Kekuatan demokrasi, sebetul nya berada di nurani masyarakat. Bukan di hati para penguasa, yang jumlah nya bisa kita sebut dengaan hitungan jari. Demokrasi akan berjalan sebagaimana yang diimpikan, kalau para penentu kebijakan mampu melaksanakan keinginan dan kebutuhan masyarakat nya. Itu yang menjadi dasar pertimbangan, mengapa sejati nya demokrasi, pada akhirnya akan ditentukan oleh sampai sejauh mana para pengambil kebijakan dapat menggumpalkan apa-apa yang menjadi aspirasi warga masyarakat nya.
Sistem demokrasi yang kita anut dan kita jalankan selama ini, diharapkan mampu mempercepat terwujud nya cita-cita bangsa sebagaimana yang tertuang dalam Alenia ke 4 Pembukaan Undang Undang Dasar 1945. Penetapan sistem demokrasi dan tidak memilih Monarki atau Diktator, tentu berbasis pada nilai-nilai luhur budaya dan sejarah perjuangan bangsa yang kita lakoni selama ini.
Para pejuang dan pendiri republik ini, rupa nya telah sepakat, tentang penting nya hidup berdemokrasi. Negara dan bangsa ini harus dikelola dengan mengedepankan kepentingan rakyat ketimbang kepentingan pribadi atau golongan. Demokrasi yang prinsip nya menyebut kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat, dianggap mampu melahirkan kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat yang sesuai dengan filosofi bangsa.
Namun begitu, antara harapan dan kenyataan seringkali susah untuk menyatu, apalagi jika harus diwujudkan dalam kenyataan di lapangan. Panggung demokrasi, yang mesti nya diisi oleh orang-orang yang memiliki kapasitas, kompetensi dan integritas, kerap kali sukar ditemukan. Yang ada adalah mereka yang keseharian nya telah terhipnotis oleh gaya hidup yang karikatif dan terkadang telah terjebak budaya hedonis.
Yang terjadi kemudian, sekali nya mereka diberi kesempatan untuk mengelola negara dan bangsa, maka yang pertama dilakukan adalah bagaimana menjaga dan mempertahankan kekuasaan yang digenggam nya. Setelah itu, mereka mulai berpikir bagaimana dalam tempo yang sesingkat-singkat nya dapat mencukupi kepentingan pribadi, keluarga dan kelompok nya. Mereka lupa prinsip "bersama dalam kemakmuran dan makmur dalam kebersamaan". Yang menempel di benak nya adalah bagaimana memuaskan syahwat kekuasaan nya semata.
Muncul nya hasrat untuk dapat menjalankan prinsip demokrasi dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat, tentu harus kita sambut dengan perasaan yang gembira. Sekali pun dalam panggung demokrasi sering ditemukan ironi kehidupan, bukan berarti kita harus pasrah atau menyerah terhadap keadaan. Tugas dan kewajiban kita bersama untuk merubah ironi tersebut menjadi hal-hal yang lebih senafas dengan cita-cita berdemokrasi. Kita berkewajiban untuk menyelamatkan demokrasi. Ya...kita ingin benar-benar menegakan prinsip dari, oleh dan untuk rakyat demi masa depan Indonesia Raya yang maju dan sejahtera.