Bagaimana mungkin aku bisa acuh sementara kalian terduduk lebih lima hari disitu?
Bagaimana mungkin aku bisa lelap sementara angin malam menggerayangi raga kalian, Rakyatku?
Otakku sakit, perutku terus menerus mules. Aku membayangkan situasi yang pasti bertambah runyam. Ketidakpopuleran Sang Pemimpin menjadi ancaman. Padahal di semua tempat kerap menebar aura bersahabat. Lembar demi lembar puluhan bahkan ratusan ribu bukanlah kiraan.
Meski aku tegak menghadap mimbar tadi pagi, tapi kelokan mataku tertuju kesudut situ. Kalian terduduk entah sambil berpikir apa. Yang jelas sudah lebih lima hari kalian berada disana. Seorang wanita memasak sesuatu di kuali. Beberapa kardus air mineral murahan terlihat teronggok di sampingnya. Seorang anak merengek di gendongan ibunya. Mungkin ia masuk angin karena semalaman tertidur di areal terbuka.
Tadi sempat kuabadikan beberapa photo kalian yang sedang menuntut hak (hanya itu yang bisa aku lakukan). Sekilas ku lihat kalian bukanlah penjual cabe ataupun tomat, apalagi kangkung ataupun bayam. Wajah-wajah kalian terlihat bersih. Semoga niat kalianpun tak kalah suci.
Menyesal sekali aku tak berada di ring satu. Tempat para pembesar negeri ini bermusyawarah selalu. Apakah aku terlalu muda untuk berada disitu atau terlalu lugu hingga tak perlu tahu? Tapi, apapun itu aku merasakan ketidaknyamanan ketika melihat kalian tertidur disitu. Tapi aku bisa apa? Kata-kataku hanya tertinggal di pangkal lidah. Sementara kau yang diberi hak bicara sedikitpun tak menjelaskan apa dan mengapa kalian berada disana.
Bagaimana mungkin aku bisa menutup mata kala berpapasan dengan berpuluh mata yang memandang sinis dan curiga?
Bagaimana mungkin otakku tak berpikir apa-apa ketika melihat berita kejadian disini, juga disana!
Erlina, 27 Pebruari 2012