"Aku mau makan bakso, Ma," jawabnya penuh semangat.
"Bakso lagi?" tanya ibunya.
Si bocah mengangguk riang. Ya, bakso lagi. Yang tempatnya di sudut pasar sentral tempat ibunya biasa berjualan serta berbelanja kebutuhan dapur.
"Baiklah. Kita ke sana. Tapi ingat ya, jangan pakai sambal," nasihat sang mama.
"Iya."
Sambal adalah kegemaran si bocah yang masih berumur 7 tahun itu. Meski sering berkeringat kepanasan, ia tetap saja mencari sambal setiap kali makan di luar. Sedangkan ia anti makanan pedas. Entah sejak kapan. Mungkin sejak ayah si bocah pergi tanpa pamit dan meninggalan hati yang pedas di hatinya. Atau barangkali ada sebab lain.
Mereka menemukan bangku yang masih kosong di dekat perapian. Anaknya lebih senang duduk di ujung ketimbang di tengah. Meski ibunya berkali-kali meminta si bocah pindah duduk, tak akan mempan. Alasil, tampaklah pemandangan yang ganjil; dua ibu duduk bersebelahan, di pinggir dan di tengah, sementara si bocah duduk di tepi yang lain.
Karena itu, kali ini ia membiarkan ketika Nehemia, nama bocah itu, segera menentukan posisi duduknya. Ia mengapit ibunya bersama ibu yang satu lagi di ujung yang lain.
Sang mama tersenyum. Sambil menungu bakso dihidangkan, mereka menikmati teh manis panas yang sudah lebih dahulu dipesan.
Sembilan tahun lalu, tempat ini masih asing bagi keduanya. Sejak perempuan itu masih bersama suaminya, dan bahkan ketika si kecil lahir, ia hidup nyaman di rumah. Segala kebutuhan tercukupi dari gaji si kepala keluarga. Karena itu ia tak pernah diizinkan bekerja di luar rumah, apalagi berjualan soto seperti yang kini dilakukannya.
Lalu Nehemia lahir. Kabahagiaan mereka semakin lengkap.
Tetapi di tanggal 31 Desember, ketika beberapa jam lagi hendak menutup tahun, suaminta tidak pulang ke rumah. Mbak Narsih, asisten rumah tangganya menitipkan amplop tebal kepadanya. Di sampul tertulis "Buat makan-makan malam tahun baru".
Perempuan itu terduduk lemas. Untuk apa uang setebal ini kalau papanya Nehemia tidak ada?
***
Beberapa bulan kemudian barulah ia tahu lelaki itu sedang mempersiapan pernikahan keduanya dengan seorang perempuan pilihan keluarga.
Ia tak kuasa menolak. Dulu mereka menikah tanpa restu orangtua. Hidup mapan di kota kecil dan membangun keluarga bahagia. Tetapi beberapa tahun kemudian ayah mertuanya meninggal dan ibu mertua meminta anak lelaki sulung itu, satu-satunya lelaki di keluarga itu kembali. Bukan hanya itu, ia juga dijodohkan dengan perempuan yang dianggap lebih cocok ketimbang dirinya.
Lalu nasibnya di ujung tanduk.
Dan tanpa permohonan apapun, temasuk maaf, lelaki itu pamit dari rumah. Semua urusan perceraian ditangani oleh pengacara keluarga.
Sembilan tahun lalu, tanggal 31 Ddesember itu, ia dan anak lelaki satu-satunya menutup lembar kehidupan bersama suami dan sang ayah. Perempuan itu kemudian memasuki awal tahun dengan hati yang getir. Anaknya hanya dua kali merasakan pengalaman berpesta tahun baru. Setelah itu tidak. Kini, tanggal 1 Januari hanya sebuah tanggal. Tanggal yang sama dengan penanda hari-hari lainnya.
Ketika Nehemia belum lagi 5 tahun, ia tak pernah lagi menanyakan mengapa setiap tanggal 31 Desember ada ramai-ramai di luar rumah. Misalnya, menanyakan ulangtahun siapa sehingga semua orang merayakannya.
Seperti hari ini. Tanggal 31 Desember, tetap menjadi hari biasa. Hanya sedikit ramai oleh lalu-lalang pembeli dan penjual. Mulai dari kulit ketupat sampai terompet. Mulai dari anak-anak seusianya sampai nenek-nenek seusia perempuan yang pernah datang ke rumah ibunya di kampung halaman.
Tanggal 31 Desember ibunya tidak berjualan. Tetapi ia diajak ke pasar untuk makan di tempat yang ia sukai. Sambil bertanya, "Kamu ingin makan apa?"
Ia suka sekali bakso. Apalagi kalau di mangkuk itu ada potongan lemak yang kenyal dan gurih.
Kalau ibunya tidak menawarkan mau makan apa, mereka hanya makan nasi, ikan kering, dan sayur tumis. Itu saja sehari-hari. ***