Hari ini cetak.kompas.com (http://cetak.kompas.com/read/2011/10/18/02452948/kami.minta.sediakan.sinyal.telepon...) menurunkan reportase mengikuti kunjungan Komisi II DPR ke Tanjung Datu. Kita membaca bahwa masyarakat Temajuk yang dikunjungi menyatakan baik-baik saja, tidak ada masalah dengan saudara-saudara mereka di Teluk Melano Negara Bagian Serawak wilayah Malaysia. Disampaikan juga  bahwa justru mereka bingung dengan gonjang-ganjing para petinggi dan orang pintar di Jakarta akibat pemberitaan tentang perbatasan yang menghebohkan. Mereka akhirnya khawatir akan nasib mereka menjadi lebih jelek lagi jika kemudian para tentara turun berjaga-jaga akibat ketegangan antara Indonesia dan Malaysia.
Yang juga kemudian menarik, reportase itu mengatakan begini: "Nyatanya jalan di Malaysia mulus di Temajuk berpasir. Di wilayah Malaysia sekolah hingga empat tingkat, sementara di Temajuk ada 2 SDN, 1 SMP dan 1 SMA. Warga Temajuk juga mengalami listrik yang byarpet karena harus menanggung solar untuk generator".
Dengan mudah kita berkesimpulan ternyata nasib saudara-saudara mereka di Malaysia jauh lebih bagus, lebih sejahtera, padahal satu daratan, prasarana di Malaysia juga jauh lebih bagus untuk para warga mereka. Nah....Bapak-bapak di Jakarta yang sudah hidup enak, jika kalian menjadi seperti rakyat Indonesia di Temajuk kira-kira apa yang Bapak-bapak pikirkan dan lakukan? Enakan di Malaysia kan? Jadi sangat manusiawi jika rakyat Indonesia di perbatasan dengan keadaan mereka seperti itu, akan lebih memilih hidup seperti saudara-saudara mereka di Malaysia.
Tapi ternyata itu tidak mereka lakukan. Mereka tetap setia menjadi warga negara Indonesia, mau tidak mau, dengan segala kesederhanaan dan kekurangan mereka. Apakah Bapak-bapak akan melakukan hal yang sama? Terus terang saya sangat ragu, apalagi melihat mental dan tabiat manusia-manusia di berbagai lembaga negara itu. Tapi dengan berbuih-buih Bapak-bapak yang pintar dan terhormat itu mengatakan penduduk di perbatasan itu nasionalismenya rendah sembari juga menyalahkan dan mengutuk Malaysia yang dituduh mencaplok wilayah RI, melanggar kedaulatan Indonesia dan merendahkan martabat bangsa Indonesia.
Jika kita mau jujur, kembali ke kesejatian kemanusiaan kita, apalagi yang dilandasi nilai-nilai Pancasila...dan menjadi seperti saudara-saudara kita yang diperbatasan itu, dengan semua keadaan keterbatasan, kesederhanaan mereka dan tetap menjadi warga negara Indonesia, justru mereka telah memberikan jauh lebih banyak semangat nasionalisme ketimbang orang-orang pintar yang hanya bicara soal nasionalisme.
Kedaulatan? Martabat? Teori kedaulatan modern tidak lagi menempatkan batas-batas teritorial semata sebagai kriteria kedaulatan sebuah negara. Bagaimana negara mampu mewujudkan kesejahteraan bagi setiap warganya, terutama juga warga yang ada di perbatasan justru karena mereka adalah halaman depan wajah negara ketika berhadapan dengan negara lain dan menjaga setiap jengkal wilayah teritorial agar  secara nyata memberikan makna dan manfaat  sebesar-besarnya bagi wargannya kini menjadi basis utama kedaulatan negara. Sayang untuk Indonesia, menjaga kedaulatan teritorial saja sudah sehingga memberi manfaat yang setinggi-tingginya bagi setiap warga negara saja sudah ngos-ngosan, apalagi mewujudkan kesejahteraan secara merata, meski konstitusi telah mengamanatkan itu sebagai tanggung jawab negara.
Lalu martabat bangsa itu akan hadir dengan sendirinya jika kita sendiri yang menjaganya dari diri kita sendiri, bukan dari orang atau bangsa lain. Artinya bagaimana mungkin kita bicara martabat bangsa sementara pembiaran atas penderitaan, ketidakadilan dan kemiskinan atas rakyat ini terjadi di sana-sini? Bagaimana kita bisa menjaga martabat bangsa jika antara kita saja saling sodok, saling jegal, hukum dipelintir demi sebesar-besarnya nilai ekonomi dan berbagai kepentingan dikumpulkan sementara rakyat sederhana dan bodoh selalu menjadi korban terbiarkan?***