Seorang pria, seringkali dihadapkan pada stigma maskulinitas yang membuatnya harus selalu tampil kuat, tenang, dan siap menghadapi apapun. Namun, semua teori ini bisa dengan mudah hancur berkeping-keping begitu momen menjadi seorang ayah tiba. Saya yakin banyak pria setuju bahwa pengalaman pertama menjadi ayah adalah salah satu momen paling mengharukan sekaligus paling menegangkan dalam hidup. Saya pun punya cerita kocak dari seorang teman yang baru saja menjalani pengalaman ini.
Mari kita panggil teman saya ini dengan nama Budi. Budi adalah tipe pria yang biasanya santai dan penuh canda, tapi siapa sangka, begitu mendekati momen kelahiran anak pertamanya, dia berubah menjadi pribadi yang sangat berbeda.
Hari itu tiba. Budi dan istrinya, Wati, sudah di rumah sakit sejak subuh. Budi, dengan penuh percaya diri (setidaknya begitu terlihat), mengatakan akan mendampingi istrinya sepanjang proses persalinan. Tapi, saat benar-benar dihadapkan pada realita ruang persalinan, keberanian itu menguap entah ke mana. Begitu melihat peralatan medis dan mendengar suara-suara di dalam ruangan, Budi memutuskan untuk mundur teratur. "Aku nggak siap, nggak siap," katanya sambil melambaikan tangan seperti peserta audisi yang gagal.
Jadilah Budi hanya mondar-mandir di lorong rumah sakit. Kadang dia berhenti di depan pintu ruang persalinan, menempelkan telinga ke dinding, lalu berjalan lagi ke arah toilet. "Kamu bolak-balik kayak setrikaan," ledek salah satu kerabat. Tapi Budi terlalu gugup untuk peduli.
Tiba-tiba, terdengar suara tangisan bayi dari dalam ruang persalinan. Budi langsung berdiri mematung. Dia melirik pintu, lalu menengok ke arah toilet, seperti sedang mencari tempat sembunyi. Akhirnya, dia memberanikan diri masuk. Di dalam ruangan, Wati sedang terbaring kelelahan tapi tersenyum, sementara bayi mereka yang mungil sudah dibungkus selimut biru.Â