Jalan yang menghubungkan Bandung dan Lembang bukanlah sekadar rute, melainkan jalan setapak kenangan yang membentang seperti pita, menyatukan pepohonan yang berbaris rapi diantara lembah. Asap tipis dari gerobak penjaja makanan di pinggir jalan sesekali terlihat mengepul, mencium hidung dengan aroma-aroma yang menggugah selera. Ini adalah tanda bahwa aku mendekati tujuan, Lembang sudah dekat, begitu pula cita rasa khas yang tengah menantiku.
Begitu tiba di salah satu kedai pinggir jalan yang sederhana, kursi-kursi kayu yang disusun seadanya seolah memanggil untuk sejenak duduk dan menikmati suasana. Kedai ini tidak menawarkan kemewahan, hanya keramahan dan kesederhanaan yang membuatnya terasa begitu akrab, seperti pelukan yang tulus. Aroma colenak, singkatan dari "dicocol enak," yaitu tape bakar yang disajikan dengan kinca gula kelapa tercium dari dapur kecil yang hanya terbuat dari anyaman bambu. Colenak ini mungkin sederhana, namun di setiap gigitannya, ada rasa manis yang dalam, seperti cerita masa lalu yang kembali dihidangkan.
Dari segigit colenak yang hangat, aku teringat kenangan lama, saat masih kecil, duduk di samping nenek yang gemar menceritakan kisah rakyat Jawa Barat sambil menyuapkan tape hangat yang dibakar di atas tungku sederhana. Rasa manisnya mengalir perlahan, berpadu dengan tekstur tape yang empuk dan sedikit kenyal. Tak sekadar kudapan, colenak adalah jembatan rasa yang membawa pada nuansa masa lalu, saat kehidupan masih sederhana dan kehangatan keluarga menjadi pusat dari segala kenikmatan.
Selesai dengan colenak, pandanganku tertuju pada ketan bakar yang dihidangkan di meja. Ketan bakar ini bukan sekadar nasi ketan yang dibakar; ia dibumbui dengan sedikit kelapa parut dan disajikan bersama sambal oncom yang beraroma khas. Rasanya gurih dan sedikit pedas, memanjakan lidah seperti hangatnya api unggun di malam hari. Ketan bakar di Lembang memiliki cita rasa yang otentik, seolah mengisahkan kembali asal usul tanah Priangan yang kaya akan hasil bumi dan budaya kuliner.