Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Kematian Mendieta, Salah Siapa?

5 Desember 2012   18:59 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:08 274 1
Hatiku galau saat membaca berita kematian Diego Mendieta, warga negara Paraguay yang bermain di klub sepakbola Persis Solo. Ia meninggal lantaran sakit. Kabarnya, ia tidak bisa berobat dengan baik karena tidak mempunyai uang. Faktanya, gajinya selama empat bulan belum dibayarkan oleh klubnya tersebut hingga ia mengembuskan nafas terakhirnya di sebuah rumah sakit di Solo.

Hatiku galau saat orang-orang dan media massa menjadikan konflik PSSI-KPSI dan LPI-ISL sebagai kambing hitam. Mukaku cemberut saat sebagian mereka menginginkan PSSI dan KPSI bubar karena tragedi yang menimpa Mendieta. Tak tahukah mereka bahwa tanpa konflik PSSI-KPSI pun, peristiwa semacam itu sudah sering terjadi? Lupakah mereka bahwa kasus keterlambatan pembayaran gaji sudah ada sejak beberapa tahun yang lalu. Dulu, sekira tahun 1998, pernah ada Jacksen F. Tiago--yang kini menjadi pelatih klub Persipura--yang gajinya terlambat dibayarkan oleh Persebaya. Setelah itu ada banyak kasus yang sama meski saya tidak bisa mengingatnya satu per satu.

Jika yang menjadi permasalahan kita adalah keterlambatan pembayaran gaji, klublah pihak pertama yang harus dimintai pertanggungjawaban. Klublah yang harus kita permasalahkan. Benarkah Persis Solo sudah profesional sehingga layak tampil di liga profesional? Perlu diketahui, pada tahun 2012 ini Persis Solo berlaga di kompetisi Divisi Utama, kompetisi tingkat dua di bawah naungan PT Liga Indonesia, yang katanya profesional.

Setelah klub, kita pun perlu pertanyakan profesionalisme pengelola liga. Bagaimana mungkin liga profesional membiarkan klub yang bermasalah dalam hal keuangan tanpa sanksi apa pun? Setelah itu, kita patut bertanya kepada asosiasi sepakbola yang menaungi liga tersebut: apa saja yang Anda lakukan untuk mewujudkan kompetisi liga sepakbola yang profesional? Jika asosiasi itu PSSI, ya PSSI yang harus bertanggung jawab. Jika yang lain, ya yang lain itu yang harus bertanggung jawab.

Pertanyannya kemudian: apa saja indikasi pofesionalisme suatu klub sepakbola? Salah satunya, kemampuan finansial klub untuk membiayai kebutuhan klub selama mengikuti kompetisi. Itu salah satunya. Jika tidak, ia patut digolongkan sebagai klub amatir, tidak layak berkompetisi di liga profesional, yang berorientasi bisnis dan independen dari pemerintah. Jika ada klub yang bermasalah dalam hal keuangan, mestinya pengelola liga profesional tempat klub itu berkompetisi segera menjatuhkan sanksi yang tegas: degradasi dan dicabut label profesionalnya.

Ketegasan pengelola kompetisi di Skotlandia patut kita tiru. Terhadap klub Glasgow Rangers, yang selama ini merajai kompetisi di Skotlandia, asosiasi sepakbola di negeri Inggris raya itu dengan tegas menendangnya dari kompetisi profesional akibat kebangkrutan finansial. Tidak hanya pengelola liga yang patut diacungi jempol atas ketegasannya, pihak klub pun patus kita apresiasi atas sikap legowo terhadap keputusan itu. Glasgow Rangers pun diturunkan kastanya tanpa ada polemik apa pun. Pimpinan tegas dan bawahan pun menerima.

Pada awal-awal masa kepemimpinan Djohar Arifin di PSSI, sempat bergulir wacana profesionalisme klub-klub di Indonesia. Salah satunya dalam hal finansial. Klub-klub yang tidak kuat secara finansial tidak bakal diperbolehkan untuk mengikuti kompetisi profesional. Sayangnya, sebagian besar klub-klub sepakbola negeri ini menolak. Maka terjadilah apa yang sekarang kita kenal dengan dualisme kompetisi, ISL dan LPI.

Kebobrokan sepakbola di negeri ini sudah begitu parah. Ada asosiasi sepakbola tandingan, KPSI. Ada dualisme kompetisi. Ada PSSI yang belum maksimal bekerja untuk membenahi borok-borok di masa lalu. Ada timnas yang tak kunjung bermain baik dan membawa piala juara. Ada banyak klub, yang katanya profesional, masih meminta suapan dana APBD. Ada pembayaran gaji pemain yang terlambat. Ada dualisme klub. Ada dualisme kepengurusan Pengprov dan Pengda PSSI. Ada banyak korban meninggal akibat ulah suporter. Ada kompetisi usia remaja dan anak-anak yang belum berjalan dengan baik. Dan masih banyak lagi.

Dari mana kita membenahi semua ini?

Pertama, mari kita biarkan pengurus PSSI yang sekarang bekerja semaksimal mungkin. Pihak-pihak di luar PSSI, yaitu KPSI, media massa, pengamat, dan pencinta sepakbola, cukup menjadi oposisi yang arif. Mereka tidak perlu membuat hal-hal yang serba tandingan, tapi cukup dengan kritik dan saran yang membangun. Jika para pengurus itu selama lima tahun bekerja tidak memberikan hasil yang memuaskan, mari kita lengserkan mereka dalam kongres, tidak perlu kongres luar biasa.

Kedua, mari kita jadikan klub-klub kita profesional. Caranya, kita dorong PSSI menerapkan aturan tegas soal profesionalisme klub. Konsekuensinya, kita harus siap jika kompetisi strata satu di Indonesia hanya diisi oleh segelintir klub. Kita pun harus siap jika klub asal daerah kita dinilai tidak profesional.

Ketiga, mari kita semua jadikan sepakbola sebagai hiburan dan bisnis yang fair belaka, bukan ajang perebutan kekuasaan dan pundi-pundi uang secara salah dan membabi buta. Kalah dan menang dalam pertandingan adalah hal lumrah. Kalah dan menang dalam pemilihan pengurus klub atau asosiasi sepakbola pun hal biasa. Jadi, yang menang silakan tertawa bahagia, tanpa menghina; sedangkan yang kalah silakan mempersiapkan diri untuk menang pada perhelatan berikutnya.

Terakhir, sepakbola hanyalah sarana, bukan tujuan. Janganlah kita rusak sarana itu agar kita tetap bisa sampai pada tujuan.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun