Tapi aku tahu dia tak merasa, Tak punya mata, kuping, indera yang seperti aku, manusia. Kasihan jika Ia punya mata dan telinga seperti manusia, mungkin dia akan melirik bintang serupa sepertinya dan akan berkencan di atas sana sampai aku tak melihatnya dari tempat ku duduk sekarang, di tepian jembatan, tepian kerut-kerutan kulit bumi.
Melihat sekitar dan melihat diriku sendiri terkadang memunculkan banyak pertanyaan yang tak terjawab oleh diriku sendiri. Hanya pertanyaan-pertanyaan yang tertumpuk-tumpuk dan akhirnya dilupakan, tapi terkadang njumbul ke permukaan sebagai ingatan yang jelas lagi.
Jika si Bulan di sana punya mata, dia juga tak mungkin menatapku, diriku terlalu kecil untuknya bukan? Banyak manusia yang hampir serupa denganku pula, dan sinarnya tidak akan dapat memberikan kulit putih bagiku, hanya remang-remang mungkin.
Kenapa Si Bulan betah dengan hal itu ya? Muter-muter tiap hari ke seluruh permukaan bumi, sepertinya Ia tak dibayar untuk itu. Apa mungkin alam yang mengaturnya? Ah ya, mungkin hukum alam yang mengaturnya, seperti apel yang jatuh ke tanah gara-gara hukum gravitasi. Bulan hanya terikat hukum itu mungkin. Berputar-putar jelas arahnya, menjadi korban atas hukum alam. Mungkinkah Ia merasa dirugikan?
Hm, aku ingat Ia tak merasa.
Kalau bulan seperti itu, dan sepertinya hukum alam ini mengikat bulan dan sepertinya benda-benda yang lain yang ada di alam ini, apakah aku juga terikat?
Kan? Aku bingung tidak ada jawaban lagi.
Tak ada orang di sampingku sekarang yang bisa aku ajak berbicara, hanya aku yang lain yang aku ajak berpikir dari tadi. Walaupun aku yang lain itu tidak memberi jawaban. Menerka-nerka akhirnya.
Mungkin aku juga seperti bulan itu.
"Hei Bulan jawab Bung!" Oh iya aku lupa lagi, Ia tak merasa.