Mohon tunggu...
KOMENTAR
Money

Perbankan Syariah di Tengah Bangsa Multikultur

11 April 2010   16:19 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:51 222 0
“Disahkannya UU No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah memberi legitimasi bagi pelaku perbankan Syariah untuk mengembangkan produk keuangan Syariah dan mendorong bank Syariah untuk memiliki daya tahan lebih baik. Melihat pada ketiadaan suara-suara kontra dalam pelaksanaan UU ini, bisa jadi ini adalah salah satu keberhasilan kebijakan multikultur di Indonesia”.

Demikian salah satu kutipan dari “Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2009” yang diterbitkan oleh Center for Religious and Cross-cultural Studies di Universitas Gajah Mada Yogyakarta. Indonesia sebagai bangsa yang multikultur tentu memberikan peluang dan tantangan tersendiri bagi para pelaku bisnis di dunia perbankan Syariah. Salah satu upaya untuk bisa mencapai gain yang terus meningkat tentunya perlu pemikiran, strategi dan usaha-usaha real yang cerdas. Bagian dari upaya cerdas dalam memahami pasar Indonesia yang multikutur ialah dengan adanya kegiatan sharing dengan publik melalui tulisan atau diskusi-diskusi di berbagai tempat. Hasilnya kemudian dijadikan referensi dalam membuat berbagai kebijakan tentang perbankan syariah pada tataran legislasi maupun teknis operasional.

Mendapatkan pelanggan sejati secara kualitas dan kuantitas dalam bisnis perbankan Syariah tentu saja berbeda caranya dengan perbankan konvensional. Hal ini terlebih dengan konsep yang ditawarkan melalui produk-produk berlabelkan “Syariah”. Lalu bagaimana langkah yang harus ditempuh pihak managemen dalam mensosialisasikan produk-produknya di tengah bangsa yang multikultur ini?. Langkah pertama yang harus dilakukan adalah memahami kebudayaan konsumen secara komprehensip agar usaha yang dilakukan untuk mendapatkan konsumen baru atau konsumen sejati tidak sia-sia.

Kebudayaan yang ditekankan disini adalah “kebudayaan kemasyarakatan” yang didalamnya mencakup berbagai aspek kehidupan manusia termasuk bahasa. Will Kymlicka (1995: 114) memberikan pengertian tentang kebudayaan kemasyarakatan sebagai berikut:

“kebudayaan yang memberikan kepada anggotanya berbagai cara hidup yang penuh arti dalam segala kegiatan manusia, termasuk kehidupan sosial, pendidikan, agama, hiburan, ekonomi yang mencakup wilayah publik maupun pribadi. Kebudayaan-kebudayaan itu cenderung terkonsentrasi secara teritorial, berdasarkan bahasa yang sama”


Melihat definisi yang diberikan oleh Will Kymlicka tersebut, maka langkah kedua yang harus dilakukan oleh para pelaku bisnis di dunia perbankan Syariah adalah mengadaptasikan konsep perbankan Syariah secara kontekstual ditengah bangsa yang multikultur. Secara tidak langsung, posisi bisnis perbankan Syariah diuntungkan dengan kuantitas masyarakat Indonesia yang mayoritas Islam. Namun, apakah kondisi ini kemudian memberikan jaminan bahwa produk perbankan Syariah diterima secara cepat di tengah masyarakat Muslim. Kualitas dan kuantitas dari proses adaptasi konsep perbankan Syariah inilah yang kemudian akan mampu menjawabnya. Langkah ini perlu dilakukan untuk memberikan pencerahkan kepada masyarakat tentang terminologi “Syariah” yang menjadi label produk perbankan ini. Perlu diingat bahwa masyarakat kita masih sangat asing dengan produk yang berlabelkan “Syariah” terlebih lagi di tengah masyarakat multikultur yang memiliki multitafsir dan multiinterpretasi terhadap terminologi “Syariah” dalam produk perbankan ini.

Kehidupan masyarakat yang dinamis dan komunikatif di era teknologi informasi yang menimbulkan “tsunami budaya” membuat masyarakat harus berusaha keras dan cerdas dalam mereproduksi kebudayaannya. Proses reproduksi kebudayaan merupakan proses aktif yang menegaskan kebaradaannya dalam kehidupan sosial sehingga mengharuskan adanya adaptasi bagi kelompok yang memiliki latar belakang kebudayaan yang berbeda. (Prof. Dr. Irwan Abdullah. 2009. Hal. 41). Proses reproduksi kebudayaan ini sangat berpengaruh juga dalam prilaku konsumi masyarakat di Indonesia. Jenis produk atau barang yang dikonsumsi menjadi mengindentifikasikan kelas sosial tertentu. Prof. Irwan (2009: Hal. 48) menambahkan bahwa “berdasarkan proses konsumsi dapat dilihat bahwa konsumsi citra (image) disatu pihat telah menjadi proses konsumsi penting dimana citra yang dipancarkan oleh suatu produk merupakan alat ekspresi diri bagi kelompok”.

Memperhatikan relasi antara teori reproduksi kebudayaan, konteks masyarakat yang multikultur dan jenis-jenis produk perbankan Syariah, maka proses adaptasi konsep Syariah dalam produk perbankan harus terus dioptimalkan melalui berbagai media, kegiatan serta memakai pendekatan yang sesuai dengan calon konsumen. Pemilihan pendekatan yang dipakai menjadi prioritas utama agar nilai-nilai produk yang ditawarkan tidak kontraproduktif dengan calon konsumen. Bahkan harus diupayakan bagaimana perbedaan yang ada dalam penggunaan bahasa “Syariah” bisa dieliminir melalui dialog budaya dengan calon konsumen. Sehingga mereka bisa beradaptasi dengan produk tersebut yang nota bene baru bagi lingkungan dan dirinya. Bila masyarakat multikultur bisa terus beradaptasi dengan segala jenis produk perbankan Syariah, tentu mereka akan mudah menerima produk-produk perbankan Syariah.

Perbankan Syariah “milik semua bangsa dan agama” harus menjadi slogan yang ada dalam setiap promosi di semua media. Hal ini untuk memberikan sebuah legitimasi simbolik tentang upaya pengakuan secara tidak langsung di dalam pikiran masyarakat multikultur tentang eksistensi perbankan Syariah sehingga mereka tertarik untuk menggunakan produk perbankan Syariah. Pengakuan sebuah produk untuk menjadi bagian representasi citra pengguna membutuhkan sebuah sosialisasi yang matang dari berbagai sisi termasuk budaya ini. Maka dengan segala usaha cerdas dan kerja keras semua pihak, perbankan Syariah menjadi produk yang mempunyai nilai cita rasa tinggi di tengah bangsa multikultur yang tidak terhalang oleh sekat-sekat agama dan budaya serta identitas apapun.

REFERENSI

Prof. Dr. Irwan Abdullah. 2009. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogayakarta: Pustaka Pelajar. Cet. III. Hal. 41-48.

Suhadi Cholil, Zainal Abidin Bagir, Mustagfiroh Rahayu, Budi Asyhari. 2010. Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2009. Yogyakarta: CRCS-Universitas Gajah Mada Yogyakarta. Hal. 25

Will Kymlicka. 1995. Penerjemah Edlina Hafmini Eddin. 2002. Kewargaan Multikultural. Jakarta ; Pustaka LP3ES. Hal. 114

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun