Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan Pilihan

Belajar dari Teknik Pendidikan Pondok Pesantren

21 Maret 2023   16:08 Diperbarui: 21 Maret 2023   16:10 160 2
BELAJAR DARI TEKNIK PENDIDIKAN PONDOK PESANTREN

Ditulis oleh: Enok Ratnayu

Dalam sebuah cerita pondok pesantren, dikisahkan bahwa para ustad merasa kewalahan dengan santri- santri nakal. Berbagai cara sudah mereka lakukan untuk mengendalikan santri-santri yang nakal tersebut, namun tidak juga ada hasilnya. Akhirnya para ustad sepakat untuk melaporkan santri-santri tersebut kepada kiai.

Setelah mendapat laporan tersebut kiai meminta ustad untuk menulis nama-nama santri tersebut diurutkan sesuai ranking kenakalannya. Setelah menyerahkan daftar nama santri-santri tersebut, para ustad merasa lega; dan mereka tinggal menunggu tindakan kiai selanjutnya. Mereka, para ustad sangat berharap agar santri-santri tersebut segera boyong karena dikeluarkan kiai.

Seminggu para ustad menunggu, belum ada kabar dari kiai tentang tindak lanjut terhadap para santri nakal tersebut. Dua minggu belum ada juga tanda-tanda santri tersebut dipanggil. Dan pada minggu ketiga para ustad kembali menghadap kiai untuk menanyakan kapan santri tersebut dikeluarkan dari pondok.

Kemudian kiai bilang bahwa santri-santri tersebut sengaja dipondokkan oleh orang tuanya karena nakal. Karena itu tugas kita di pondok harus bisa mengubah mereka sesuai harapan orang tuanya.

Kemudian kiai bertanya kepada para ustad, "Apakah kalian tahu, apa yang saya lakukan setelah saya mendapat laporan nama-nama santri nakal yang kalian urutkan berdasarkan kenakalannya? " Kemudian para ustad menjawab, " Mboten Yai. " "Saya sehabis sholat wajib juga sholat malam selalu mendoakan mereka, agar mereka menjadi insan-insan sholeh yang berhasil, bahkan kalau perlu kelak mereka bisa menjadi kiai besar yang memiliki ribuan santri."

Dalam cerita lain, ketika Gus Mus berpidato memberi sambutan pada acara Santri Nasional, 22 Oktober; Gus Mus atau Kiai Haji Mustofa Bisri juga bercerita tentang cerita di atas. Hadirin tertawa. Namun ada seorang lelaki muda yang tidak ikut tertawa, beliau justru tertunduk, dan hal ini tertangkap tatapan Gus Mus yang waktu itu berada di depan, berpidato di mimbar. Ketika Gus Mus turun dari mimbar, beliau menghampiri lelaki muda itu. Lelaki muda tersebut memeluk Gus Mus dan meneteskan air mata.

Ternyata lelaki muda itu adalah mantan santri nakal ranking satu di sebuah pondok pesantren. Dulu ketika para ustad sudah angkat tangan membimbingnya, ia tahu bahwa ia dilaporkan kepada kiai sepuh. Santri tersebut akhirnya dipanggil ke Dalem Kiai Sepuh. Namun Kiai Sepuh sama sekali tidak menegurnya, apa lagi memarahinya dan menyuruhnya boyong. Kiai justru mengajaknya makan siang

dengan sajian makanan enak, yang tidak pernah ia dapatkan di jabo pondok. (Jabo: jasa boga/kantin). Ternyata hari itu adalah hari setelah kiai mendoakan santri-santrinya selama 40 hari.
Dan kini, lelaki muda tersebut pimpinan sebuah pondok pesantren yang jumlah santrinya ribuan. Ini betul-betul keajaiban karena lelaki muda tersebut bukanlah keturunan kiai. Orang tuanya orang biasa yang ilmu agamanya pun pas-pas-an.

(Sumber: Majalah Tebuireng, edisi 72 Januari-Februari 2021)

Inilah keajaiban doa seorang kiai, seorang guru!

Membaca kisah tersebut, saya jadi merenung, "Bagaimana dengan teknik pendidikan di sekolah(???) Apakah para guru zaman now masih menyadari tentang tugas dan fungsi pendidik yang sesungguhnya? Masih ingatkah apa yang diamanatkan mata kuliah pedagogik dan psikologi pendidikan?" Saya kok jadi meneteskan air mata! Saat ini banyak sekolah sebagai lembaga pendidikan yang sudah lupa akan ruhnya.

Di masa pandemi ini, keadaan serba sulit. Semua orang sakit! Tidak hanya jasmani, namun juga rohani! Tak terkecuali di lingkungan sekolah. Dengan sistem belajar daring, banyak masalah yang timbul yang mengakibatkan semua orang jadi stress. Guru, murid, dan orang tua semua stress! Banyak siswa yang tidak menunaikan tugas belajarnya karena berbagai alasan. Mulai dari fasilitas (HP, laptop, dan kuota); sikap siswa yang malas dan kurang bertanggung jawab; orang tua yang kurang perhatian; juga guru yang kurang kontrol. Efek selanjutnya di akhir semester banyak siswa yang tidak memenuhi syarat untuk naik kelas.
Berbagai pilihan ditawarkan kepada siswa sekaligus orang tuanya. Mereka siap tidak naik kelas? Naik kelas, tapi harus pindah sekolah? Bahkan tawaran untuk mengundurkan diri, tanpa diperhitungkan solusi dan efek selanjutnya.

Sepertinya kita memang sedang sakit kronis, termasuk nurani!

Saya jadi berpikir, itu anak-anak yang mengundurkan diri dari sekolah, selanjutnya mau ke mana? Masihkah mereka punya peluang untuk daftar di sekolah negeri yang ringan biaya? Bahkan bebas SPP? Ataukah hanya bisa ke swasta yang biaya masuknya tidak sedikit? Mampukah para orang tua menembus biaya sekolah swasta di saat pandemi dengan keadaan serba sulit? Jangan-jangan mereka, para siswa yang mengundurkan diri tersebut, keadaannya semakin hancur (??) Bukan hal yang tidak mungkin mereka mendapat KDRT baik fisik maupun verbal dari kedua orang tuanya juga keluarganya (?) Lantas mereka harus ke mana(??) Menjadi anak jalanan? Kabur dari rumah? Bila anak remaja sudah pecah hati, ini sangat berbahaya! Mereka bisa terjerumus kepada hal-hal negatif demi meluapkan emosi tanpa memperhitungkan efek selanjutnya. Masa depan mereka bisa hancur! Astagfirullohalafziim! Semoga hal tersebut tidak pernah terjadi!

Kita para orang tua, guru, juga sebagai anggota masyarakat; semoga tetap memiliki cinta dan kasih sayang yang tulus terhadap Tunas-Tunas Bangsa sebagai generasi penerus! Kita tetap selalu memperhitungkan masa depan mereka. Kita selalu peduli terhadap mereka sebagai pemegang estafeta bangsa ini!

Bukankah cerita tentang Teknik Pendidikan di Pondok Pesantren tersebut, bisa menginspirasi kita sebagai pendidik di tiga lingkungan pendidikan sesuai konsep Ki Hajar Dewantara (rumah, sekolah, dan masyarakat)!

Semoga kita diselamatkan Alloh dari predikat "Pendidik yang Dzolim"!

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun