Mohon tunggu...
KOMENTAR
Ilmu Sosbud

Perjuangan Bangsa Indonesia dalam Menghadapi Agresi Militer Belanda II di Yogyakarta

12 Juni 2024   17:41 Diperbarui: 12 Juni 2024   18:23 99 1

Tipta Jamala (210110301038), Erika Putri Kusumadewy (210110301039), Nadiah Ismi Fadilah (210110301041), Amanda Friska Dewi (210110301042), Nur Faddilla Sari (210110301044)


Berita kemerdekaan ini membuat pemerintah Belanda tidak senang hingga satu bulan pasca proklamasi kemerdekaan Belanda kembali datang ke Indonesia dengan membawa serta NICA, Belanda dan NICA tiba di Jakarta pada 10 Oktober 1945. Meskipun telah disetujui oleh kedua belah pihak melalui Perjanjian Renville di Teluk Jakarta pada 8 Desember 1947, Belanda masih tetap menginginkan pembentukan negara baru dibentuk di Indonesia. Belanda kembali ke Indonesia pada 19 Desember 1948 di kawasan Lapangan Terbang Maguwo, Yogyakarta. TNI yang tidak siap dengan serangan Militer Belanda menyebabkan Maguwo berhasil diduduki oleh Militer Belanda. Bangsa Indonesia tidak tinggal diam terhadap pendudukan Militer belanda di Maguwo, munculnya agresi militer Belanda II di Yogyakarta disikapi perlawanan oleh bangsa Indonesia dengan melibatkan tokoh-tokoh. Berikut adalah strategi perlawanan Bangsa Indonesia dan tokoh-tokoh yang terlibat serta dampak yang ditimbulkan dari agresi militer Belanda II di Yogyakarta


Perlawanan Bangsa Indonesia

Bangsa Indonesia melalui para pemimpin baik dari Tentara Rakyat Indonesia (TRI), pimpinan partai politik, serta dari pihak-pihak perjuangan lainnya mengadakan pertemuan pada tanggal 1 Januari 1949. Putusan dari pertemuan tersebut adalah Bangsa Indonesia bersatu untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia, merebut kembali Yogyakarta yang diduduki oleh Militer Belanda, serta menghalau Militer Belanda melakukan perluasan pendudukan terhadap wilayah Indonesia. 

Serangan terhadap Militer Belanda dalam merebut kembali Yogyakarta dari Belanda juga diinisiasi oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX dengan menunjuk Soeharto atas persetujuan Jenderal Soedirman, serangan ini dikenal dengan nama Serangan Umum 1 Maret 1949, imbas dari penguasaan wilayah ibukota Yogyakarta oleh Militer Belanda, Indonesia kemudian menjalankan strategi Serangan Umum 1 Maret 1949 sebagai bagian untuk menunjukkan eksistensi dari Indonesia yang telah merdeka, serangan ini dilakukan sebagai bagian dari sikap Bangsa Indonesia terhadap Agresi Militer Belanda II. 


Tokoh-tokoh yang terlibat dalam melawan adanya agresi militer Belanda II di Yogyakarta

1. Panglima Besar Jenderal Soedirman

Dalam menghadapi menghadapi perlawanan dan serangan Agresi Militer Belanda II Jenderal Soedirman membentuk strategi Perang Gerilya. Strategi perang gerilya yang diterapkan terdiri dari beberapa langkah penting yaitu pertama, melepaskan pertahanan di kota besar dan jaringan jalan raya. Hal tersebut dilakukan untuk menghindari konfrontasi langsung dengan pasukan musuh yang lebih kuat dan lebih terorganisir di wilayah-wilayah yang mudah diakses. Kedua, membangun kantong-kantong gerilya merupakan basis pertahanan yang tersebar di daerah pedesaan atau terpencil berfungsi sebagai tempat berlindung, penyimpanan logistik, dan pusat koordinasi bagi pasukan gerilya. Ketiga, melakukan perang gerilya, taktik ini melibatkan serangan mendadak, sabotase, dan penyerangan cepat terhadap posisi musuh, diikuti dengan penarikan cepat untuk menghindari pertempuran terbuka. Keempat, Wingate atau kembali ke daerah asal. Satuan yang hijrah ke Yogyakarta setelah Perjanjian Renville akan kembali ke basis asal mereka untuk melanjutkan perlawanan dengan taktik gerilya yang telah direncanakan. Dalam menghadapi Agresi Militer Belanda II, Jenderal Soedirman mengeluarkan SURAT PERINTAH KILAT No.1/PB/D/48. Isi surat Perintah Kilat tersebut yaitu bahwa pada 19 Desember 1948 angkatan perang Belanda telah menyerang Kota Yogyakarta dan Lapangan Terbang Udara Maguwo. Pemerintah Belanda telah membatalkan gencatan senjata (sebagaimana tercantum dalam Perjanjian Renville yang ditandatangani pada 17 Januari 1948). Semua angkatan perang telah menjalankan rencana untuk menghadapi serangan Belanda.

2. Sri Sultan Hamengku Buwono IX,  merupakan Raja Kasultanan Yogyakarta, mempunyai peran penting dalam Agresi Militer Belanda II. Dukungan Sultan Hamengku Buwono  terhadap Republik Indonesia dimulai dengan penerbitan Amanat 5 September 1945. Selama periode ketika pemerintahan Indonesia berpusat di Yogyakarta, banyak memberikan bantuan untuk kelancaran pemerintahan. Sultan Hamengku Buwono IX juga menolak adanya agresi militer yang dilakukan oleh Belanda. Bersama seluruh elemen masyarakat Yogyakarta kemudian memulai perlawanan terhadap tindakan Belanda tersebut. Pada saat Agresi Militer Belanda II di Yogyakarta, Tentara Nasional Indonesia (TNI) melalui Wehrkreise III melakukan serangan serentak sebanyak empat kali. Serangan-serangan ini dilancarkan dengan dukungan dari berbagai kalangan, termasuk para Pon, Palang Merah Indonesia, dan kurir informasi. Para pejuang republik di Yogyakarta juga menerima bantuan dari Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan memberikan dukungan penting dalam perlawanan terhadap Agresi Militer Belanda II. Sultan Hamengkubuwono IX.

3.Jenderal TNI Abdul Haris Nasution

Pada tanggal 28 Oktober 1948 telah dibentuk Komando Djawa dan Sumatra dan Kolonel Abdul Haris Nasution diangkat menjadi Panglima Tentara dan Teritorium Djawa (PTTD). Markas Besar Komando Djawa mengawasi empat divisi dan tiga daerah militer (teritorium militer). Pada saat menerima laporan bahwa terjadi serangan oleh Belanda di beberapa wilayah di Yogyakarta, Kolonel Abdul Haris Nasution bersama seluruh stafnya mengambil keputusan untuk segera kembali ke Yogyakarta. Selama Agresi Militer II Belanda, AH. Nasution mengusulkan pembentukan Pemerintahan Militer dengan struktur yang mencakup pemerintahan, pengadilan, dan badan administrasi negara. Gagasan ini akhirnya diimplementasikan di daerah-daerah basis gerilya. Pemerintahan militer ini memiliki pedoman kerja yang mencakup pertahanan militer yang efektif, administrasi pemerintahan yang berjalan, dan penyediaan kesejahteraan bagi rakyat. Untuk pertahanan militer, pemerintahan militer memiliki pasukan yang bersifat mobil dan teritorial, terutama dalam bentuk gerilya desa, dengan partisipasi seluruh rakyat. Keadaan mobilisasi umum memberikan wewenang kepada pemerintahan militer untuk memobilisasi semua sumber daya yang tersedia. Selain itu, untuk pertahanan administratif, kepala daerah (seperti residen, bupati, dan camat) bertanggung jawab menjalankan pemerintahan atas nama dan di bawah perintah taktis dari kepala pemerintahan militer.

Dampak dari agresi militer Belanda II di Yogyakarta

1. Indonesia mendapat perhatian internasional 

Tindakan belanda menarik perhatian dunia internasional, khususnya PBB. Dewan keamanan PBB mengecam tindakan ini dan mendesak Belanda untuk mengembalikan situasi ke kondisi sebelum agresi dilakukan. Bangsabangsa Asia yang di seponsori oleh India bangkit menyelenggarakan konferensi Asia di New Delhi yang menghasilkan resolusi tentang masalah Indonesia di PBB. Resolusi PBB tentang tindakan Belanda yang melakukan agresi militer II, kemudian mulailah dirintis kembali perundingan-perundingan yang kita kenal dengan Roem-Royen, Konferensi Antar Indonesia dan KMB. Akhirnya melalui Konferensi Meja Bundar yang dilaksanakan di Den Haag, tanggal 27 Desember 1949 terjadi peristiwa penting bagi bangsa Indonesia, yaitu Belanda menandatangani Nota Pengakuan Kedaulatan Republik Indonesia.

2. Gangguan Psikologi Masyarakat 

Dampak dari Agresi Militer Belanda II ini yaitu menimbulkan trauma bagi masyarakat terutama seluruh keluarga yang ditinggalkan dan menjadi korban jiwa dari adanya serangan yang dilakukan oleh Belanda. Kehidupan masyarakat berubah drastis, dari yang sebelumnya hidupnya sejahtera menjadi tidak sejahtera karena adanya Agresi Militer yang dilakukan oleh Belanda. Banyak ibu rumah tangga yang sebelumnya tidak bekerja kemudian harus bekerja sebagai petani dan pedagang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan kebutuhan keluarga. Keadaan Indonesia terutama Yogyakarta yang semula tenang dan tentram berubah menjadi ricuh. Oleh karena hal tersebut tentunya ada pergeseran peran perempuan, pada mulanya perempuan lebih berkutat pada masalah domestic rumah tangga, pada masa Agresi Militer Belanda II harus memenuhi kebutuhan rumah tangga. Hal tersebut dapat terjadi karena para lelaki atau suami harus berperang dan tidak dapat menjalankan perannya sebagai kepala keluarga, sehingga para perempuan harus mengambil alih peran tersebut demi keberlangsungan hidup.

3.Terputusnya Akses Utama Jalan Kertosono-Baron

Banyaknya pohon yang ditebang dan ditumbangkan di sepanjang jalan oleh pihak Belanda membuat terputusnya akses jalan, sehingga yang akan melewati jalan tersebut terpaksa berhenti karena akses yang tertutup. Hal tersebut menyebabkan dampak akses belanda dari Jawa Timur menuju Yogyakarta terputus. Terutama yang berasal dari arah Surabaya menuju Yogyakarta yang dimana jalan utama yang dilewati yakni daerah kertosono baron sudah banyak dilubangi oleh lascar pejuang dan ditebangi pohon, sehingga Belanda kesulitas dalam perjalanan menuju Yogyakarta.

4.Pembentukan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI)

Soekarno melakukan siding darurat dan menghasilkan keputusan yaitu presiden bersama kabinet tetap berada di Yogyakarta, karena jika presiden ditangkap maka menteri kemakmuran membentuk pemerintahan darurat di Sumatera Barat. Seluruh rakyat yang berada di Yogyakarta untuk tetap berusaha mempertahankan kemerdekaan dan setelah sidang selesai, situasi yang mendesak dan ditawannya pemerintah RI di Yogyakarta langsung disikapi Syafruddin dengan membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia. Pembentukan PDRI secara resmi ini menjadi penanggung jawab atas jalannya pemerintahan untuk sementara waktu hingga kondisi menjadi kondusif kembali.

Kesimpulan

Bangsa Indonesia melakukan perlawanan terhadap adanya Agresi Militer Belanda II yang terjadi di Yogyakarta dengan melakukan berbagai tindakan antara lain adalah membangun kekuatan antara TNI, serta rakyat, kemudian melakukan taktik serangan dan perang diantaranya melalui perang gerilya di bawah komandan Jenderal Besar Soedirman, serta Serangan Umum 1 Maret 1949 yang diinisiasi oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX dengan menunjuk Soeharto sebagai pemimpin dari serangan tersebut. 

Perlawanan bangsa Indonesia terhadap Agresi Militer Belanda II di Yogyakarta pada tahun 1948-1949 melibatkan sejumlah tokoh penting yang memiliki peran penting dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Keterlibatan para tokoh tersebut menunjukkan betapa strategisnya Yogyakarta dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari agresi militer Belanda II, mereka bekerja sama dengan rakyat dan pasukan untuk mempertahankan kedaulatan Indonesia di tengah tekanan kolonial. Tokoh-tokoh tersebut adalah Jenderal Soedirman, Sri Sultan Hamengkubuwono IX, dan Jenderal Besar TNI Abdul Haris Nasution. 

Adanya agresi militer Belanda II membawa dampak berupa adanya perhatian internasional terhadap keberadaan Bangsa Indonesia, dan terbentuknya Pemerintahan Darurat Republik Indonesia, namun dampak negatif juga muncul seperti terganggunya kestabilan psikologi masyarakat, akses jalan terputus antara Kertosono-Baron.

Daftar Pustaka

Alhidayath Parinduri, "Sejarah Agresi Militer Belanda II: Latar Belakang, Tokoh, Dampaknya", https://tirto.id/sejarah-agresi-militer-belandaii-latar-belakang-tokoh-dampaknya-f9Vs, diakses pada 30 Mei 2024. 

H. Kuswandi, "Pengaruh Perang Kemerdekaan II Terhadap Pengakuan Kedaulatan RI Tanggal 27 December 1949" dalam Jurnal Artefak, Vo. 3 No. 2, 2015. 

Margana, Sri dkk. Serangan Umum 1 Maret 1949 sebagai Hari Nasional Penegakan Kedaulatan Negara. Yogyakarta: Dinas Kebudayaan DIY. 2022. 

Marsum, Ahmad Wahyu Sudrajad, dan Fransiskus Prihono. Sejarah Jenderal Soedirman di Kabupaten Bantul. Bantul: Dinas Kebudayaan Kundha Kebudayaan Kabupaten Bantul. 2022.

Wahyono, Tugas Tri dkk. Rute Perjuangan Gerilya A.H Nasution pada Masa Agresi Militer Belanda II. Yogyakarta: Balai Pelestarian Sjarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta. 2011. 

Kuswandi, "Pengaruh Perang Kemerdekaan II Terhadap Pengakuan Kedaulatan RI Tanggal 27 Desember 1949" Artefak, Vol.3, No. 2, 2015, 207-220.

Lestari, Anggit Kurnia Wahyu. "Peran TNI-AD pada Masa Agresi Militer Belanda II di Kebumen Tahun 1948-1949", dalam Jurnal Prodi Ilmu Sejarah. 2019.

Muflihah, Wilda, Tri Yunianto, dan Isnawati. "Strategi Militer dalam Perang Kemerdekaan RI Yogyakarta pada Tahun 1945-1949". dalam Jurnal Candi. 2016.

Pratama, Sandyka. "Penerapan Strategi Perang Gerilya dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta". dalam Jurnal Nirwasita. 2023.

Ratna Eka Sari, Dennys Pradita, "Perang di Tambang Minyak: Sosial Ekonomi Bajubang pada Masa Perang Revolusi" dalam Jurnal Historia Madania, Vol. 7 No. 2, 2023.

Rizal, "Peran Jenderal Soedirman dalam Perang Griliya (Studi Historis Masa Agresi Militer Belanda II Tahun 1948-1949 di Jawa Tengah)" dalam Jurnal UM PalembangVol. 1 No. 1, 2021.

Jefri Krisnadi Lubis, "Perlawanan Masyarakat Nganjuk Pada Masa Agresi Militer Belanda 2 Pada Tahun 1948 Sampai 1949" dalam Jurnal Pendidikan Sejarah, Vol. 12 No. 1, 2022..

Winarni, V. Agus Sulistyo, dan Yustina Hastrini Nurwanti. "Dapur Umum Masa Perang Kemerdekaan II di Yogyakarta". 2013.

Winarto, Joko., " Kondisi Yogyakarta Saat Perpindahan Ibukota Republik Indonesia Dari Jakarta ke Yogyakarta Tahun 1946 - 1949" Skripsi pada Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Semarang, 2009.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun