Aku tertunduk, hatiku bercampur aduk. Malu, sedih, menyesal, bahkan marah, semuanya saling berebut tempat dalam dadaku. Di sekelilingku, keenam temanku juga tertunduk, wajah mereka memerah. Tidak ada satu pun dari kami yang berani menatap Pak Burhan.
Semua ini berawal dari obrolan santai kami di grup WhatsApp kelas. Kala itu kami asyik membicarakan Bu Rahma, guru matematika yang dikenal disiplin. Awalnya hanya keluhan ringan, tapi lama-lama obrolan itu berubah menjadi hujatan. Ada kata-kata yang tidak pantas, bahkan menghina. Aku sendiri tidak ikut bicara banyak, hanya sesekali menambahkan emoji tawa sebagai respons.
Namun, tanpa kami sadari, Bu Rahma berada di belakangku ketika obrolan itu terjadi. Ia membaca seluruh percakapan kami dan bahkan memotret layar ponselku. Aku merasa darahku berhenti mengalir saat menyadari apa yang telah terjadi.
Esok harinya, setelah ujian selesai, aku dan enam teman dipanggil ke ruang tata tertib. Kami merasa seperti terdakwa dalam sidang pengadilan. Kami tahu kami salah, tapi rasa malu membuat kami sulit mengakui kesalahan itu.
Pak Burhan tak banyak berkata-kata. Ia hanya menunjukkan bukti screenshot dari grup WhatsApp kami, lalu memberikan hukuman, ponsel disita selama enam bulan, dan rapor semester ini hanya bisa diambil oleh orang tua setelah sikap kami membaik.
Saat mendengar hukuman itu, aku langsung terbayang wajah kedua orang tuaku. Aku tahu betapa kecewa mereka nanti ketika harus datang ke sekolah karena kelakuanku. Selama ini, aku dikenal sebagai anak yang cukup baik, tapi apa artinya jika sikapku buruk?
Malam itu, aku merenung di kamar. Aku membayangkan wajah Bu Rahma yang pasti sakit hati karena ulah kami. Ia memang tegas, tapi itu demi kebaikan kami. Bukankah seorang guru hanya ingin yang terbaik untuk muridnya?
Aku sadar, menyesal saja tidak cukup. Aku harus berubah. Kalau selama ini aku sering terjebak dalam obrolan negatif, mulai sekarang aku bertekad untuk lebih menjaga perkataan dan perbuatanku.
Hari-hari berikutnya, aku mulai membangun reputasi baru di kelas. Aku lebih sering membantu teman yang kesulitan memahami pelajaran, termasuk pelajaran matematika dari Bu Rahma. Aku juga mulai mendekati beliau, meminta maaf secara tulus, dan berusaha menunjukkan bahwa aku benar-benar ingin berubah.
Enam bulan berlalu, dan ponselku akhirnya dikembalikan. Rapor semester yang sempat tertahan juga bisa diambil oleh ibu, setelah mendapat laporan dari guru wali kelas bahwa sikapku sudah jauh lebih baik.
Pengalaman ini mengajarkanku satu hal penting, setiap kesalahan adalah peluang untuk belajar dan tumbuh. Meski awalnya sulit, aku kini percaya bahwa penyesalan bisa menjadi awal dari perubahan.
Aku tersenyum kecil saat mengenang masa-masa itu. Rasanya seperti membuat bubur ayam dari nasi yang sudah menjadi bubur. Penyesalan memang datang terlambat, tapi perubahan selalu bisa dimulai kapan saja.
Blitar, 4 Desember 2024
Enik Rusmiati