Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

[Hari Ibu] Derita Emak

22 Desember 2011   01:30 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:55 193 4
Melihat senyum di wajah Emak tak akan ada yang pernah menyangka perjalanan hidupnya begitu penuh derita. Sejak awal kelahiran di Pulau Jawa hingga menua di Pulau Sumatera.  Mendengarkan kisah hidupnya merupakan hiburan yang sangat menyenangkan bagi kami anak-anaknya. Tak jarang belum usai ia bercerita, aku sudah terlelap tanpa tanya. Seperti kemarin, sambil menjaga Bapak di rumah sakit Malahayati, Emak ulangi lagi kisah hidupnya yang sebenarnya aku sudah hapal luar kepala, bahkan kelokan-kelokan tempat kejadian, hingga raut wajah yang berubah-ubah ketika menceritakannya. Terlebih-lebih pada saat itu hadir seorang saksi hidup atas kisah-kisah masa lalunya membuat ceritanya begitu mengharukan. Emak terlahir di sebuah desa kecil di Paron, Ngawi, Jawa Timur. Memiliki saudara kandung yang lumayan banyak. Sementara situasi ekonomi tidak mengijinkan untuk hidup layak, membuat Emak harus rela diserahkan kepada salah satu sepupunya untuk dibawa ke Pulau Sumatera. Awalnya pihak keluarga ingin menikahkan Emak dengan sepupunya itu, namun karena saat itu Emak belum pernah mengalami menstruasi sebagai tanda kedewasaan seorang wanita, maka pernikahan itu tak pernah terjadi. Rombongan kecil itupun berangkat ke Pulau Sumatera setelah nyaris seminggu menunggu kapal yang akan memberangkatkan mereka tak kunjung tiba karena calo penjual tiket ternyata telah menipu warga desanya.  Daerah tujuan di Pulau Sumatera adalah Perkebunan Gunung Bayu Sumatera Utara. Seperti anak-anak sebayanya, Emakku pun turut membantu saudara sepupunya. Menggembala kambing dan lembu serta mengurus rumah, semua dilaksanakan tanpa gaji dan perintah. Cukuplah makan saja serta pakaian seadanya yang mereka berikan. Melanjutkan sekolah adalah sebuah hal yang hanya tinggal didalam kepala. Selang waktu dua tahun tinggal di perkebunan itu, Emak mendengar bisik-bisik akan dijodohkan dengan seorang duda. Benar saja, ketika suatu hari beliau diberikan sebuah baju baru untuk dikenakan pada saat pernikahan. Emakku yang masih kecil itu menolak bukan kepalang. Selain merasa masih belum cukup umur, Emak pun tak pernah mengenal lelaki calon suaminya itu. Namun sepupu Emak tetap memaksa hingga pernikahan terlaksana tanpa setahunya. Seperti layaknya pernikahan pada umumnya, Emakpun harus mengikuti sang suami pindah rumah. Namun Emak masih menolak. Siksaan-siksaan pukulan pelepah kelapa di tubuh Emak membuatnya harus rela ikut dibonceng sepeda sang suami. Emak berurai air mata merasakan pernikahan yang ia tidak suka. Malam-malam menjelang tidur adalah saat-saat yang sangat menakutkan buat Emak. Awalnya ia memilih tidur di kursi panjang tua, namun karena serangan nyamuk yang sangat ganas pilihan menghabiskan malam di dalam gulungan tikar adalah sangat masuk akal. Untung saja sang duda yang sudah syah menjadi suami emak tak pernah memaksa untuk melakukan hal-hal yang biasanya diinginkan seorang pria setelah menikah. Emakpun merasa aman alang kepalang. Sang suami dengan telaten menunggu kesiapan isterinya dengan mencukupkan semua kebutuhan, tentunya dengan cara-cara yang sangat sederhana sesuai dengan pekerjaannya yang hanya buruh kebun. Keadaan itu berlangsung berhari-hari, namun Emak tak sedikitpun menunjukkan kompromi. Sakit betul rasanya dipaksa menikah itu hingga memunculkan perlawanan yang teramat luar biasa dari dalam diri seorang anak yang belum bisa disebut anak dara. Musim gajian tiba. Emak mengamati tempat sang suami yang tak diingini menyimpan uang gaji. “Oh, ternyata dia menyimpan uangnya di tabung bambu yang bersandar didinding rumah. Aku akan menunggu waktu yang tepat untuk mengambil uang itu dan akan pergi sejauh-jauhnya dari neraka ini.” Kata-kata itu saja yang bermain-main di otak Emakku. Saat semua orang sudah bekerja di perkebunan, Emak melancarkan aksinya. Sudah berhari-hari sakit otaknya mencari jalan keluar selain mencuri, namun hanya jalan buntu yang ia temui. Dengan menumpang truk sampailah Emak di kota Perdagangan Kabupaten Simalungun. Uang hasil curian itu dibelanjakannya sebagian untuk membeli makanan dan minuman. Bagaikan seorang narapidana yang lepas dari tahanan begitulah keadaan Emak waktu itu, girang bukan buatan. Ketika matahari sudah ingin kembali ke peraduannya, barulah Emak tersadar. Mau kemana lagi kaki harus melangkah. Terbengong-bengong ia dikerumuni oleh sopir-sopir dan kenek-kenek angkutan kota. Semua membujuk dan merayunya untuk ikut serta. Wajahnya yang ayu membuat semua orang ingin memiliki. Biarpun belum dewasa, tetapi Emak sudah terlihat menarik di mata pria. Berkali-kali ia menggelengkan kepala menolak ajakan lelaki yang seram wajahnya. Apalagi dagu yang bersegi-segi membuat ketakutan tersendiri. Hingga dua orang pemuda yang kelihatannya bertampang Melayu mendekati. Entah apa mantera yang dibaca kedua pria itu, Emak mengikuti tanpa ragu. Tentu saja setelah berkenalan terlebih dahulu. Yang kurus kerempeng itu bernama Jalil dan yang hitam besar itu bernama Jamak. Emak menghapal nama mereka rapat-rapat di dalam otak. Sebelum gelap sampailah Emak dan kedua pria itu di sebuah kampung, Simpang Dolok namanya. Sebelum turun dari truk, berpandanganlah kedua pemuda itu. Mata keduanya saling berbicara sambil melirik-lirik anak dara disebelah mereka. Sesekali terlihat gelengan kepala. Ternyata mereka bingung kemana Emak harus dititipkan. Akhirnya, pilihan jatuh kepada seorang tentara yang isterinya berjualan di tempat mereka biasa makan. Emakpun ditinggalkan disitu untuk sekedar membantu-bantu semua pekerjaan rumah tangga, dari mengurus anak hingga memasak. Lagi-lagi tanpa gaji, hanya sekedar makan. Bahkan setiap Tentara itu menyuruh isterinya membelikan emak baju baru, maka bisa dipastikan akan terdengarlah suara-suara pertengkaran diantara keduanya. Kali ini Emak jadi sasaran cemburu buta, dianggap orang ketiga perusak rumah tangga. Emakpun dipindahkan ke rumah orang tua tentara itu. Disana Emakku merasa betah karena ada teman sebayanya yang merupakan adik tentara tersebut. Emak dan kedua pria yang membawanya itu kerap berjumpa dan bertegur sapa. Berita ini sampailah ketelinga keluarga salah seorang pria yang bernama Jalil. Orang tua Jalil tidak memiliki anak perempuan, karena itu berniatlah mereka untuk menjadikan emak sebagai anak angkat. Dengan usaha keras dan sedikit bantuan para normal, Emak pun pindah ke rumah orang tua angkatnya. Suatu hari, keluarga angkat Emak menerima tamu. Ternyata yang datang adalah sepupu Emak dan suami paksaan. Mereka membujuk Emak untuk kembali pulang. Tetapi Emak menolak. Mereka berusaha memaksa hingga akhirnya orang tua angkat Emak minta tebusan untuk biaya hidup Emak selama tinggal di rumah mereka, sepupu dan suami paksaan mohon ijin pulang setelah lebih dahulu Emak diceraikan. Tahun-demi tahun berlalu, Emak tumbuh menjadi wanita dewasa yang ayu. Sudah ada lelaki yang mendekati dan mengajak pergi-pergi sekedar untuk menghibur hati. Suatu hari tersiar kabar bahwa Emak akan dinikahkan dengan Jalil, saudara angkat yang sudah membawanya ke kampung itu. Namun Emak tidak mau karena sudah dianggap saudara sendiri apalagi pernah menyelamatkan Emak saat menjadi rebutan para sopir waktu dulu. Akhirnya semua mata tertuju kepada adik kandung Jalil satu-satunya. Dia adalah Bapakku penyebab terlahirnya aku kedunia ini. ERLINA, 21 Desember 2011

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun