Pertama, konsep dualistic model of passion yang diangkat dari penelitian Dr. Robert Vallerand menawarkan kerangka teoritis yang menarik. Model ini menegaskan adanya dikotomi antara harmonious passion, yang selaras dengan keseimbangan hidup, dan obsessive passion, yang dapat mendominasi dan membawa konsekuensi negatif. Meski model ini memadai untuk menjelaskan variasi manifestasi passion dalam kehidupan sehari-hari, ada satu pertanyaan mendasar yang dapat diajukan: Apakah benar passion secara inheren dapat dikategorikan secara dualistik? Dalam banyak kasus, passion mungkin tidak selalu terpolarisasi secara jelas menjadi harmonis atau obsesif, tetapi bisa berfluktuasi di antara keduanya tergantung konteks hidup individu. Dengan kata lain, pendekatan yang lebih holistik mungkin diperlukan untuk memahami passion sebagai spektrum dinamis yang dipengaruhi oleh berbagai faktor sosial, budaya, dan psikologis. Passion yang dianggap harmonis pada satu momen bisa berubah menjadi obsesif dalam konteks yang berbeda, dan sebaliknya.
Selain itu, artikel ini menyoroti passion sebagai kekuatan yang esensial bagi kebahagiaan dan makna hidup, dengan mengacu pada riset mengenai flow dari Mihaly Csikszentmihalyi. Konsep flow ini memang menekankan pentingnya keterlibatan total dalam aktivitas yang memicu kebahagiaan intrinsik. Namun, dalam pendekatan ini ada implikasi yang perlu dipertimbangkan terkait aksesibilitas terhadap flow. Tidak semua individu memiliki kesempatan yang sama untuk mengembangkan passion atau mencapainya dalam bentuk optimal. Kondisi sosial-ekonomi, pendidikan, serta lingkungan kerja dapat sangat mempengaruhi kemampuan seseorang untuk mengejar passionnya. Oleh karena itu, perbincangan tentang passion harus mencakup diskursus yang lebih luas mengenai keadilan sosial dan distribusi kesempatan.
Tuntutan untuk "menemukan passion", sebagaimana disoroti dalam kritik yang diutarakan penulis, juga mengundang diskusi penting mengenai tekanan sosial yang tercipta. Di era modern, terutama dalam ekonomi kapitalis yang berbasis pada eksploitasi tenaga kerja, dorongan untuk mengembangkan passion sering kali digunakan sebagai alat untuk mengintensifkan produktivitas. Individu dimotivasi untuk terus berusaha mencapai performa maksimal dengan alasan bahwa mereka harus mencintai apa yang mereka lakukan. Di sini, passion bisa terjebak dalam retorika meritokrasi yang menekankan pada tanggung jawab individu, seraya mengabaikan struktur sosial yang sering kali membatasi ruang gerak mereka. Oleh sebab itu, passion tidak boleh hanya dilihat sebagai kekuatan individu yang apolitis, tetapi juga sebagai bagian dari lanskap ekonomi-politik yang lebih besar.
Di samping kritik, konsep passion dalam berbagai ajaran agama dan filsafat yang dipaparkan Denny JA juga layak mendapat pujian. Dengan merujuk pada Islam, Kristen, Hindu, Buddhisme, dan bahkan Stoikisme, artikel ini menunjukkan bahwa passion bukanlah konsep modern semata, melainkan bagian dari kebijaksanaan manusia yang telah ada selama ribuan tahun. Dalam rangka memberikan pandangan yang lebih mendalam, kita perlu mempertimbangkan apakah passion selalu membawa kebahagiaan yang diinginkan.Â