Bagaimanapun juga kebijakan-kebijakan tersebut akan memberikan efek cukup besar terhadap penerimaan negara, dari impor beras misalnya negara berpotensi kehilangan Rp 109,38 miliar, pembebasan bea masuk tepung terigu akan menghilangkan potensi penerimaan sebesar Rp 77,16 miliar, dan yang paling penting adalah merugikan petani dan pedagang pengecer yang menjual komoditas pangan dalam negeri tersebut. Namun hal ini ditepis oleh Menteri Perdagangan, Marie Elka Pangestu yang mengatakan bahwa apabilaharga impor juga tinggi, maka tidak akan menjatuhkan harga jual komoditas pangan dalam negeri sekaligus tidak akan mempengaruhi perlindungan pada petani.
Kebijakan pembebasan bea masuk terhadap bahan pangan ini patut diuji kelak, dengan beberapa pertanyaan, siapa dibalik ini semua? Apakah kebijakan ini merupakan tekanan negara asing dan pengusaha-pengusaha penguasa kapital negeri ini terhadap pemerintah Indonesia? Apakah benar-benar murni untuk kesejahteraan rakyat? Apakah kelak perlindungan terhadap petani benar-benar dijamin oleh pemerintah? Jawaban-jawaban itu kelak akan muncul bersamaan dengan datangnya beras dan gandum impor, selanjutnya akan terjawab perusahaan siapa yang mengimpornya. Mari kita cermati.
Mengingat hangatnya situasi politik beberapa minggu terakhir berkaitan dengan episode Gayus memulul balik Satgas Anti Mafia Hukum, sentilan dari beberapa tokoh agama tentang kebohongan publik yang dilakukan pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu Jilid 2 dan diakhiri dengan penugasan kepada Wakil Presiden untuk mengawal 12 keputusan penting menyikapi situasi terakhir, maka kebijakan antisipasi terhadap sinyalemen akan adanya krisis pangan ini menjadi penting pula. Mengapa? Analisa saya, pemerintah memandang kelompok-kelompok yang kritis terhadap pemerintah belum tentu semuanya mempunyai basis massa yang besar dan jelas, yang paling penting bagi pemerintah adalah menjamin kebutuhan paling dasar yaitu pangan, apapun caranya. Seperti halnya teori AbrahamMaslow bahwa ada 5 kebutuhan penting manusia yang harus dipenuhi berdasarkan tingkat urgensinya artinya untuk merasakan kenikmatan suatu kebutuhan maka harus dipuaskan terlebih dahulu kebutuhan yang ada di tingkat dibawahnya, dalam hal ini adalah kebutuhan akan pangan.
Tidak dapat disangkal, belajar dari pengalaman tahun 1998 saat itu harga-harga kebutuhan pokok melonjak sangat drastis, krisis mata uang, berlanjut krisis ekonomi dan berakhir dengan krisis politik, pemerintah pasti tidak akan terjebak dalam situasi seperti itu lagi karena meningkatnya harga pangan dengan membabi buta atau tidak terkendali. Akibat dari itu semua adalah menurunnya daya beli masyarakat yang akan berujung pada ‘berteriaknya’ grass root. Dan apabila grass root sudah mulai ‘berteriak’ kelaparan, maka ibarat jerami kering terpantik api, akan mudah terbakar menghanguskan semua elemen bangsa. Selamanya kita akan menjadi bangsa keledai yang terperosok ke dalam lubang yang sama untuk kesekian kalinya, seperti apa kata bung Hatta “ Sejarah adalah repetisi pengalaman-pengalaman. Tapi jika Indonesia terperosok ke lubang hitam yang sama secara telak, mungkin karena bangsa ini tidak benar-benar belajar dari sejarah yang benar”. Jadi seperti biasa pemerintah akan berkomentar “Hey para vokalis..teruslah berteriak..Emang Gue Pikirin, yang penting rakyat kenyang.”
Ah...terdengar lagi di telinga saya suara Iwan Fals dengan kelompok SWAMI ..oo..ya..o..ya..o..ya..bongkar..
Ilustrasi: van-prey.blogspot.com
Salam Hangat Kompasiana
Erfan Adianto
Seorang buruh biasa
-o-
Postingan saya yang lain di Kompasiana
Pemakzulan, Sebuah Jalan Panjang