Tulisan ini diharapkan dapat memberi kontribusi, antara lain: (i) pemahaman mengenai konsep waiver dan implikasinya pada hukum nasional; (ii) perlunya kesiapan dalam negeri untuk menyiapkan posisi nasional dalam perundingan; dan (iii) perlunya kesiapan dalam negeri untuk memanfaatkan waiver bagi percepatan kemandirian industri kesehatan nasional.
Pada bagian awal, penulis akan menjabarkan sejarah singkat posisi Indonesia mengenai waiver lalu diikuti dengan makna waiver, pengaruh pada hukum nasional, monopoli produksi dan distribusi, tujuan waiver, kebijakan investasi dan kolaborasi penelitian, perkembangan negosiasi, perlunya kesiapan dalam negeri dan ditutup dengan beberapa saran tindak lanjut.
Pendahuluan
Proposal waiver pertama kali diajukan oleh India dan Afrika Selatan pada tanggal 2 Oktober 2020 di forum WTO (Dok IP/C/W/669).
Ibu Menlu Retno Marsudi saat memberikan sambutan kedatangan vaksin AstraZeneca dari COVAX-AMC di Bandara Soekarno Hatta tanggal 8 Mei 2021 yang lalu menyatakan dukungan Pemerintah Indonesia atas proposal waiver. Pemerintah Indonesia menyampaikan permohonan resmi sebagai co-sponsor pada tanggal 10 Mei 2021. Secara resmi, Indonesia tercatat sebagai co-sponsor proposal waiver pada dokumen WTO IP/C/W/699/Rev.1 tertanggal 19 Mei 2021.
Pada perkembangannya, tanggal 21 Mei 2021 Presiden Joko Widodo menyampaikan statement di sela-sela pertemuan virtual KTT Kesehatan Global yang menegaskan kembali dukungan atas proposal waiver dan posisi sebagai co-sponsor (laman Kantor Presiden RI tertanggal 21 Mei 2021). Pernyataan resmi Presiden Jokowi tersebut menjadi puncak posisi Indonesia yang mendukung proposal waiver.
Mengutip Sekjen WHO, Presiden menyatakan bahwa pandemi COVID-19 di tahun kedua sepertinya akan lebih mematikan dan mutasi virus pun terus berkembang. Namun disayangkan terjadi kesenjangan distribusi vaksin COVID-19 secara global. Sampai saat ini, hanya ada 0,3 persen pasukan vaksin global yang tersedia bagi negara berpenghasilan rendah. Adapun 83 persen pasokan vaksin global telah diterima negara-negara kaya. Sisanya sekitar 17 persen tersedia untuk negara-negera berkembang yang menduduki sekitar 47 persen populasi dunia.
Sebagaimana disampaikan dalam pernyataan Kepala Pemerintah, kerja sama kolektif global diperlukan untuk melipatgandakan kapasitas dan distribusi vaksin global. Kecepatan pemulihan ekonomi global sangat tergantung dari upaya untuk mengatasi masalah rintangan supply vaksin. Dunia harus melipatgandakan kapasitas dan distribusi vaksin. Ditambahkan, no one is safe until everyone is.
Dukungan Indonesia adalah bentuk global solidary yang sejalan dengan amanat Pembukaan UUD 1945, Piagam PBB dan cerminan nilai-nilai Dasasila Bandung Konferensi Asia Afrika tahun 1955.
Sesungguhnya sedari awal proposal waiver diajukan oleh India dan Afrika Selatan, Indonesia sudah berdiri di garda depan mendukung proposal waiver. Posisi Indonesia ini dapat dicek dalam dokumen resmi pertemuan sidang resmi WTO TRIPS Council.
Indonesia bersama India dan Afrika Selatan selalu memimpin perjuangan negara berkembang di berbagai forum multilateral. Ketiganya menjadi kompas negara berkembang dalam negosiasi di forum multilateral. Indonesia adalah natural leader bagi negara berkembang dalam norm setting process di forum multilateral, termasuk forum WTO.
Dari segi hukum internasional, proposal waiver merupakan terobosan hukum terbesar abad ke-21 sejak berdirinya forum multilateral yang membahas isu kekayaan intelektual seperti WIPO pada tahun 1967 dan WTO pada tahun 1995.
Makna Waiver
Menurut penulis, konsep waiver mengandung beberapa makna. Pertama, waiver tidak serta merta menghapus hukum kekayaan intelektual global secara keseluruhan. Waiver hanyalah menunda pelaksanaan (freeze) beberapa norma hukum kekayaan intelektual TRIPS untuk jangka waktu tertentu.
Kedua, waiver tidak serta merta menghapuskan hukum kekayaan intelektual nasional, khususnya UU No. 13 Tahun 2016 tentang Paten (UU Paten). Hal ini disebabkan UU Paten adalah “pengembangan” dari standar minimum perlindungan kekayaan intelektual yang dimuat TRIPS. UU Paten bukanlah TRIPS.
Ketiga, waiver memberi “freedom to operate” secara penuh kepada hukum nasional untuk mengatur perlindungan kekayaan intelektual yang di-waived. Waiver memberikan keleluasaan pada hukum nasional untuk mengatur standar minimum perlindungan kekayaan intelektual. Dengan kata lain, hukum nasional diberi kebebasan untuk mengisi “policy space” seperti apa untuk mengatur isu kekayaan intelektual yang di-waived.
Keempat, waiver adalah penyerahan kewenangan kepada hukum nasional untuk mengatur isu kekayaan intelektual yang di-waived. Negara anggota memiliki kekuasaan dalam menetapkan opsi kebijakan sesuai kepentingan nasionalnya.
Kelima, waiver membuat negara yang mengeluarkan kebijakan nasional isu kekayaan intelektual yang di-waived tidak akan dianggap melanggar hukum WTO dan tidak dapat digugat di WTO.
Pengaruh pada Hukum Nasional
Bilamana proposal waiver disepakati, anggota WTO berhak untuk memilih beberapa kebijakan nasional. Di bidang paten misalnya, anggota WTO dapat mengambil kebijakan, antara lain: (i) menunda sebagian ketentuan hukum nasional; atau (ii) mengubah hukum nasional; atau (iii) tetap mempertahankan hukum nasional yang ada.
Apabila memutuskan untuk mengubah UU Paten misalnya, Indonesia dapat mengatur fleksibilitas melebihi dari apa yang diberikan oleh TRIPS. Beberapa langkah yang dapat diambil antara lain: (i) Mengubah ketentuan mengenai penelitian agar lebih fleksibel bukan saja untuk kepentingan ilmiah sebagaimana selama ini diatur Pasal 19 UU Paten; (ii) Mengubah ketentuan penelitian untuk kepentingan komersialisasi (pengecualian bolar provisions) dalam Pasal 167 atau (2); (iii) Mengubah ketentuan impor paralel dalam Pasal 167 ayat (1) UU Paten; (iv) Mengubah ketentuan "Lisensi Wajib" (Compulsory License) atau "Pelaksanaan Paten oleh Pemerintah" (Government Use) dalam UU Paten, tanpa harus mengadopsi total syarat-syarat menurut Pasal 31 TRIPS; dan (v) mengatur flekbilitas-fleksibilitas lainnya.
Jadi waiver tidak boleh hanya dilihat dalam konteks "Lisensi Wajib" atau "Pelaksanaan Paten oleh Pemerintah" semata. Waiver harus dilihat lebih luas dari pada sekedar isu "Lisensi Wajib" atau "Pelaksanaan Paten oleh Pemerintah". Waiver tidak boleh dibatasi hanya pada konsep "Lisensi Wajib" atau "Pelaksanaan Paten oleh Pemerintah". Waiver berbicara mengenai kebebasan negara untuk menerapkan kebijakan yang luas dalam mengatur isu kekayaan intelektual di level nasional.
Monopoli Produksi dan Distribusi
Dilihat dari negosiasi dan berbagai kajian serta perdebatan, termasuk di beberapa lini media online, isu paling mendasar adalah: apakah kelangkaan supply dan terbatasnya pusat produksi vaksin diakibatkan oleh sistem kekayaan intelektual? Dokumen perdebatan isu waiver ini seluruhnya dapat diakses pada laman WTO TRIPS Council.
Kelompok penolak proposal waiver berargumen bahwa isu kelangkaan produksi vaksin bukanlah isu kekayaan intelektual. Persoalan sesungguhnya adalah teknis distribusi dan bagaimana membuat pusat produksi vaksin. Bagi penulis, pandangan ini hanyalah statement politik yang tidak didasarkan atas argumen hukum yang kuat. Argumen ini bahkan cenderung misleading.
Rejim paten bukan hanya mengenai perlindungan inovasi, tetapi juga distribusi, jual-beli dan lisensi. Paten adalah hak eksklusif (exclusive rights) yang memberikan kewenangan bagi pemegang hak paten untuk mengizinkan kepada siapa produk tersebut dapat dibuat dan produksi, didistribusikan, diperjualbelikan dan diberikan lisensi (secara eksklusif maupun non-eksklusif).