Mohon tunggu...
KOMENTAR
Kebijakan Pilihan

Jakarta juga Daerah

16 Agustus 2014   20:27 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:23 36 2
Quo Vadis JAKARTAISME

Tak ada yang diinginkan rakyat, terkecuali hidup nyaman dan sejahtera. tak ingin terlampau jauh, ikut model hidup kayak "jakarte" apa "wong cilik" di pedesaan. sebuah lagu, saya pernah dengar satu bait liriknya, "Siapa suruh datang Jakarta". seolah menyindir bagi siapapun yang datang ke jakarta dengan segudang angan kesuksesan, tapi akhirnya terlunta-lunta di kolong jembatan patung dirgantara.

lalu, pertanyaannya, siapa yang sesuka hati menyanyikan apalagi berpaduansuara bersama menyanyikan lagu diatas?. orang jakarta yang "katanya sukses"?? apa "wong cilik" di terasering persawahan miliknya di desa??. kayaknya lagu ini harus sudah ditarik dipasaran jika ada kaset atau CD nya, kalau sekedar membuka luka hati orang yang sudah jatuh datang ke jakarta, tertimpa tangga pula jadi bahan olok-olok mereka yang bernyanyi.

Tak dapat dipersalahkan, magnet jakarta yang menjanjikan orang untuk ikut arus balik ke jakarta beberapa waktu lalu (walau dia sebenarnya tidak mudik sebelumnya), hanya sekedar memperbaiki nasib, ya kalimat awal diatas tadi, ingin hidup nyaman dan sejahtera. namun ternyata usahanya tak seindah yang dimimpikan hidup di jakarta itu. secara sosiologi, ini adalah muara dari kesalahan orang-orang merepresentasikan jakarta sebagai tempat segalanya.

jakarta ditafsirkan tempat meraup uang, sementara desa dan daerah hanya sebagai tempat pulang mudik saja setahun sekali. jakarta tempatnya hidup glamor, mewah, metropolitan. sementara desa dan daerah hanya tempat sepi, tempatnya orang-orang mengayunkan cangkul, menggiringkan domba domba dan sapi. jakarta tempat segala sesuatunya mudah didapat, sementara desa dan daerah tempat sulit mendapat apapun.

Parahnya, Pemerintah ikut-ikutan salah

kesalahan memahami jakarta, diperparah oleh orientasi pembangunan pemerintah yang salah kaprah pula. bukti kongkritnya, saya melihat kacamata sosial secara kasat, gedung-gedung perusahaan swasta pusatnya di jakarta, tapi pabrik2nya di daerah. karena selama ini peraturannya masih seperti itu, pajak perusahaan semuanya ditarik ke jakarta, daerah hanya mendapatkan polusi dari pabrik tersebut. CSR pun kadang tak nyampe kalau pemerintah daerah sewenang-wenang penggunaannya. ini baru satu kasus.

yang lain, bukan kah kita dipertontonkan dengan ketimpangan ini dari awal, ekonomi, kehidupan sosial, peluang kerja. jelas ini ada yang salah, dan kesalahan ini menurut saya bermuara pada regulasi pemerintahannya. orientasi pembangunan yang salah. peran media, pun seharusnya tak melulu memfokuskan informasi di jakarta. tiap hari kita disuguhkan tontonan televisi kemacetan di jakarta, hingga pak Ahok (wagub DKI) beberapa waktu lalu melaunching sekolah 5 hari dianggap yang luar biasa.

Media Membentuk Opini yang Salah

inilah kesalahan media saya kira. dan kesalahan ini tidak disadari yang akan membentuk opini masyarakat di daerah-daerah. harusnya, informasi disuguhkan berimbang antara jakarta dan daerah. kalau sekarang, jika kita persentasekan penuangan informasi antara jakarta dan daerah, tentu lebih banyak di jakarta. parahnya, pembentukan opini oleh media juga dirasakan merasuki pemerintah. lagi-lagi misalkan pernyataan pak Ahok yang menganggap kepala daerah lain harus mengikuti jejaknya membangun daerah seperti di jakarta, memberlakukan sekolah 5 hari salahsatunya. padahal, kan sudah ada beberapa daerah, kalau tidak salah di kabupaten purwakarta sudah hampir 5 tahun terakhir ini memberlakukannya, belum lagi di daerah lainnya. saya kira, pak Ahok terjebak opini media ini yang menganggap daerah tidak ada kerjaannya.

Meluruskan Opini

kita tinggalkan pak Ahok dan peran media. yang kita fokuskan hari ini, opini yang sudah dibangun selama ini oleh media, patut mendapatkan perhatian dan pelurusan. opini bahwa jakarta tempat meraup uang, kita luruskan di jakarta pula kemiskinan meradang. opini bahwa jakarta jalannya bagus-bagus dan lebar, bukankah di jakarta kemacetan dimana-mana (jalan bagus dan lebar hanya sunatullah dari kepadatan penduduk). bukankah banjir menjadi penyakit akut jakarta? bukankah jakarta tempat tinggalnya pengamat-pengamat itu, orang orang cerdas, tapi pertanyaannya, kenapa tidak bisa menyelesaikan problemnya sendiri???.

sejenak kita tengok, si kabayan di saung pematang sawah yang luas itu?. ia asyik meniupkan sulingnya dikesunyian suasana desa. kehidupan daerah yang nyaman dan sejuk. tanpa kemacetan, tanpa banjir. tanpa harus dikejar-kejar petugas Tibum dan sejenisnya karena melanggar Perda.

sejenak kita menyelami hakikat hidup. sudah saya jelasnya di awal kalimat tulisan ini, bukan kah hidup yang kita inginkan adalah nyaman dan sejahtera. tanpa kepura-puraan. tanpa rasa takut. tak penting IPM ataupun istilah ilmiah hidup sejahtera itu, tapi yang jelas bagi kita, termasuk saya orang sunda, ukuran hidup itu cuma dua, "Ngeunah Dahar, Tibra Hees". ukuran IPM hanya angka saja, yang penting Nilainya. hidup itu mencari Nilai bukan mengejar angka.

SATU KESIMPULANNYA, jika kita manusia, maka pak Ahok juga manusia. jika kita menganggap kabupaten yang kita tinggali adalah daerah, maka Jakarta yang pak Ahok tinggali juga Daerah. Jakarta juga Daerah, jangan mengkiblatkan hidup pada jakarta. kiblatkanlah hidup pada Nilainya.

Walllahualam bissawaab.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun