Saban malam senantiasa sunyi
saat larut tiba bersama senyap
udara dingin berteman sepi
tanpa ada ramai hiruk pikuk
tak ada gaduh ingar sedikitpun
hanya ada angin semilir
Menelan hangat di dalam mimpi
mengikuti jejak alunan malam
padahal biasanya kerap terdengar
suara indah pengantar tidur
nyanyian jangkrik temaram
melantunkan tembang kekosongan
Kau sangat lebat dan perkasa
dalam pertama kali melihatnya dulu
ketika kini aku mengingatnya kembali
sangat indah mempesona dan mengagumkan
kau dulu laksana paru-paru nusantara
banyak rasa nan telah kau berikan
Namun banyak orang tak pernah puas
dengan apa nan telah kau beri
berusaha selalu meminta lebih
mereka hanya mementingkan diri dan hasrat
kegaduhannya letusan gunung keserakahan
panasnya lahar meleleh menjadi ambisi dunia
Sumpah sampah terucap demi kenikmatan
ciptakan mantra-mantra syirik
tenggelamkan rakyat dalam lumpur sesat
melupakan sang pencipta alam semesta
terlalu cinta dengan pesona kefanaan
Semesta jalan masih dalam remang
semua keadaan ditutupi mega hitam
ulah kemunafikan para pembesar
bukit merdeka telah kita naiki
rintangan perjalanan menuju cahaya asa
masa depan kita semua puncak kesenangan
(Pondok Petir, 05 April 2015)