu Sahat. Kami ingin menawarkan supaya dia berbicara dengan ibunya. Tapi kami tidak melihat celah itu. Wajah Sahat memerah menahan marah. Syukurlah Puji bertindak cepat. Ia berjalan ke arah Sahat duduk lalu menepuk pundaknya perlahan.

"Hat, kami hanya ingin elo menyelesaikan masa lalu elo dengan bokap melalui nyokap. Kasihan Rara kalau tiap ada masalah, elo mukul dia. Kamu sahabat kita semua. Ayolah men, hadapi masalah lo. Kita nggak akan ninggalin elo kok." Aku melihat Puji berusaha tenang ketika berbicara.


***

Ternyata, tidak mudah membicarakan soal yang satu ini dengan ibunya. Tante Ros, menganggap tidak terlalu penting lagi membahas perlakuan suaminya semasa hidup. Lagipula katanya, anak laki-laki harus dididik keras. Dipukul itu sudah biasa.

"Kenapa kau mempersoalkan bapakmu lagi? Dia sudah tenang di sana. Kau kan juga sudah berbicara lantang di depan jenazah bapakmu waktu acara adat tiga hari itu?" tantang Tante Ros.

Sahat menjadi frustrasi. Ayahnya bukan hanya sering memukulinya sampai ia usia SMA, juga suka merendahkan harga dirinya. Itu sebabnya Sahat ingin cepat-cepat pergi dari rumah dan tidak lagi bertemu ayahnya kecuali untuk urusan berapa SKS ia ambil setiap semester. Beruntung, seluruh keperluan kuliah diurus ibunya. Ayahnya hanya mengontrol nilai-nilai kuliah dan lulus tepat waktu. Sahat memang lulus lebih cepat dari target.
Tetapi dendam masih terus membayangi lelaki itu. Sialnya, hampir semua kawan-kawan sepermainan menganggap lumrah kalau anak dipukul ayahnya. Kalau bapak kita lembek, nggak bakalan kita kuliah di kampus terbaik ini Hat, kata mereka selalu.

Akhirnya Sahat menyimpan luka jiwanya bertahun-tahun tanpa berani mengungkapkan kepada siapapun. Kecuali Rara. Sahat berani terbuka kepada gadis itu, namun kadang tanpa rasa hormat.


***

Suatu hari Rara nekad menemui Sahat. Menanyakan apa yang terjadi dan apa yang bisa ia bantu. Tapi Sahat hanya menjawab seadanya dan meminta Rara jangan dulu menemuinya sampai ia siap. Ia hanya menceritakan sekilas rencananya.

"Aku ketemu sama namboru Amie minggu lalu. Kamu masih ingat kan dia? Yang pernah kuceritakan dulu, yang kerja di Kalimantan. Bou Amie mengajakku ikut pertemuan pria sejati minggu depan. Kamu tahulah, aku paling alergi ikut kegiatan-kegatan seperti itu. Tapi kali ini aku mau coba datang. Sekedar ingin tahu saja."

Rara mengangguk. Ia tak keberatan untuk tidak bertemu Sahat dulu meskipun sedikit merasa kehilangan. Kalau Sahat merasa lebih nyaman ditolong oleh orang lain, ya sudahlah. Semoga berhasil, harapnya.

***

Rara merasakan ketegangan yang menyiksa karena sudah berhari-hari  Sahat tidak memberi kabar. Dari Tante Amie, ia hanya diberitahu kalau Sahat hadir dalam pertemuan tersebut seminggu sekali. Seseorang ditugaskan menjadi mentor (pembimbing)nya. Tante Amie menghibur Rara bahwa Sahat membutuhkan waktu untuk tenang. Dia tidak menghubungi Rara bukan karena abai, semata-mata karena butuh sendirian.

"Kamu doakan dia saja Ra. Sahat sedang dalam proses pemulihan. Itu tidak mudah. Aku juga sedang berusaha menjelaskan kenapa Bang Igor memperlakukan anak laki-lakinya sangat keras. Abang dulu hidupnya susah. Kami tujuh bersaudara hidup terpisah. Kebetulan dia tinggal dengan Mamatua yang galaknya minta ampun."

Ada kira-kira dua jam Tante Amie bercerita. Diselingi beberapa pertanyaan Rara. Ternyata, banyak yang ia tidak tahu tentang Sahat. Jadi, apa artinya berpacaran empat tahun kalau hanya sedikit saja yang ia tahu tentang Sahat?

***

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun