Soal menteri dari parpol juga tengah menjadi perbincangan hangat oleh khalayak. Pertanyaan mendasar yang perlu diangkat, dalam konteks kabinet presidensial, mengapa parpol-parpol selalu ngotot mendesakkan orang-orangnya masuk kabinet? Meski kelaziman dalam sistem kabinet presidensial bahwa pengangkatan menteri-menteri adalah hak prerogatif presiden dan menteri-menteri adalah pembantu presiden, untuk kasus Indonesia tampaknya itu tidak sepenuhnya bisa diterapkan. Sistem kepartaian dan sistem pemilu yang dibangun kemudian akhirnya meniscayakan, mungkin lebih tepat "memaksa" Presiden mengakomodasi keinginan parpol-parpol, dalam mekanisme power sharing, menempatkan orang-orang mereka dalam kabinet. Alasan yang dikemukakan biasanya adalah demi stabilitas pemerintahan (alasan yang logis dalam dari sistem parlementer). Maka sistem pemerintahan kita pun adalah sistem pemerintahan abu-abu, atau dalam bahasa Hanta Yuda AR (2002) disebut presidensialisme setengah hati.
Stabilitas pemerintahan? Tampaknya tujuan ini tidak jua kunjung tiba. Kesan yang dapat dibaca justru sulit dan akhirnya kegagalan koordinasi oleh Presiden terhadap menteri-menterinya. Indikatornya adalah pengakuan Presiden sendiri bahwa sebagian besar kebijaksanaannya gagal dieksekusi dengan baik oleh para pembantunya itu. Pasalnya? Ya sederhanya saja. Tidak mungkin kengototan parpol-parpol untuk mendesakkan orang-orangnya dalam kabinet tanpa agenda atau kepentingan tertentu dari partai itu sendiri. Dan jika kepentingan partai yang kemudian mendrive menteri-menteri dari parpol itu dalam melaksanakan tugas-tugas kepembantuannya, maka jelas tuannya akan diabaikan. Tidak mungkin seorang hamba mengabdi pada dua mamon dan bisa berlaku adil atau sama untuk keduanya. Hasilnya adalah instabilitas pemerintahan dalam arti luas atau kinerja yang rendah. Padahal semestinya, bagi semua penyelenggara negara, termasuk menteri-menteri yang berasal dari parpol, dalam konteks tugas pengabdian kepada negara, adagium yang berlaku adalah bahwa loyalitas kepada partai otomatis berakhir ketika loyalitas kepada negara mulai. Sayang, karakter kenegarawanan seperti itu tidak jua kita temukan pada para pemimpin negara hingga sekarang ini.
Maka untuk "mengendalikan" para menteri yang berasal dari parpol itu muncul wacana bahwa mereka harus bisa dikontrol oleh sistem dan masyarakat agar selalu berjalan pada lintasan yang telah ditentukan. Wakil Ketua MPR Lukman Hakim Saifuddin dan Hajriyanto Y Thohari mengatakan bahwa parpol adalah lembaga penampung aspirasi, mewakili masyarakat, dan mengader pemimpin. Oleh karena itu, sewajarnya jika kader partai lalu masuk lembaga negara. Disampaikan juga oleh Lukman Hakim yang juga adalah DPP PPP bahwa dalam situasi sekarang, penting sekali mengontrol kader partai dalam lembaga negara agar tetap memakai kekuasaan dengan benar dan memihak kepada kepentingan rakyat. Kontrol dilakukan dengan membangun sistem dan mekanisme dalam lembaga serta oleh masyarakat (http://cetak.kompas.com/read/2011/10/19/03002893/kader.partai.harus.bisa.dikontrol).
Dengan sistem politik yang dikembangkan sekarang, sistem pemerintahan presidensial secara faktual telah mangakomodasi menteri-menteri dari parpol sebagai bagian dari power sharing yang disepakati dalam kontrak politik antara Presiden dan parpol-parpol. Atas fakta ini memang akan sangat sulit menjamin menteri-menteri itu tidak membawa dan memperjuangkan kepentingan partai mereka di departemen yang dipimpin. Program-program untuk rakyat bisa dimanipulasi untuk kepentingan partai. Presiden akan terganjal mengeksekusi kebijakannya di tataran departemen karena berbenturan dengan kepentingan partai. Dan untuk keselamatan masing-masing, jalur amannya adalah mengorbankan kepentingan publik, kepentingan rakyat secara keseluruhan.
Jadi, mengapa menteri-menteri dari parpol tidak bisa maksimal berbuat di departemen yang dipimpin untuk kepentingan rakyat? Dari kecenderungan-kecenderungan yang terbaca, mereka memang tidak mampu menjadi menteri yang secara total dan sungguh-sungguh seutuhnya melaksanakan tugas kementerian mereka melalui departemen yang dipimpin. Ada disorientasi di sana yaitu kepentingan rakyat secara keseluruhan direduksi menjadi kepentingan partai. Maka jangan berharap rakyat benar-benar mendapatkan porsi yang sebesar-besarnya dalam berbagai program yang dibuat. Dalam bahasa Herry Tjahjono, para menteri itu tidak mampu menjadi "sejati" . Menjadi "sejati" menteri berarti mengerahkan segenap potensi diri, nilai-nilai utuk sepenunya diabdikan pada pelaksanaan tugas-tugas dan tanggung jawab menyejahterakan masyarakat melalui departemen yang dipimpin. Jika kesejatian itu mampu ditunjukkan maka konsekuensi logisnya adalah kinerja departemen akan baik, rakyat akan mendapatkan manfaat yang setinggi-tingginya atas berbagai program yang dibuat. Jika demikian, justru rakyat yang dengan senang hati akan mengusulkan menteri-menteri harus dari parpol. Parpol tidak perlu lagi menggadang-gadang Presiden, mendesakkan keinginan mereka agar orang-orang mereka masuk dalam kabinet dan Presiden pun tidak selalu terperangkap dalam dilema setiap membentuk kabinet.***