Pada suatu ketika saya berdiskusi dengan seorang dosen dari University of Augsburg (UA) bernama Dr. Hans Albrecht Von Nidda, kebetulan beliau adalah dosen pembimbing Practical Training saya di UA, selain Prof. K.Lidde dan Prof. Snick. Pada saat itu kami sedang makan siang di Mensha (semacam kantin) di kampus UA. Dia bertanya" gelar apa yang kamu peroleh di Indonesia?", saya jawab Sarjana Sains, lalu kembali dia tanyakan "berapa lama kamu memperoleh gelar itu?", saya jawab 4-5 tahun, dia tanggapi, ooh, cukup lama ya? bukankah itu sama dengan gelar Master di Inggris atau Diplome di Jerman?, pastinya kamu sudah akrab dengan dunia penelitian ya? sering baca Jurnal Ilmiah?, dengan lugu saya jawab, mungkin kalau baca jurnal ilmiah saya pernah beberapa kali, kalau ditanyakan akrab dengan penelitian? saya pernah melakukan penelitian tetapi sampai hari ini saya belum pernah publikasi internasional, dia kemudian menjawab "saya salut dengan kamu dan orang-orang dari negara berkembang seperti Mesir, Sudan, Negara-negara Arab, Bangladesh dan Indonesia, karena saya pernah melihat transkrip nilai kalian, kalian punya judul matakuliah yang banyak sekali, apakah kalian bisa menguasai seluruh matakuliah itu secara maksimal?" dia menyampaikan itu dengan datar dan tanpa ada unsur perasaan mencemooh, namun, cukup berbekas dalam ingatan saya. Kemudian saya lihat transkrip saya dan saya bandingkan dengan teman saya tamatan Fisika UA, memang matakuliah saya sangat banyak sekali namun, pengetahuan saya tentang materi pokok perkuliahan itu sangat lemah sekali.
Beberapa hari setelah itu saya bertemu dengan teman dari India, dan dia ingin melihat transkrip saya. Ketika dia melihat, dia agak tersenyum ketika melihat mata kuliah yang menurutnya sangat tidak penting tetapi bagi kita di Indonesia menjadi sangat penting sekali, sehingga membutuhkan satu tahun untuk matakuiah yang sangat-sangat tidak penting untuk seorang lulusan IPA seperti saya. Dengan sedikit menyindir dia berkata,"apakah pelajaran agama dan pendidikan moral pancasila ini tidak cukup bagi kalian diajarkan di Mesjid atau Gereja sehingga harus dimasukkan dalam kredit calon seorang ilmuwan IPA?", ketika melihat matakuliah Ilmu Sosial Dasar dan Ilmu Budaya Dasar dia juga menyindir "saya peroleh pelajaran ini di SMA". Mula-mula memang saya agak tersinggung dengan ucapan teman itu tetapi setelah saya pikir-pikir dan saya pertimbangkan matang-matang maka saya lihat kembali transkrip sarjana saya, dan mulai berpikir bahwa memang hampir 18 kredit matakuliah saya tidak lebih dari matakuliah sampah untuk seorang saintis. Bayangkan 18 kredit? itu sama artinya dengan menghabiskan umur di bangku Universitas selama satu semester untuk mempelajari hal-hal yang tidak berguna dan terpakai dalam kehidupan seorang sarjana IPA. Bayangkan jika 18 kredit itu dipakai maksimal untuk membimbing mahasiswa mempelajari IPA dan bimbingan penelitian... Ketika saya sarjana saya tidak memperoleh pelajaran tentang mekanika statistik dan teori kuantum, padahal bagaimana seorang sarjana sains mengenal materi jika dia tidak mengetahui perilaku partikel elementer secara maksimal? ditambah lagi dengan pemberian materi sebahagian diberikan secara deskriptif dan tanpa turunan matematis yang layak, sehingga yang dibangun hanya logika sekunder dan skimming dengan kedalaman tinjauan sangat-sangat lemah sekali.
Rupanya pengalaman itu belum cukup memberikan tekanan kepada saya, karena seorang teman dari India yang lain berkata, "Kamu pernah ikut tes TOEFL ga?" katanya, saya jawab, pernah...kok bahasa inggrismu masih berantakan? memangnya kamu belajar bahasa Inggris berapa lama? saya jawab 6 tahun (maksudnya 3 tahun SMP + 3 tahun SMA), dia nyela lagi " wah lama ya? seharusnya nilai Toefl kamu diatas 650" katanya. Muka saya merah padam tapi saya tidak salahkan dia, meskipun malu tapi kawan itu bicara jujur, karena memang bahasa Inggris saya belepotan pada dua bulan pertama di Jerman. Begitulah potret pendidikan kita, belajar bahasa inggris selama 6 tahun, mungkin tidak ada 10 persen teman saya yang bisa berbahasa inggris dengan baik meskipun memiliki nilai bahasa inggris 8 atau 9. Nilai itu hanya angka-angka yang tidak menggambarkan isi sama sekali.
Seorang teman pernah bercerita kepada saya tentang pengalamannya di Singapura, dia bertemu dengan seorang peneliti asing yang mengerjakan proyek penelitian di National University of Singapore (NUS). Peneliti asing itu menyindir orang itu dengan kata-kata yang sangat pedih sekali, untung dia tidak berkelahi dengan orang itu, karena dia masih sadar dan memiliki akal sehat. Kata-kata orang itu begini "Kalian di Indonesia untuk menamatkan S1 diharuskan membuat karya tulis (Skripsi), S2 menulis master tesis, dan ketika S3 membuat karya tulis disertasi, tetapi kenapa saya tidak melihat publikasi internasional dari Indonesia di Jurnal Internasional? Apa yang kalian teliti dan apa yang kalian tulis? harusnya kalian bisa melahirkan publikasi 3 x lebih banyak dari Amerika", sungguh benar kata-kata orang asing tersebut meskipun disampaikan dengan nada yang sangat tidak enak di telinga.
Begitu banyak permasalahan pendidikan di Indonesia, namun, hal yang paling mendasar adalah bahwa kita tidak sungguh-sungguh melakukan pendidikan di Indonesia ini. Ketika saya berargumen untuk membuang matakuliah agama dan pancasila dari matakuliah anak IPA, celakanya saya dituduh kafir padahal  apakah dengan 2 sks mata kuliah itu sudah terjamin sarjana IPA itu religius atau bermoral? pendapat saya matakuliah itu plus matakuliah kewiraan, PSPB, ISBD,  Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris itu tidak perlu dimasukkan ke dalam kredit mahasiswa yang nota bene cari malu saja karena kompetensi mahasiswa terhadap matakuliah itu nol besar. Lebih baik matakuliah S1 itu di Intensifkan ke bidang, cukuplah matakuliah itu menjadi topik matakuliah di fakultas agama, fisip, fisipol, sejarah, filsafat dan lain-lain. sementara untuk IPA ya bobotnya ditambah. Sehingga mahasiswa S1 Sains benar-benar menjadi saintis, mahasiswa teknik benar-benar menjadi teknokrat bukan jago demo, mahasiswa ekonomi benar-benar menjadi ekonom dan bukan pakar gado-gado. Sehingga benar-benar bisa sama standar kompetensinya dengan mahasiswa asing di luar Indonesia.
Kita menyadari sepenuhnya banyak kekurangan dalam dunia pendidikan kita khususnya sarana dan prasarana pendidikan. Yang saya ketahui tentu saja dalam matakuliah IPA, IPA itu tidak bisa diajarkan hanya dengan kapur dan papan tulis atau spidol dan whiteboard, namun, suatu persyaratan mutlak sebuah universitas yang membuka program IPA memiliki laboratorium standar sebagai tempat untuk melakukan riset dan pilot projek. Diperlukan anggaran berlebih dari negara untuk pembelian instrumen baru, dan langganan jurnal jika ingin melihat pendidikan ini berlangsung wajar dan tidak terus tertinggal. Namun, penyakit lama yang terdapat di Universitas adalah begitu fakultas IPA dan teknik mendapat anggaran berlebih karena memang mereka memang membutuhkan selalu dihalang-halangi oleh jurusan ilmu lain karena mereka menilai pemborosan anggaran. Karena dalam pengajaran mereka hanya diperlukan kapur dan papan tulis, paling yang perlu ditambah hanya komputer, infokus, dan AC.
Memang berat pekerjaan rumah bagi seorang ilmuwan dan dosen IPA, namun, kadangkala hal tersebut kurang dimengerti oleh pembuat kebijakan. Meskipun banyak dosen atau pelajar Indonesia yang bersekolah di Luar Negeri akan tetapi sebahagian besar prestasi mereka hanya rata-rata air, dan tidak menonjol. Karena memang ketika di Indonesia mereka tidak dididik secara maksimal, bahkan sebahagian juga tidak dididik dengan benar. Jadi sudah waktunya sekarang pemerintah dan masyarakat mengerti bagaimana realita pendidikan itu sebenarnya. Mungkin sebagai dosen IPA kami belum memberikan banyak kepada Indonesia ini tetapi kami telah berusaha maksimal dengan demikian banyak keterbatasan yang ada. Jika pemerintah tidak membenahi laboratorium IPA se Indonesia ini saya 100% yakin, publikasi mahasiswa S1, S2 dan S3 hanyalah publikasi sampah yang tidak memiliki impact factor sama sekali.
Dari Pertapaan Sunyi
Jalan Pelesiran Bandung
25 Februari 2012, 00:30 WIB