Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Tongkat Kurus

26 Mei 2012   18:10 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:45 77 0
Mengapa begitu luas? Aku terlihat sangat kecil dan tak berdaya. Maklum aku tak punya kemampuan untuk berjalan dan bergerak lincah layaknya macan tutul yang berlari cepat. Aku hanya sering membayangkan mempunyai kaki-kaki yang kuat dan dapat berjalan sesuai yang aku mau. Hanya itu. Memang tubuhku tak sekecil padi yang sudah menguning, tapi tak sebesar pohon kelapa yang masih muda, bahkan aku kalah besar dibandingkan dahannya. Aku rendah diri menatap keadaan yang mengungkungku, apalagi jika dibandingkan dengan yang lain, yang bisa bergerak dan tertawa terbahak-bahak.

Saat ini aku berdiri sendiri tertancap di pematang sawah yang tak begitu keras, dan tak pula sangat lembek, sedang-sedang saja. Kakiku yang satu ini tertancap lumayan dalam hingga angin kencang yang mendorong tubuhku tak mampu untuk merobohkanku. Mungkin tepat di tengah sawah, atau mungkin hanya di pinggiran sawah. Mataku hanya dapat melihat ke depan, dan yang kulihat di depan adalah hamparan padi yang hijau muda. Mereka masih kecil dan bernyanyi-nyanyi menyambut panas matahari. Maklum air mengalir lancar.

Suasana yang sedemikian ini tak bisa seperti biasanya aku nikmati. Biasanya aku ikut tersenyum dan sesekali tertawa mendengar mendegar nyanyian-nyanyian para padi kecil. Sering mereka bernyanyi tak jelas maksudnya, biasanya melukiskan rasa terimakasih mereka kepada matahari, tetapi kata-kata mereka kacau dan saling menyeracap bersautan. Bahkan saat terdapat yang sumbang dalam menyanyi, mereka tak segan untuk saling mengolok-olok temannya sendiri. Saat ini, semua suasana dan kondisi seperti ini tak kunikmati dengan rasa syukur. Biasanya ada Bapak yang menemaniku, Bapak yang seorang manusia.

Tahukah kalian? Ia ramah sekali denganku, tak jarang jika aku dibelai dan dimandikan olehnya. Badan kurus dan kerasku ini kerap di elus oleh jari-jari lembutnya, lembut tangan seorang buruh tani. Lembut jari-jemari tangan yang hampir tiap hari memegang lumpur. Setegas belaian tangan sang pemegang cangkul tiap hari dan kini aku merindukannya. Masih sebentar padahal.

Entah mengapa Bapak meninggalkanku disini tanpa berbicara mengenai kepergiannya terlebih dahulu. Biasannya Ia selalu mengajakku berbicara, walaupun aku tak pernah menjawab. Kata terakhir yang aku ingat sebelum Ia meninggalkanku disini adalah saat Ia mengajakku untuk pergi ke sawah untuk mencari bekicot. Bekicot untuk makan entog di rumah.

Saat di jalan, Bapak hanya diam saja. Tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Keluhan, rasa syukur, atau sapaan terhadap orang-orang yang ada di sawah tak keluar dari bibir dan lidahnya. Tak seperti biasa. Hanya diam saja. Aku tak merasa curiga awalnya, tapi saat Ia mulai mencari bekicot tak satu pun kata keluar untuk berpamitan kepadaku. Mulai saat itulah aku mulai khawatir dengan Bapak.

Ada apa dengannya?

Sakit?

Padahal tadi masih sempat untuk minum kopi dan sarapan nasi sambel. Tubuhnya masih hangat dan masih seperti biasa. Tangannya masih sekuat cengkeraman biasanya. Hanya matanya yang sekilas aku lihat sedikit sayu dan tampak lelah. Tak mungkin jika Bapak sakit. Ya kan Pak?

Atau sengaja mendiamkanku?

Apa mungkin aku salah ya Pak?

Aku masih kuat untuk membantu menopang tubuh Bapak dan menahan kasarnya tanah berbatu kerikil. Bahkan tubuhku masih kuat untuk memukul ular yang berkeliaran di sawah. Aku masih setia menjadi tongkat yang membantu Bapak berjalan. Masih mampu dan mau. Lantas apa masalahnya?

Aku kembali tersadar. Para padi tak lagi seramai tadi. Sekarang sudah sore, langit sudah berwarna merah teduh. Menatapnya saja menegaskan kenyamanan atau mungkin saat ini lebih tepat jika langit merah ini berhasil masuk ke dalam pikiranku dan menggugah kata rindu untuk keluar. Rindu kepada Bapak.

“Ada apa Pak?” Batinku.

***

Matahari yang dulu bersinar tepat di depanku, sekarang sudah mulai bergeser ke utara, ke samping kananku. Tubuhku sudah tak semulus saat sering dipegang oleh Bapak. Banyak jamur dan sedikit berdebu. Bahkan sering jadi bahan tumpuan tangan-tangan petani saat melewati pematang yang ku tempati. Aku sering berteriak kepada mereka, menanyakan kabar Bapakku dan mencari jawaban atas perbuatan Bapak kepadaku selama ini. Aku tak pernah lagi bertemu dengan Bapak. Entah kemana perginya beliau. Harapanku tubuhnya tak dimakan sakit dan usia yang sudah tua.

“Semoga sehat.” Begitu sederhana doaku, tapi tulus dari hati sebatang kayu yang kurus. Hanya satu kabar mengenai Bapak, kabar dari burung yang bertengger di kepalaku beberapa hari yang lalu. Ia mendapatkan kabar itu dari burung yang dipelihara Bapakku. Burung yang terkurung di kurungan.

Burung itu bercerita bahwa apa yang dilakukan Bapak adalah hal yang baik untukku. Baik untuk seorang tongkat kurus sepertiku. Di ceritanya, Bapak ingin aku lebih besar dan menyaingi besarnya pohon kelapa. Lebih subur daripada padi yang terus terkena obat. Lebih rindang daripada pohon mangga. Lebih kuat daripada pohon trembesi. Lebih meneduhkan dibandingkan pohon beringin.

Aku sadar bahwa aku sekarang tidak berada di tengah-tengah sawah. Bahkan bukan di pematang. Aku di pinggir sungai kecil, dan di tepi luasnya sawah yang berada tepat di depanku. Aku sadar pula maksud dari Bapak meninggalkanku sendiri disini. Tubuhku mulai terasa bergairah setiap harinnya. Walaupun ada jamur-jamur yang menempel di sisi-sisi tubuhku, gairah tubuhku tak tertahankan di tiap matahari terbit. Aku mulai berdaun dan merasakan mulai berakar. Aku akan jadi pohon dan mungkin ini sesuai harapan Bapak. Sebuah pohon besar.

Aku hanya ingin suatu saat Bapak datang berkunjung ke sini, duduk di bawahku dan membelai tubuh besarku. Saat aku sudah besar. Aku adalah tongkat kurus milik Bapak.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun