Ketika kuliah S1, saya mempunyai sejumlah teman yang notabene perokok (berat). Tiap harinya mereka bisa menghabiskan paling tidak sebungkus rokok. Padahal, mereka masih bergantung pada orang tua untuk kebutuhan finansial. Tentu saja, orang tua manapun tidak akan memberikan anggaran untuk membeli rokok. Tapi, teman-teman saya ini begitu cerdas mengelola keuangannya sehingga tidak pernah terdengar kata "defisit".
Ketika pemerintah menaikkan pajak rokok, mereka mengeluh (sedikit) karena otomatis harga rokok pun menaik. Sebagian mencari rokok alternatif seperti rokok linting atau rokok yang lebih murah. Sebagian lain mengurangi jumlah rokok yang dibeli per harinya. Namun, satu hal yang pasti, tidak ada yang berhenti merokok.
Kasus lain ikhwal 'kegigihan' para perokok di tengah harga rokok yang terus melonjak terjadi pada salah satu saudara saya. Dalam keluarganya, tidak seorang pun yang merokok tapi karena pengaruh lingkungan sekolah, dia menjadi perokok. Yang menarik dari kebiasaannya merokok adalah jenis rokok mencerminkan keadaan dompetnya. Di awal bulan, ketika dompetnya masih tebal, rokok yang dia beli berupa Dji Sam Soe dan rokok sejenis yang harganya cukup lumayan. Di tengah bulan, dia beranjak ke Djarum Super atau Gudang Garam yang harganya relatif rendah. Di akhir bulan, dia akan membeli tembakau dengan kertas rokok untuk rokok linting. Kalau benar-benar dalam keadaan 'sekarat' moneter, dia akan mengorbankan menu sarapan demi sebatang rokok.
Sepertinya, bagi para perokok, berlaku satu motto, "Sekali merokok, terus merokok".