Akhir-akhir ini ramai diberitakan terkait RAC yang masih menjalankan kekuasaannya sebagai Gubernur Banten yang statusnya sudah menjadi tersangka dan telah dilakukan penahanan. Argumentasi yang diberikan dari pihak RAC adalah selain mengenai asas hukum praduga tidak bersalah (“presumption of innocence”), juga mengenai ketentuan Pasal 31 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah.
Firman Wijaya selaku Kuasa Hukum RAC menyatakan, “Tuntutan mengusulkan pemberhentian sementara itu termasuk brutality policy dan cenderung abuse of procedure karena tidak ada legal formal.” Hal tersebut disampaikan terkait keinginan Komisi Pemberantasan Korupsi (“KPK”) untuk memberhentikan RAC dari Jabatan Gubernur Banten (Koran INDOPOS, 30/12/2013). Sedangkan Tama S. Langkun, Aktvis ICW mengatakan, “Pemerintah berdalih tidak bisa memberhentikan sementara Atut karena Pasal 31 ayat (1) UU Pemda menyatakan harus menjadi terdakwa,” (Koran TEMPO, 28/12/2013).
Berbicara mengenai hukum normatif sebagaimana dimaksud pada paragraf pertama, yang berlaku sebagai hukum positif di Indonesia, penulis pun sependapat dan tidak membantah akan hal itu. Tulisan ini pun juga tidak membahas perkara aquo dari substansi hukum pidana yang mengedepankan kebenaran materil. Namun hanya membahas secara sekelumit dari sudut pandang yang lainnya, yakni hukum administrasi negara.
Terlepas dari pro kontra mengenai hal tersebut, penulis sekedar sumbang pemikiran bahwasanya sebenarnya kita selaku rakyat NKRI dapat menilai apakah tindakan Pemerintah RI telah sejalan dengan asas negara hukum atau tidak (dalam hal ini tindakan Pemerintah RI yang sampai dengan saat ini belum memberhentikan sementara RAC). Caranya adalah dengan menggunakan asas-asas umum pemerintahan yang baik (Algemene Beginselen van Berhoorlyk Bestuur atau “AUPB”). Meskipun AUPB bersifat normatif secara etika pada awalnya, AUPB saat ini telah berkembang menjadi asas-asas hukum pemerintahan yang tidak tertulis dan (layak) dipandang sebagai hukum positif tidak tertulis. Pemerintah RI pun sebenarnya dapat memakai AUPB ini guna menghindari kerugian terhadap rakyat NKRI.
Hotma P. Sibuea, dalm bukunya yang berjudul “Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan, dan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik“ pada halaman 158-159 menyebutkan bahwasanya Asas-asas pemerintahan yang baik dikemukakan oleh Crince Le Roy (red. huruf a sampai dengan k) dan Kuntjoro Purbopranoto (red. huruf l dan m) meliputi hal-hal sebagai berikut:
a. asas kepastian hukum (principle of legal security);
b. asas keseimbangan (principle of proportionality);
c. asas kesamaan dalam mengambil keputusan (principle of equality);
d. asas bertindak cermat (principle of carefulness);
e. asas motivasi dalam setiap keputusan (principle of motivation);
f. asas larangan mencampuradukkan kewenangan (principle of non-misuse of competence);
g. asas permainan yang layak (principle of fair play);
h. asas keadilan atau kewajaran (principle of reasonable of prohibition of arbitrariness);
i. asas menanggapi penghargaan yang wajar (principle of meeting raised expectation);
j. asas meniadakan akibat keputusan yang batal (principle of undoing the consequence of unnulled decision);
k. asas perlindungan atas pandangan (cara) hidup pribadi (principle of protecting the personal way of life);
l. asas kebijaksanaan (principle of sapiently);
m. asas penyelenggaraan kepentingan umum (principle of public service).
Dari AUPB tersebut di atas, maka akan timbul beberapa contoh pertanyaan sebagai berikut (yang tentunya kita seharusnya dapat menjawabnya dengan mempergunakan kebijaksanaan):
1. apakah RAC akan mempergunakan kewenangannya dengan sesuka hati dengan (masih) memimpin dalam Rutan Pondok Bambu, Jakarta Timur, tanpa ada syarat tertentu yang diatur oleh peraturan perundang-undangan?
2. apakah perbuatan RAC dengan (masih) memimpin dalam Rutan Pondok Bambu, Jakarta Timur, dapat dinyatakan sebagai cara yang tidak dapat diterima dengan akal sehat (meskipun telah ada aturan yang mengaturnya)?
3. apakah jika RAC (masih) memimpin dari dalam Rutan Pondok Bambu, Jakarta Timur akan menimbulkan kerugian dan penderitaan bagi warga Banten atau bahkan mungkin akan melanggar hak-hak warga Banten, sehingga tindakan seperti itu seyogyanya tidak dilakukan?
4. apakah RAC tidak menggunakan rasionalitasnya dalam menggunakan kewenangannya, jika (masih) memimpin dari dalam Rutan Pondok Bambu, Jakarta Timur sehingga tindakan tersebut tidak akan dapat diterima keabsahannya atau tidak dapat diterima akal?
5. apakah RAC telah mengedepankan kepentingan umum sebagai kepentingan segenap orang (pada khususnya warga Banten) dengan (masih) memimpin dari dalam Rutan Pondok Bambu, Jakarta Timur sebagai Gubernur Banten?
6. apakah Pemerintah RI telah mengedepankan kepentingan umum sebagai kepentingan segenap orang (pada khususnya warga Banten) dengan tidak memberhentikan sementara RAC sebagai Gubernur Banten? Mengingat tugas negara hukum kesejahteraan (welfare state) adalah menyelenggarakan kesejahteraan umum sebagai kepentingan segenap bangsa.
7. serta pertanyaan terkait lainnya.
Apabila ternyata jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas, lebih mencerminkan tindakan yang tidak berkesesuaian dengan hukum, maka untuk dapat membuktikan RAC ataupun Pemerintah RI telah melakukan perbuatan melawan hukum (onrechmatige overheidsdaad), dapat dilakukan dengan dua upaya hukum, yakni melakukan Gugatan Perdata dengan mengajukan Gugatan Perbuatan Melawan Hukum dan/atau mempersoalkannya melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (dengan catatan adanya keputusan Pemerintah RI yang dikeluarkan terlebih dahulu).
Wallahu a’lam (Allah Ta’ala Yang Lebih Mengetahui)…***
#Salam Keadilan… ;)
#Referensi:
- Dr. Hotma P. Sibuea, S.H., M.H. Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan, dan Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik. Jakarta: Erlangga. 2010.
- Koran TEMPO, 28/12/2013.
- Koran INDOPOS, 30/12/2013.