Munas tandingan, yang secara harfiah berarti kader Golkar kembali pecah, mestinya adalah sesuatu yang menjadi momok dan harus dihindari oleh kader-kader terbaik Golkar, terutama para pendiri dan sesepuh partai. Namun, ancaman munas tandingan seolah-olah menjadi senjata pamungkas, entah untuk sekadar menghalalkan cara atau bahkan mencapai tujuan.
Ancaman munas tandingan awalnya dilontarkan pendukung kubu Bambang Soesatyo, Ketua MPR yang menjadi salah satu kandidat ketua umum. Kita ketahui bahwa Bamsoet belakangan demikian seriusnya mempersiapkan diri, dari semula terkesan adem-ayem.
Jabatan sebagai Ketua MPR yang diperolehnya dengan bantuan all-out Airlangga Hartarto--inkumben Ketua Umum Golkar, sejak akhir 2017-- membuat Bamsoet yang awalnya sudah puas dengan posisi barunya -setelah melepas jabatan Ketua DPR-- menjadi serius. Bamsoet dikesankan sebagai 'lupa kacang pada kulitnya'. Pasalnya, sebelumnya ia berkomitmen untuk mendukung Airlangga Hartarto sebagai Ketum Golkar 2019-2024. Artinya, di munas, ia tidak akan bertarung dengan Airlangga Hartarto.
Ancaman munas tandingan tidak dilontarkan oleh empat calon atau kandidat ketum lainnya, yakni Ridwan Hisjam, Indra Bambang Oetoyo, Agun Gunandjar Sudarsa, dan Airlangga Hartarto. Kubu Airlangga Hartarto bahkan terkesan cool menghadapi berbagai friksi yang terjadi menjelang munas. Serangan yang datang bertubi-tubi dari pihak lawan, terutama kubu Bamsoet, direspon secara bijak. Kendati demikian, potensi perpecahan dan ancaman munas tandingan, jangan dipandang sebelah mata. Â
Sejarah mencatat bahwa Partai Partai Golkar tak asing dengan perpecahan. Ironisnya, bakhkan, perpecahan sudah terjadi di era reformasi. Era reformasi 1998 membawa demokratisasi ke tubuh Golkar sekaligus benih-benih keretakan. Tiap Golkar menggelar musyawarah nasional, ada saja kader yang hengkang. Maka selain menjadi ajang pertarungan memperebutkan kursi ketua umum, munas menjadi semacam "prahara" bagi Golkar.
Munas 1998, misalnya, berujung dengan pengunduran diri bekas Panglima ABRI Jenderal Purnawirawan Edi Sudradjat dari partai beringin. Saat itu, Edi yang kalah dari pertarungan memperebutkan posisi ketum dengan Akbar Tandjung, memutuskan keluar dari partai dan mendirikan Partai Keadilan dan Pesatuan (PKP) yang di kemudian hari berubah menjadi Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia.
Selain Edi, Mien Sugandhi juga mundur di masa kepemimpinan Akbar. Mantan Menteri Negara Urusan Peranan Wanita itu lantas mendirikan Partai Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR). Kita tahu MKGR tak lolos ambang parlemen.
Sejarah berulang pada 2004. Pada Munas 2004 itu, terdapat pula beberapa nama calon ketua umum. Namun kandidat kuatnya hanya dua, Jusuf Kalla dan Akbar Tandjung. Posisi JK lebih kuat karena saat itu menjabat wakil presiden di pemerintahan periode pertama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sejak berdiri, Golkar cenderung nyaman berada di lingkaran kekuasaan.
Di masa JK ini, Wiranto mundur dari Golkar dan mendirikan Partai Hanura. Selanjutnya Prabowo Subianto juga mundur dan mendirikan Partai Gerindra.
Pada Munas berikutnya, 2009, Aburizal Bakrie tampil sebagai ketua umum. Ia mengantongi 296 suara, berselisih tipis dengan Surya Paloh yang memperoleh 240 suara. Paloh tak puas. Menurutnya ada yang tak beres dengan munas kedelapan Golkar itu. Surya Paloh kemudian mundur dari Golkar dan mendirikan ormas Nasdem yang kemudian berubah menjadi partai.
Tahun 2014, perpecahan kembali mendera Golkar. Ical, sapaan Aburizal Bakrie, memecat sejumlah kader muda potensial Golkar yang berseberangan sikap politik dalam pemilu presiden. Langkah ini membuat Ical menjadi "musuh bersama" sebagian kader partai beringin.
Ical menjadi target untuk digulingkan. Itu pula sejumlah kader Golkar menghendaki munas digelar tahun 2014, tak perlu menunggu tahun 2015. JK yang terpilih sebagai wakil presiden untuk kedua kalinya membayang-bayangi upaya Ical mempertahankan sisa kepemimpinannya di Golkar.
Sejarah kemudian mencatat adanya dua munas yang diselenggarakan dalam waktu hampir bersamaan, yakni di Bali dan Ancol, Jakarta. Sama-sama berbalut Munas IX Partai Golkar, Munas di Bali menyepakati berlanjutnya kepemimpinan Ical untuk memimpin Partai Golkar pada periode 2014-2019. Hanya terpaut hitungan hari, Munas IX Partai Golkar yang digelar oleh Presidium Penyelamat Golkar memutuskan H.R. Agung Laksono sebagai ketua umum.
Sebagian besar dari para pemangku kepentingan Partai Golkar yang berada dalam pusaran sejarah konflik pasca reformasi, seperti Jusuf Kalla, Akbar Tanjung, Agung Laksono, dan Aburizal Bakrie, masih terkesan aktif. Namun, mereka berada di posisi yang sama, yakni mendukung Airlangga Hartarto.
Para senior Golkar ini tentunya sangat memahami bahwa friksi, konflik, yang berujung pada perpecahan dan munas tandingan hanya menimbulkan kerugian besar bagi partai. Baik di pusat dan daerah. Itu juga yang dikemukakan oleh para pimpinan DPD Tingkat I Golkar se Indonesia, baik yang disampaikan secara terbuka dalam forum Rapimnas yang digelar 14-15 November lalu di Jakarta, atau dalam kesempatan di wawancarai oleh media.
Menurut mereka, perpecahan hanya menimbulkan 'euforia kemenangan' sesaat. Setelah itu penyesalan. Oleh karena itu perpecahan mesti dihindari, apalagi sampai terulangnya munas tandingan, yang hanya akan membuat partai kembali terpuruk.