Sikap jujur, kini seolah menjadi barang langka. Kejujuran sebagai kekuatan jiwa pemimpin, tampak lebih mengedepan sebagai slogan ketimbang diwujudkan dalam kiprah hidup sehari-hari. Fakta menunjukkan, karena ada nya beragam kepentingan yang harus dipilih nya, seringkali para pemimpin menggadaikan kejujuran hanya untuk menggapai kepuasan yang sesaat sifat nya. Ini sebetul nya yang sangat kita sesalkan.
Kejujuran seorang pemimpin, sebetul nya dapat menjadi dasar untuk menciptakan suasana hidup jujur dalam sebuah komunitas. Dalam komunitas Pemerintahan Kabupaten/Kota misal nya. Kalau Bupati atau Walikota nya mampu mempertontonkan perilaku jujur dalam mengelola Pemerintahan nya, maka dapat dipastikan jajaran birokrasi Pemerintahan nya pun InsyaAllah bakal menerapkan prinsip jujur dalam kegiatan keseharian nya.
Namun sebalik nya, jika Bupati atau Walikota tersebut memperlihatkan sikap yang tidak jujur, besar peluang nya kalangan birokrasi Pemerintahan nya pun bakal dipenuhi oleh orang-orang yang tidak jujur. Dalam suasana hidup yang demikian inilah, kita akan temukan banyak kongkalikong. Kita akan tonton pula pat gilipat yang umum nya dilakukan para karyawan rendahan. Semua ini terjadi, karena mereka menyaksikan ada ketidak-jujuran dari pemimpin nya sendiri.
Apa pun alasan nya, pasti kita sepakat kalau seorang pemimpin itu harus memiliki sikap jujur. Bagi pemimpin, kejujuran adalah modal utama yang mesti dimiliki nya. Kejujuran sendiri akan inheren dengan nurani seseorang. Seseorang yang menjaga kejujuran cenderung akan memiliki hati yang bening, sehingga segala macam sikap, tindakan dan wawasan nya, akan dimuarakan bagi terjelma nya keberkahan hidup sesama nya.
Lalu, apakah sosok Joko Widodo yang sejak 22 Juli 2014 lalu telah ditetapkan Komisi Pemilihan Umum sebagai Presiden NKRI 2014 - 2019, tergolong ke dalam jajaran anak bangsa yang jujur ? Inilah persoalan yang sangat penting untuk dicermati lebih lanjut. Masalah nya menjadi semakin mengasyikkan, manakala kita kaitkan dengan Laporan sebuah LSM ke Komisi Pemberantasan Korupsi tentang ada nya "ketidak-jujuran" seorang Joko Wiidodo dalam melaporkan akun-akun pribadi nya di berbagai Bank yang ada di luar negeri.
Keberadaan rekening ini diungkap oleh LSM Progres 98, bekerja sama dengan private wealth investigator. Dan kesengajaan tidak mendeklarasikan aset ke KPU, termasuk saat pemeriksaan LHKPN Mei 2014 lalu di KPK, adalah pelanggaran yang dapat membuat yang bersangkutan didiskualifikasi dari proses pemilihan presiden.
Beberapa hari lalu, temuan puluhan rekening a/n Joko Widodo dan istrinya dengan total nilai USD 8 juta sudah dilaporkan ke KPK. Tinggal sekarang bagaimana KPK menyikapi nya. Sampai sejauh mana pula KPK mampu menyelidiki dan menyidik nya, atau temuan LSM diatas, hanya sebuah rumor politik semata? Yang pasti, harga sebuah kejujuran kini semakin mahal dan tidak setiap orang mampu meembeli nya.