Bagi Indonesia, kejadian luar biasa yang baru dan sedang berlangsung tentu saja adalah jatuhnya pesawat AirAsia QZ8501. Benar, inilah duka bagi anak bangsa. Dramatisasi kesedihan keluarga, penumpang yang tidak jadi berangkat, kisah cinta yang terpisah maut dan deretan cerita sendu lainnya menghiasi layar televisi dan media massa cetak hingga online. Saya terpukau. Jelas kaget dan sedih. Tapi tak pernah lepas dari mata ini, memandang topi merah milik Tony Fernandes, CEO AirAsia yang senantiasa memenuhi layar TV atau frame para fotografer dengan tubuh bongsornya.
Bagi Tony, topi itu adalah segalanya. Tak heran kalau di mesin pencarian milik Google pun, selalu muncul gambar Tony dengan topi merah bertuliskan AirAsia. Tak banyak miliarder yang setia memakai topi dengan warna ‘ngejreng’ begitu. Apalagi topi merah itu sangat tidak padu padan bila dipakai bersama jas dan pakaian yang harganya bukan satu digit. Tak ‘matching’, bahasa kerennya.
Tapi bagi Tony, topi merah itu adalah kebanggaannya. Memakai topi itu baginya adalah kehormatan dan identitas perusahaan miliknya. Ada sebuah “harga” di topinya. Kebanggaan, kepercayaan penumpang, rasa aman, pelayanan yang baik serta deretan tuntutan lainnya.
Mungkin karena itu pula ia sigap dan tanggap mengurusi langsung jatuhnya AirAsia QZ8501, franchise AirAsia Indonesia yang dimilikinya sebesar 49 persen. Ia tak menyerahkan, seperti kebanyakan bos besar lainnya, keputusan dan tanggungjawab kepada direktur AirAsia di Indonesia saja. Ia datang. Ke Crisis Center, Pangkalan Bun hingga pemakaman jenazah para korban yang sudah ditemukan. Dan, tetap, bersama topi merahnya.
Ingat tragedi Malaysia Airlines yang hilang? Keluarga korban berontak. Pemerintah sana dan maskapai tidak terbuka. Bahkan bangku konferensi sempat kosong karena diboikot keluarga. Mereka merasa ditipu. Tapi tidak bagi Tony. Ia ada dan hadir untuk menghibur keluarga.
Semua informasi dapat ditemukan di Facebook resmi AirAsia. Sebuah pusat informasi yang memang telah menjadi identitas AirAsia dalam menjalankan bisnis. Tony bahkan berujar dalam akun Twitter-nya mengenai nasib crew-nya dan turut terlibat langsung menghantarkan korban kepada pihak keluarga.
"If our beautiful and wonderful crew is identified we will go from Surabaya to palembang with her parents. Heartbreaking soul destroying,"
Peristiwa seperti ini tentunya sangat mengguncang semua orang, bahkan para karyawan. Ketakutan seperti kepastian penemuan jenazah para sesama karyawan yang berada di pesawat naas tersebut, kelangsungan AirAsia sendiri sebagai tempat mata pencaharian, serta ketakutan dan kecemasan manakala peristiwa seperti ini terjadi pada mereka di kemudian hari.
Akan tetapi, dengan penuh dedikasi dan komitmen, dalam akun Twitter pribadinya, ia menekankan bahwa kepuasan konsumen tetap nomor satu."To all my staff Airasia all stars be strong, continue to be the best. Pray hard. Continue to do your best for all our guests. See u all soon."
AirAsia memang seperti menjadi bagian dari diri Tony Fernandes. Saat membeli AirAsia hanya seharga RM 1, dirinya dibebankan hutang sebanyak RM 40 juta atau sekitar Rp 142,1 miliar. Hal ini memaksa Fernandes untuk menggadaikan rumah dan seluruh uang simpanannya untuk merevitalisasi AirAsia. Ia pun mau bertanggung jawab penuh terhadap hutang AirAsia ini.
Hanya perlu waktu 2 tahun untuk bangun AirAsia. Tony Fernandes membeli AirAsia yang hampir bangkrut dari pemerintah Malaysia pada tahun 2001. Awalnya, semua orang sangsi jika bisnis penerbangan ini akan berhasil.
Kini, ada harga yang harus dibayar Tony Fernandes dan nama yang tertera di topinya untuk tragedi di penghujung tahun lalu. Benar, dia kalah saat ini. Tapi kemenangan gilang gemilang bakal segera terpampang di ujung topinya bila maskapainya mampu berbenah. Dan, kuharap tagline itu tetap sama. Now Everyone Can Fly…Safely. Tambahkan kata terakhir di topi merahmu, Tony…(@erisestrada)