Mohon tunggu...
KOMENTAR
Healthy Pilihan

Kisah Nyata: Salah Pilih Rumah Sakit, Cacad Seumur Hidup!

28 Juni 2024   11:27 Diperbarui: 30 Juni 2024   11:54 594 1
Kisah nyata: Salah pilih Rumah Sakit, Cacad Seumur Hidup!!

Social Experiment: Benarkah layanan RS terpengaruh apakah mereka melayani pasien BPJS atau tidak?

Himbauan Presiden Jokowi agar industri kesehatan Indonesia bisa menciptakan Rumah Sakit yang pelayanannya setara dengan di luar negeri, agar masyarakat Indonesia tidak berobat di luar negeri haruslah disambut dengan baik. Mudah-mudahan kisah di bawah ini bisa menjadi introspeksi kita semua. Bahwa layanan yang baik itu tidak hanya tercipta dari gedung yang mewah, bersih dengan alat diagnostik yang canggih-canggih. Sangat berperan SDM di dalamnya dan bagaimana RS bisa mengeliminer faktor-faktor yang mengahalanginya.

Selama ini, saya berasumsi bahwa penyebab banyaknya keluhan pasien Indonesia saat berobat ke fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes: dokter mandiri, klinik, rumah sakit, dll.) di Indonesia adalah karena fasyankes tersebut masih menggabungkan pelayanan pasien BPJS dan non BPJS. Meskipun ada pihak yang tidak setuju tapi sudah bukan rahasia lagi pasien-pasien BPJS jumlah tidak sedikit dengan fee (dokter, perawat dan fasyankes) yang tidak sebanding. Sebagai dokter yang praktek di fasyankes tersebut, tentu tidak bisa memberikan layanan yang optimal jika pasien yang akan diperiksa begitu banyak. Sangat tidak adil rasanya membandingkan dengan pelayanan kesehatan di luar negeri, dimana tenaga medisnya tidak perlu diburu-buru dalam melayani. Dokter bisa sepenuhnya mengembangkan profesionalitasnya. Seperti kata Pak Menkes baru-baru ini, kalau ada teknologi hightech (daripada Stetoskop), kenapa tidak menggunakannya.

Akibat salah memilih Rumah Sakit
Pengalaman kami di bawah ini menguatkan asumsi kami tersebut, meskipun -sedihnya- harus mengalami sendiri.

Karena tidak ingin mengalami pelayanan ala BPJS, kami sengaja berobat ke dokter diluar pelayanan BPJS, yaitu pada hari Sabtu. Pada hari tersebut sang Dokter hanya melayani pasien-pasien swasta. Pasien BPJS dilayani pada hari Senin hingga Jumat. Biaya berobat dan tindakan pun disesuaikan tentunya, sekitar 1 hingga 2 juta rupiah per kunjungan. Kami berharap  layanan kesehatan yang kami terima tentu bisa berbeda dengan saat kami menggunakan fasilitas BPJS.

Ternyata tidak. Mulai dari perawat yang memperlakukan kami layaknya pasien BPJS (menyelak antrian dan masih berargumentasi mencari pembenaran) hingga dokter yang meskipun melayani dengan ramah (mungkin karena sudah mendengar kami berargumentasi dengan perawat di luar kamar prakteknya) tapi sayangnya diagnosis yang diberikan masih keliru dan kami tidak diberitahu what's next.

Diagnosis Kerja dan Diagnosis Banding
Sepengetahuan saya jika seorang dokter masih belum bisa menentukan diagnosis suatu penyakit, dia wajib menentukan apa yang disebut Diagnosis Kerja dan Diagnosis Banding. Selayaknya hal ini perlu diinfo juga ke pasien, misalnya, jika dalam 1 minggu (atau beberapa hari) belum ada perbaikan, datang kembali ke sini, kita lihat kemungkinan lain. Penjelasan ini tidak kami terima dari dokter apalagi dari perawat, sehingga kondisi golden period (masa di mana penyakit bisa sembuh seperti sediakala tanpa kecacadan) penyakit jadi terlewat begitu saja. Hal ini baru kami ketahui saat periksa ke dokter di RS lain dalam rangka mencari second opinion.

Saat menebus obat pun, meskipun di ruangan farmasi fasyankes tersebut pasien yang menunggu masih sedikit (mungkin hanya kami), dan karena masih pagi hari (sekitar pkl 9:00) dan pada Hari Sabtu tidak ada layanan BPJS, tetapi kami harus menunggu untuk memperoleh obat (bukan racikan), lebih dari 1 jam.

Karena tidak puas dengan pelayanan dari RS pertama (tidak ada perubahan setelah seminggu tanpa diberi tahu harus ngapain), kami mencari RS yang tidak menerima pasien BPJS dengan biaya per kunjungan (konsul dan tindakan) sekitar 2 - 3 juta rupiah.

Pengalaman di RS non BPJS
Untungnya di RS yang kedua yang hanya menerima pasien non BPJS (RSnya tidak terikat kontrak dengan BPJS), pelayanan cukup ramah kami alami baik dari perawat hingga dokternya. Perawatnya cekatan dan tahu memperlakukan pasien sebagai seorang customer.


Dari sisi customer / pasien

Dengan biaya yang mungkin sama atau lebih mahal daripada berobat ke luar negeri, pasien Indonesia non BPJS mengharapkan pelayanan Rumah Sakit:

- diagnosis / penyebab penyakit bisa ditegakkan sekaligus diterapi secara baik
- dokter, perawat, petugas farmasi, petugas lab, kasir, dll. melayani dengan ramah dan tidak terburu-buru
- pemberian obat seminimal mungkin, bukan dalam hal biaya (meskipun itu juga penting) tapi lebih ke arah interaksi obat dan keamanan saat mengkonsumsinya
- diperiksa sesuai dengan jadwal waktu perjanjian
- bisa diberikan rencana pengobatan dan estimasi biayanya


Pasien tidak peduli jika:


- dokternya dalam perjalanan ke ruang praktek ada kemacetan
- dokternya ada meeting
- suster dan dokter harus melengkapi form-form untuk akreditasi

Kesimpulan

Berbicara mengenai SDM, manusia (apapun profesi dan jabatannya) bukanlah robot yang dengan cepat bisa meng-switch perilaku dan kebiasaannya. Jika RS ingin melayani pasien VIP lakukanlah itu tanpa mencampur dengan pelayanan terhadap pasien BPJS. Partisipasi dari RS tersebut (seandainya ditanya) kepada bangsa dan negara tercinta bisa dipikirkan dalam bentuk lain selain turut membuka layanan untuk pasien-pasien BPJS, seperti yang selalu dianjurkan Presiden Jokowi saat membuka Rumah Sakit bertaraf internasional.

Dari pengalaman di atas, lebih meyakinkan kami bahwa sebenarnya pelayanan Rumah Sakit di Indonesia, tidak jelek-jelek amat asalkan kita bisa memilih Rumah Sakit yang tepat. Sesuai dengan pengalaman saya di atas, anjuran saya carilah Rumah Sakit yang tidak melayani pasien BPJS. Meskipun pada kasus kami, golden period pengobatan anggota keluarga kami sudah terlewatkan sehingga meninggalkan kecacadan. Suatu pengalaman yang sangat mahal. Mungkin bagi dokter, kami hanyalah salah satu pasien tapi bagi kami kegagalan pengobatan hingga menimbulkan kecacadan akan membekas seumur hidup.

Sehat selalu,
Dr. Erik Tapan, MHA
Pengamat Perumahsakitan


Berikut beberapa tanggapan yang masuk:

Tanggapan pertama
Selamat sore. Ijin memberi komentar. Kebetulan untuk daerah kami, saya adalah salah satu anggota Badan Pengawas RS. Membaca tulisan dr Erik, beberapa masukan dari kami:
1. Harus tetap optimis bahwa pelayanan  kesehatan rujukan di RS saat ini sudah jauh lebih  maju dibandingkan 10 thn yl.
2. Dgn era BPJS banyak kemajuan dari sisi pelayanan terhadap jumlah pasien yang terlayani.
3. Untuk pelayanan kesehatan rujukan (RS) berjenjang sudah semakin baik di Indonesia. Memang masih ada kekurangan dalam mutu pelayanan. Angka INM (Indikator Nasional Mutu). Dari 9 indikator yang masih rendah, tentang ketepatan waktu pelayanan dokter spesialis, waktu visite / wkt mulai rawat jalan, juga waktu tunggu operasi.
Semoga bisa menjadi sedikit pencerahan.

Komentar dr Erik:
Banyak terima kasih atas informasinya yang berharga dok. Tapi sebelumnya maaf dok, kita bicara 2 hal yg berbeda kayaknya. Meskipun pada dasarnya tujuannya sama yaitu perbaikan pelayanan kesehatan di Indonesia.
Saya sedang berbicara bagaimana layanan RS bisa ditingkatkan sehingga mampu mencegah pasien2 non BPJS berobat ke LN. Menurut saya, hal ini bisa dilakukan jika pelayanannya dipisah. Budaya RS yang biasa melayani pasien BPJS, cenderung memiliki ketrampilan (al.) :
- mudah ngeles dan
- beragumentasi
- tidak menjelaskan detil penyakitnya
Pasien non BPJS tentu bisa kaget dengan ketrampilan ini karena mungkin tidak mengharapkan hal tersebut.

Setiap kali Pak Jokowi meresmikan RS Internasional yang diharapkan mampu mencegah pasien Indonesia ke Luar Negeri, selalu menitip pesan, jangan lupa melayani pasien BPJS ya.

Apakah bisa sumbangsih / partisipasi RS yang targetnya untuk mencegah pasien Indonesia ke luar negeri, dicari cara lain, sehingga budaya yg saya sebutkan di atas tidak sampai dimiliki SDM RS Internasional tersebut?

Bagi Bpk/Ibu pejabat / manajemen RS tentu tidak pernah merasakan hal ini.

Tanggapan kedua
Sulit meningkatkan kualitas RS bila harus juga melayani BPJS.
Tidak ada tombol switch on-off bagi SDM RS yang siap dipencet untuk membedakan pelayanannya.
Budaya melayani pasien BPJS akan terbawa sampai ke pasien non-BPJS.
Seharusnya RS dikhususkan apakah harus bpjs atau non-bpjs kalau mau merebut kembali arus pasien keluar negeri.

Tanggapan ketiga
Saya pernah berobat ke RS Singapore. Rasanya kwalitas sama bahkan beberapa dokter Indonesia jadi konsultan di sana.
Kalau di sini pasien harus menunggu dokter di sana  dokter yang menunggu pasien
Di sini, kita yg capek menunggu. Mungkin beda di tarif pelayanan ya. Tarif 1 pasien di sana bisa 10 kali dari pasien disini....

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun