Kemenangan Anggodo Widjojo dalam gugatan praperadilan di tingkat banding, beberapa hari lalu, membuat banyak kalangan prihatin. Masyarakat semakin bingung. Jadi, siapa yang benar dan siapa yang salah? Apakah yang salah dibuat-buat sehingga menjadi benar? Atau sebaliknya?
Secara logika sederhana, Anggodo yang jelas-jelas melakukan percobaan menyuap sejumlah penegak hukum, justru dimenangkan kembali di pengadilan? Rekaman suara percakapan Anggodo dengan sejumlah penegak hukum diperdengarkan di Mahkamah Konstitusi (MK) beberapa waktu lalu, menunjukkan bukti ke telinga publik secara gamblang. Permainan apa lagi ini?
Di tengah-tengah korupsi yang menggurita di negeri ini seperti tidak akan pernah habis. Justru menunjukkan bahwa korupsi semakin bertumbuh dimana-mana. Ini baru mengurusi satu masalah (Kasus Anggodo, red), belum mengurusi kasus korupsi yang nilai rupiahnya menggiurkan dan membuat geleng-geleng kepala. Singkatnya, adanya KPK lantas tidak menyurutkan korupsi. Sebaliknya korupsi bak tikus menggerogoti padi-padi. Menutup satu lubang, timbul ribuan lubang lainnya. Satu belum tuntas, muncul ribuan korupsi lainnya.
Kejahatan korupsi telah mencederai masyarakat. Gelombang aksi demonstrasi antikorupsi yang sering dilakukan para aktivis di jalanan, hanya tinggal lewat begitu saja. Aspirasi masyarakat hanya masuk kuping kanan, lalu keluar kuping kiri para pemangku kekuasaan. Seakan-akan mereka tidak berdaya dengan kejahatan korupsi yang sudah lama menyengsarakan masyarakat.
Konsisten penegakan hukum tampak semakin abu-abu. Aturan sudah ada. Namun, aturan-aturan bisa diperdebatkan melalui bermacam-macam argumen lagi oleh jaksa, pengacara dan hakim. Lalu, tinggal menanti putusan hakim yang adil dan diterima semua pihak, meskipun tidak semua pihak dapat menerimanya dengan lapang dada dan bijaksana.