Camera... rolling ... and action!
Seruan di atas identik dengan celotehan sutradara dalam mengarahkan seluruh awak produksi film. Mulai dari camera person, talent, boomer, dan kru yang lain. Identik dengan suara tegas, lantang, pun semua awak produksi mengamini perintahnya. Alhasil, sebuah karya berupa gambar gerak dapat dinikmati dan diintepretasi oleh khalayak.
Karya tersebut sering kita kenal dengan sebutan film. Pun bisa dalam kategori fiksi maupun dokumenter, bisa pula berdurasi panjang maupun pendek. Berbicara mengenai film, kapan kita terakhir nonton film? Film apa yang kita tonton? Di mana kita biasa menonton film? Pun yang paling penting adalah apa yang kita dapatkan setelah menonton film?
Ketika kita berbincang menyoalfilm, terbesit di benak orang awam pasti bioskop, Bukan? Pun film-film yang mereka tonton di bioskop tak lain adalah film-film fiksi berdurasi panjang karya sutradara atau penulis naskah terkenal. Apalagi dengan maraknya film-film luar berseri layaknya Breaking Down, Transformer, Harry Potter dan masih banyak lagi. Para penikmat film tentu menilai film-film tersebut bagus. Toh juga sudah masuk bioskop, berarti layak untuk dinikmati. Namun, sempatkah kita berpikir bahwa banyak film bagus yang berseliweran di luar bioskop dengan durasi sama bahkan lebih pendek?
Walaupun bagus dan baik adalah bukan takaran baku yang dapat dihitung secara real oleh panca indera, tetapi bagus dalamhal ini bisa kita kategorikan dalam konteks efek serta isi dari film terhadap penikmatnya, bahkan terhadap para pembuatnya sekalipun. Hal itulah yang kini tengah menjadi kegelisahan dan perbincangan para sineas muda Indonesia. Pencapaian sebuah film terkadang hanya terfokus di bioskop dan menganggap film-film yangtidak masuk di bioskop adalah film-film gagal dalam merengkuh hati penonton.
Film-film yang tumbuh “liar” di luar bioskop bukan berarti mati atau berhenti di you tube saja. Banyak wadah yang menampungfilm-film tersebut sehingga efeknya pun lebih terasa daripada film-film yang berlenggang di layar bioskop. Pengorbanan penonton untuk menyaksikannya pun tidak kalah hebatnya. Jikakita harus membayar Rp 25.000 untuk sekali pemutaran di bioskop, dengan film-film “liar” tersebut kita harus mengorbankan tenaga, pikiran, dan material, serta menjalin relasi terhadap banyak orang. Pun film-film “liar” tersebut lebih banyak mendapatkan apresiasi secara nyata, bukan royalti semata.
Sebut sajafestival. Di Indonesia maupun luar negeri, festival adalah suaka bioskop yang memberikan ruang terhadap film-film “liar” untuk berekspresi dan berkompetisi. Wujud apresiasinya memang nyata lantaran bukan hanya royalti yang mereka dapatkan melainkan bisa bertemu dan diskusi dengan penonton secara langsung. Hal itu terjadi lantaran banyak hal dilakukan dalam festival. Kalau di bioskop kita hanya menonton lalu pulang, dalam festival selalu ada diskusi usai screening. Selain itu juga para panikmat film bisa belajar tentang teknik produksi film, serta saling bertukar ide melalui temu komunitas. Pun untuk berkontribusi dalam festival tidak dipungut biaya. Jadi, sepertinya pencapaian film yang utama bukan di bioskop melainkan bagaimana film tersebut dapat berimajiner secara langsung dengan para penonton yang kemudian dapat mengadvokasi mereka pula, baik dalam bentuk diskusi maupun forum.
Film “liar” di sini bukan berarti film-film ilegal yang tidak diakui eksistensinya melainkan film-film independen atau kita sering menyebutnya dengan istilah indie. Dalam keseluruhan prosesnya serta produk yang dihasilkan, isi dari film indie tidak kalah menariknya. Bahkan mampu mengalahkan film-film yang berlenggang di layar bioskop. Mereka mampu memamerkan dalam berbagai festival di luar negeri. Bahkan tak jarang dari mereka yang menjadi pemenang dalam festival di luar negeri. Berarti dari segi kualitas tidak kalah, Bukan?
Kegelisahan tidak berhenti di situ saja. Banyak pihak yang menganggap film dokumenter membosankan dan susah untuk ikut berlenggang di bioskop. Lagi-lagi ini persoalan mind sett. Kenapa harus dibenturkan di bioskop? Apakah takaran bagus itu hanya di bioskop? Kenapa pula mereka menganggap dokumenter itu membosankan?
Ada indikasi bahwa pemikiran tersebut muncul lantaran seringnya mereka melihat tontonan yang hanya sekedar hiburan tanpa memuat tuntunan di dalamnya. Selain itu juga mungkin karena intepretasi yang salah terhadap film yang biasa mereka tonton di bioskop. Bukan menyalahkan film-film di bioskop melainkan hanya sedikit memberikan penggambaran bahwa sebenarnyapencapaian utama sebuah karya khususnya filmtidak hanya di bioskop. Pencapaian yang sebenarnya adalah film tersebut bisa berimajiner dengan penontonnya secara nyata, mengintepretasikan isi bersama tanpa memenggal ekspresi dari masing-masing pihak, serta memberikan wadah yang layak dalam mengembangakan film-film tersebut. Salam sineas muda Indonesia!
#foto merupakan dokumentasi panitia FFD dan FFS