Itulah judul berita di detik.com yang saya baca sore tadi. Isinya adalah pernyataan Dubes AS untuk Indonesia Scot Marciel, bahwa Twitter dan Facebook dinilai berperan penting dalam revolusi di Mesir, oleh karena itu, pemerintah AS melalui berbagai kedutaan besarnya, akan rajin pasang mata terhadap social media untuk menangkap opini publik di berbagai negara.
Pernyataan AS yang akan memantau perkembangan sebuah isu di suatu negara lewat Facebook, Twitter dan juga blog itu tentu bukan tanpa alasan. Di Indonesia saja saat ini terdapat 30 juta penguna Facebook, 15 juta penguna Twitter, dan jutaan blog. Jumlah ini tentu tidak main-main bila mereka mampu membentuk suatu opini bersama apalagi berhasil membangun rangkaian pesan bergulir antar mereka terhadap suatu isu.
Kita tentu masih ingat bagaimana opini yang digerakan para Facebooker terhadap kasus Bibit Chandra. Dalam tempo yang relatif singkat para Facebooker bisa menghimpun jutaan dukungan terhadap Bibit Chandra yang akhirnya opini itu meluas dan sangat berpengaruh. Juga dalam kasus Prita yang bahkan hebatnya ini diikuti dengan gerakan off line (aksi) berupa pengumpulan koin solidaritas untuk Prita.
Indonesia telah mempunyai contoh bagaimana media sosial telah mampu membangun opini publik bahkan media sosial di Indonesia telah mampu mengerakan orang untuk melakukan aksi bersama. Justru, menurut saya, terlambat kalau baru sekarang pemerintah AS akan lebih menyimak media sosial untuk mengetahui perkembangan isu di Indonesia.
Tetapi memang apa yang terjadi di Mesir telah memberikan kesadaran yang masif di setiap negara bahwa media sosial telah berkembang tidak semata sebagai media jalinan perkawanan apalagi sekedar hobby mengisi waktu luang, tetapi telah berkembang menjadi teknologi politik dimana siapapun dapat memanfaatkannya untuk membangun pesan dan aksi politik.
Memantau (dan Mengerti) Media Sosial
Lalu, bagaimana caranya memantau jutaan percakapan baik di Facebook, Twitter, maupun media sosial lain? Setiap hari terdapat ratusan juta bahkan mungkin milyaran posting baik berupa tulisan status di Facebook, kicauan di Twitter, belum lagi puluhan media sosial populer lain yang anggotanya jutaan itu. Bagaimana juga mengkategorikan aneka percakapan itu dan melakukan analisanya?
Di awal tahun 2010, saya dengan dibantu beberapa teman programmer telah mengembangkan suatu software yang berfungsi untuk memonitoring dan menganalisa semua konten atau isi percakapan semua orang di Facebook dan media sosial lain. Secara teknis proyek ini cukup berhasil, karena software itu dapat memantau, mengkategorikan, dan memberikan data statistik seperti frekuensi, volume, dan lain sebagainya, bahkan dapat melakukan pemetaan orang-orang yang membicarakan suatu topik dari demografi sampai hubungan perkawanan dalam jejaring sosial itu hingga bisa diukur dampak dari suatu opini yang berkembang.
Seorang teman ahli IT saat itu menjuluki software kami ini, radarnya media sosial. Namun sayang, seperti cerita lain di Indonesia, secara ide dan teknologi bagus namun gagal karena aspek modal, ya karena membuat software inilah saya akhirnya bangkrut dan sekarang tertatih mencoba memulai usaha kembali.
Diluar software yang telah kami buat itu, terdapat juga beberapa layanan yang hampir sama fungsinya, memantau media sosial, seperti radian6 dan lainnya. Software atau layanan itu pada intinya membantu kita untuk memantau media sosial dan memberikan alat ukur dalam pemantauan tersebut.
Secara teknologi bukan tidak mungkin mematau media sosial dan tentu bukan sesuatu yang sulit bagi pemerintah AS untuk memonitoring milyaran percakapan online tersebut. Namun ada aspek yang tak kalah penting dari pekerjaan memantau itu, yakni melihat hubungan antara kondisi offline (baca=perkembangan sosial politik masyarakat) dengan materi pesan yang ada di media sosial.
Saat ini hampir setiap aktivis sosial dan intelektual sebagai agen sosial mempunyai akun di Twitter maupun Facebook, juga beberapa politikus baik pendukung maupun oposisi juga meramaikan media sosial dengan postingannya. Amati juga, setiap isu yang berkembang di ranah politik selalu memuncukan aneka group atau fan page baik bernada mendukung maupun anti. Namun dari sekian posting itu, seberapakah mempengaruhi para penguna media sosial dan dapat mengerakan mereka untuk menyepakatinya sebagai opini bersama hingga aksi bersama.
Disini memang yang dibutuhkan tidak semata memantau, juga mengerti kenapa Si ABG yang suka nongkrong di Mall itu mau membaca dan membicarakan posting tentang isu mafia pajak, kapan Si PNS yang rajin masuk tiap jam delapan pagi itu tiba-tiba mengeluhkan tentang ramainya pencapresan padahal pemilu baru akan diadakan tahun 2014, intinya mengerti antara realitas sosial politik yang ada di masyarakat dengan perbicangan mereka di media sosial.
Keberhasilan Mesir memanfaatkan media sosial karena memang perbincangan demokratisasi di media sosial itu nyambung dengan Mubarok yang terlalu lama berkuasa, juga keberhasilan dukungan Facebooker terhadap Bibit Chandra itu pas dengan keinginan masyarakat yang ingin melihat Indonesia bersih dari korupsi. Nah, memantau media sosial untuk mengetahui perkembangan sosial politik mau tidak mau juga harus mengerti tentang kondisi offline-nya, membaca pesan tentu harus mengetahui asal muasal dan kemana arahnya pesan itu bukan?
Berbicaralah di Media Sosial
Lepas dari urusan teknis maupun strategi pantau memantau, kebijakan AS maupun pemerintah negara lainnya untuk memperhatikan media sosial sebagai salah satu sumber informasi juga memberikan dampak yang strategis bagi para pengiat media sosial. Masyarakat hari ini mempunyai alternatif saluran pendapatnya.
Saluran pendapat atau aspirasi yang diformalkan dengan instrumen perwakilan di parlemen tidak lagi menjadi satu-satunya instrumen, yang belum tentu juga mereka mau menyampaikan realitas masyarakat apa adanya. Media sosial telah terbukti mampu menyalurkan pendapat umun menjadi sebuah sikap politik bersama.
Mau tidak mau, suka tidak suka, hari ini pemerintah manapun harus mau secara langsung membaca dan berbicara langsung dengan masyarakat melalu media sosial. Aneh bila ada pejabat yang mengkwatirkan dengan kehadiran media sosial. Karena justru yang harus dilakukannya adalah melibatkan diri di dalamnya, itu kalau mau mengetahui dan mengerti suara masyarakat atau dalam "bahasa aktivis" berada di tengah-tengah massa. Sama halnya dengan pemerintah AS, jangan hanya memantau tetapi juga berada dan berbicaralah di media sosial dengan masyarakat Indonesia.
(Untuk membaca tulisan lain dari penulis, silahkan kunjungi blog penulis di eprastowo.com )