SMS yang diterimanya tidak mengurungkan niat Elana untuk tetap singgah ke hotel itu. Setelah memarkirkan mobilnya, langsung Elana menuju resepsionist menanyakan tentang kebenaran bahwa Rizaldy memang menginap disitu. Namun ternyata tidak ada satupun tamu yang bernama Rizaldy di database tamu hotel. Rasa penasaran Elana semakin tinggi. Setelah mengucapkan terima kasih, Elana langsung menuju Mesjid Agung yang parkirannya biasa digunakan oleh para pengunjung Sun Plaza.
Baru saja Elana mengambil posisi untuk parkir tiba-tiba ada panggilan masuk di HP nya menginstruksikan agar Elana parkir di pojok kanan mesjid, tepatnya bersebelahan dengan menara tertinggi mesjid itu. Elana mengikuti saja perintah itu.
"Elana, keluarlah kamu dari mobil!" Begitu Elana berhenti Rizaldy langsung memerintahnya lewat HP.
"Engga ah! Kamu aja yang kesini! Ntar kamu bohong!" Elana jaga-jaga akan hal-hal yang tidak diinginkan terjadi.
Elana menoleh kebelakang mobilnya. Terlihat seorang lelaki berkemeja lengan pendek warna orange turun dari sebuah sedan merah menyala menuju ke arahnya. Elana langsung melompat turun dari mobil memberi salam kepada lelaki yang berperawakan tinggi besar, sedikit gendut dan berkulit agak gelap. Sepatu hitam yang dikenakannya terlihat mengkilap ditimpa cahaya lampu yang menerangi lokasi parkiran.
"Maaf, saya cuma pakai sandal jepit!" Tutur Elana ketika mereka sudah duduk di jok mobil Rizaldy.
"Tidak apa-apa, biasalah, kan kamu baru dari luar kota." Jawab lelaki itu.
Elana memang sengaja tampil apa adanya. Kaos joger warna biru dilapis sweater yang menutupi dada dan kedua tangannya serta celana gunung yang digulung-gulung agar tidak menyapu tanah. Sandal jepit Joger Jelek menambah penampilannya menjadi terlihat sangat sederhana.
"Aku tidak bisa lama-lama, masih ada yang harus aku kerjakan." Elana berusaha membatasi waktu pertemuan.
"Sebentar saja kok! Aku cuma ingin melihat kamu yang suaranya begitu menggoda aku belakangan ini." Rizaldy mulai melancarkan serangannya.
Sementara itu suara-suara erangan erotis terdengar diseantero mobil. Sebuah VCD porno sedang diputar Rizaldy tanpa menghidupkan monitor. Elana sedikitpun tidak terpengaruh karena selama ini ia bukanlah penikmat VCD sejenis itu. Memang sebelum mereka bertemu, sepanjang perjalanan Rizaldy sudah menemani Elana dengan berbagai cerita. Tanpa terasa sepanjang 200 km Elana mengendara dengan sebelah tangan saja.
"Tadi waktu kita telponan kamu terdengar begitu mengasyikkan." Rizaldy mencoba mencairkan suasana.
"Wajarlah, itukan karena kita saling berjauhan, tetapi setelah saling berdekatan seperti ini aku agak segan. Apalagi diantara kita tidak ada ikatan." Elana mencoba mengelak.
"Apalah artinya ikatan bila kita tidak saling memuaskan?" Rizaldy berdalih.
"Aku ini wanita kampung, aku tidak bisa bercinta tanpa ikatan perkawinan. Di dalam otakku selalu menolak untuk melakukan itu bukan dengan pasangan resmi. Lagian kita kan baru kenal, masih banyak waktu untuk kita bisa saling memunculkan rasa." Elana masih berkilah.
Suara dering handphone membuyarkan keasyikan mereka bercerita. Rizaldy membiarkan saja tak berniat mengangkatnya. Kecurigaan Elana bertambah-tambah. Tidak lagi ia percaya bahwa Rizaldy adalah lelaki yang masih sendiri di usianya yang sudah kepala empat.
"Angkat saja telponnya!" Suruh Elana.
"Itu teman aku, namanya Pak Tata yang dari tadi terus menerus meminta pulsa." Sebuah jawaban yang terlalu mengada-ada.
"Abang Rizaldy, bolehkah aku mengatakan sesuatu?" Tanya Elana yang semakin gerah.
"Sejak tadi sudah banyak hal yang kita bicarakan, katakan sajalah!"
"Aku sebenarnya seorang penulis. Aku mau menerima ajakanmu bertemu disini karena aku ingin mendapatkan ide-ide baru dalam menulis."
"Jadi aku ini objek tulisan kamu?"
"Ya, Bang! Mohon maaf bila kau tidak berkenan."
Terlihat posisi badan Rizaldy merosot lemas di jok mobilnya. Elana pun permisi untuk segera mengetik dan memposting tulisannya di Kompasiana.
Erlina @RSIM 23 Desember 2011