Walaupun demikian, pemerintah masih saja berlindung di balik data. Kemajuan-kemajuan berdasarkan statistik versi pemerintah sama sekali tidak merepresentasikan keadaan sesungguhnya. Angka-angka bagus IPM terutama Indeks Harapan Hidup berbanding terbalik dengan fakta yang disuguhkan realitas sebagaimana daya tampung RSUD dalam perannya menyelenggarakan sistem penyembuhan. Seakan tak kunjung sepi pasien. Inilah yang disebut kegagalan laten pemerintah. Kegagalan yang kemudian berlindung dari balik kambing hitam RSUD dengan segala kekurangan pelayanannya terutama bagi pasien miskin yang masih sangat terbatas kuota, kesigapan dsb sehingga menguatkan dugaan subyektif banyak pihak mengenai kinerja RSUD dalam melayani pasien miskin masih setengah hati. Hal ini juga yang semakin mempertegas pandangan linear banyak kalangan, seakan masalah kesehatan masyarakat tertumpu di pundak RSUD, bukan pemerintahan Ade Swara. Karenanya tak perlu mengernyitkan dahi ketika kritik mengalir deras ke lembaga sosial, RSUD Karawang namun hal ini bergerak simultan dengan terkuak fakta utang pemkab Karawang terhadap RSUD sebesar 7, 2 miliar. Sebenarnya pihak mana yang secara medis dinyatakan mati klinis? Menejemen RSUD kah? Pemkab Karawang? atau para kritikus?
Tinjauan Pemangku tugas pembangunan kesehatan masyarakat.
Diakui atau pun tidak, hingga saat ini pemerintah belum memiliki cara efektif serta perspektif kedepan dalam membangun sistem kesehatan masyarakat. Pemerintah lebih menyerahkan bangunan sistem kesehatan pada sisi pengobatan/penyembuhan yang telah ada, yang, dalam hal sistemik dilimpahkan tanggung jawabnya kepada pihak RSUD Karawang/RS swasta yang ditunjuk atau pun puskesmas-puskesmas dan pustu-pustu yang tersebar diberbagai pelosok desa. Cukup itu saja.
Dr. Flavio Brandao M. de Araujo,PGDA menyatakan “setidaknya dua kewajiban utama terkait masalah kesehatan antara lain to Protect yaitu melindungi rakyatnya dari pembunuhan sistematis yang dilakukan Negara dan yang kedua to Fullfill atau tanggung jawab mengidentifikasi masalah dan pemenuhannya”. Jaminan kesehatan yang merupakan hak konstitusional rakyat miskin telah membentuk kritik tajam yang mengalir deras dan bermuara di RSUD Karawang. Kritik demi kritik tersebut justru melengkapi kegagalan pemerintahan kabupaten Karawang terutama pada derajat kesehatan masyarakat sebagai indikator capaian-capai obyektif dari penyelenggaraan tata negara dan kemasyarakatan.
Atas dasar itu, artinya terdapat dua hal fundamendamental yang menyebabkan rendahnya level kesehatan masyarakat Karawang yakni rendahnya tingkat kesadaran (mindset) masyarakat yang berhadapan dengan kebijakan pemerintah yang anti kesehatan. Hal ini bisa dibuktikan dengan :
1. Degradasi lingkungan (kegiatan industri dan hasil produksi polutif)
Tak sedikit jumlahnya para penyelenggaraan kegiatan ekonomi terutama sektor industri manufaktur yang menyumbang polusi baik polusi udara, suara, pencemaran air oleh limbah kimia pabrik dsb. Disamping dampak secara langsung dari polusi dan pencemaran, efek pengeksploitasian lingkungan oleh kegiatan pertambangan juga tak luput menyumbang sebab menurunnya tingkat kesehatan masyarakat. Yang sangat mainstream isu lingkungan yang berpengaruh bagi kesehatan yaitu efek rumah kaca yang telah lama menjadi isu global. Namun pemkab Karawang menunjukan watak pengecutnya dengan melakukan pembiaran terhadap kasus penimbunan limbah B3 oleh PT. Tenang Jaya. Pun yang begitu mencolok mata seperti limbah cair industri yang dibuang ke aliran sungai citarum, pemerintah seakan menganggap pencemaran itu tak memiliki kaitannya dengan kesehatan masyarakat.
2. Konsumsi Makanan (berkadar Kimia)
Yang paling berpengaruh besar atas tingkat kesehatan masyarakat adalah makanan yang setiap hari dikonsumsi masyarakat sebagian besar didominasi oleh makanan yang telah terkontaminasi unsur-unsur kimia mulai dari makanan yang bersumber dari alam langsung maupun yang telah melalui proses pengolahan pabrikan/industri. Sebagai contoh saja, hingga saat ini pemerintah tidak pernah menggalakan atau bisa jadi tidak mengerti tentang betapa pentingnya sistem pertanian alami/organik bagi kesehatan, atau pun landasan argumentasi mengenai pertalian produksi pangan dengan skema bisnis besar (perusahaan pupuk kimia) yang sangat menggiurkan.
3. Daya beli untuk konsumsi gizi
Kondisi kemiskinan masyarakat (baca : 1.200.000 masyarakat miskin) memberikan kontribusi bagi rendahnya kondisi kesehatan. Selain kebijakan tingginya harga pangan, 4 sehat 5 sempurna yang didambakan organ pencernaan sangat sulit didapat karena lemahnya daya beli. Saat ini serupa daging, ikan, susu dan buah-buahan masih menjadi barang langka yang tersaji di meja makan mayoritas masyarakat Karawang. Himpitan ekonomi mensaratkan masyarakat bekerja keras menguras tenaga dan waktunya guna mengejar pendapatan yang lebih guna terpenuhinya kebutuhan pokok, sehingga pola lain hidup sehat seperti belajar ilmu kesehatan, waktu istirahat dan olah raga menjadi terabaikan.
4. SDM (mindset/pengetahuan)
Rendahnya SDM/pengetahuan mayarakat terhadap kesehatan, menjaga kesehatan serta metoda alamiah bagi pemulihan penyakit dsb, menjadi faktor berikutnya yang turut menyebabkan rendahnya derajat kesehatan masyarakat karena masyarakat tak memahami seluk beluk penyebab penyakit yang sewaktu-waktu bisa menjangkitinya, serta metoda pencegahannya.
Pada kenyataan lain, bisnis di bidang farmasi dan teknologi kesehatan secara khusus dan bisnis pelayanan kesehatan (terutama swasta), masih sangat sulit terkontrol sehingga menciptakan kondisi kesehatan masyarakat menjadi sesuatu yang sangat mahal. Sekedar contoh, merujuk pada hasil penelitian komparatif Iwan Julianto, pada harga salah satu obat esensial, misalnya metformin, obat lini pertama diabetes tipe-2. Obat ini lazim dikenal dengan merek dagang Glucophage, obat ”originator” temuan Bristol-Myers-Squibb. Di apotek di Jakarta, Glucophage, yang sudah lewat masa patennya, untuk satu strip berisi 10 tablet 500 mg dipatok dengan harga Rp 14.100, sedang untuk merek lain yang sebenarnya hanya ”obat latah” dihargai Rp 11.000, dan obat generik dengan tulisan Metformin hanya Rp 3.000/10 tablet.
Menurut Direktur Utama PT Kimia Farma M Syamsul Arifin, saat ini 80 persen bahan baku obat-obatan di Indonesia diimpor dari India dan China. Anehnya, walaupun harga bahan baku impor ini murah, setelah diproduksi menjadi ”obat-obat latah” oleh industri farmasi Indonesia harganya jadi berlipat kali lebih mahal dibanding harga obat-obat yang sama di India dan China. Ini tak lain karena industri farmasi di Indonesia masih tetap terjangkit ”penyakit” mencari rente (rent seeking), mencari keuntungan sebesar-besarnya yang telah berlangsung sejak era Orde Baru. Faktanya, pada 2011, perusahaan obat pelat merah ini meraih laba bersih Rp 171,7 miliar, naik 23,38 persen dibandingkan 2010 yang mencapai Rp 138,72 miliar.
Kenaikan nilai dividen pada tahun 2011 ini menurut Syamsul, didorong oleh membaiknya penjualan dan laba bersih perseroan. Sepanjang 2011, angka penjualan tumbuh 9,4 persen menjadi Rp 3,48 triliun. Tahun ini, perseroan menargetkan kenaikan penjualan 14,9 persen hingga mencapai Rp 4 triliun dengan kenaikan laba 28,13 persen menjadi Rp 220 miliar (tempo). Fakta keuntungan ini semakin diperkuat dengan dilakukannya kerjasama (joint venture) dengan pengusaha Cina. Pembentukan perusahaan patungan ini akan ditindaklanjuti dengan pembangunan pabrik yang merupakan realisasi atas perjanjian MoU pada 28 April 2010 lalu.Dengan demikian jelas bahwa orientasi dari perusahaan farmasi adalah profitabilitas.
Butuh Alternatif
Kebijakan Utama Pemerintah (preventif)
Hal paling penting dalam membangun sistem kesehatan masyarakat adalah dengan cara menyelesaikan persoalan-persoalan mendasar di masyarakat yang menyebabkan masyarakat hidup dalam keadaan kerentanan penyakit. Benar, ini merupakan masalah besar yang dihadapi namun pemerintah sebagai pemangku kebijakan harus memiliki kemauan keras jika menginginkan masyarakatnya hidup sehat. Keempat problem dasar diatas hendaknya menjadi perhatian penuh pemerintah guna memulai pembangunan sistem kesehatan masyarakat dengan menyegerakan tindakan :
Pertama, menciptakan lingkungan hidup yang sehat dengan cara mencegah datangnya penyakit yang disebabkan baik oleh pencemaran (limbah kimia) maupun penyebab kerusakan lingkunganbahkan hal apa pun yang menyebabkan orang menjadi sakit. Upaya ini berupa penyelidikan, kontrol serta tindakan tegas terhadap pelaku-pelaku usaha terutama industri-industri manufaktur penghasil limbah kimia berbahaya (seperti B3) maupun pengelolanya. Disamping itu, pemerintah harus segera menyudahi kerusakan lingkungan seperti penebangan hutan, alih fungsi daerah resapan air menjadi daerah terbangun (contoh rencana pembangunan bandara dan pelabuhan), kegiatan usaha penambangan dsb yang berpotensi mengundang bencana alam sehingga menyebabkan datangnya berbagai jenis penyakit. Kedua, menggalakan sistem pertanian alami/organik untuk mengurangi konsumsi bahan makanan mengandung kimia dengan cara mengubah sistem produksi pertanian secara komprehensif. Ketiga, pemerintah bertanggung jawab atas peningkatan daya beli masyarakat bagi pemenuhan gizi yang dibutuhkan tubuh. Upaya ini berupa pembukaan lapangan pekerjaan dan peningkatan pendapatan masyarakat. Keempat, Mobilisasi anggaran besar-besaran bagi post kesehatan. Hal ini membutuhkan kecemerlangan pikiran serta gagasan bagi pemenuhan kebutuhan anggaran. Artinya mengubah sistem yang selama ini diyakini, namun salah, ke arah sistem yang benar-benar baru yakni, kebijakan kemandirian ekonomi daerah. Kemandirian yang tentunya memiliki reorientasi dan indikator tentang kebijakan yang mendukung peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Dengan kalimat lain, pentingnya penerapan kebijakan anggaran produktif bagi kepentingan kesehatan mulai dari sistem preventif sampai kuratifnya, bukan seperti kebijakan mobil dinas kepala desa yang jelas-jelas tidak akan memberikan banyak manfaat bagi masyarakat luas.
Kebijakan khusus
Pelayanan kesehatan harus dimulai dengan layanan kesehatan primer (primary health care) atau layanan kesehatan tingkat pertama di masyarakat. Layanan kesehatan primer ini dimulai dengan menempatkan seorang dokter keluarga. Dokter keluarga adalah dokter yang telah menyelesaikan studinya dan telah melakukan praktik langsung seperti di poli klinik/puskesmas dan/atau rumah sakit. Dokter-dokter tersebut ditempatkan di berbagai daerah untuk melayani minimal 1 dusun/Rukun Warga atau kurang lebih 250 keluarga atau rata-rata 5 dokter pada setiap desa. Apa bila hal ini belum memungkinkan karena pertimbangan biaya/anggaran, setidaknya dalam satu desa bisa ditempatkan 3 dokter specialis terutama, dokter specialis penyakit dalam, dokter specialis kandungan dan kebidanan dan dokter specialis anak ditambah seorang pekerja sosial sebagaimana yang saat ini banyak terdapat di PMI.
Ide ini mungkin akan dianggap sebuah kegilaan dan olok-olok mengingat kondisi anggaran kabupaten Karawang yang sangat kecil. Akan tetapi, jika secara komparatif masyarakat tak pernah bosan menyampaikan kritik atas kinerja RSUD, yang demikian itu mengandung pengertian bahwa betapa pentingnya kesehatan bagi kehidupan manusia. Dan tahap kualitatif dari penyelenggaraan sebuah sistem kesehatan, adalah dimana dokter yang setiap saat dekat dan sigap ketika dibutuhkan. Dokter keluarga ini bertugas menjalankan upaya penyuluhan, pencegahan, terapi sederhana, serta kesehatan lingkungan. Dan dokter akan secara integral bekerja memberikan rujukan ke puskesmas terdekat jika diharuskan. Sementara, Puskesmas juga berfungsi sebagai sarana penyuluhan, pencegahan, pengobatan, rehabilitasi, serta pertolongan darurat, yang, harus berdiri di setiap desa dengan fasilitas rawat inap berikut fasilitas yang memadai. Di puskesmas tersebutlah yang akan dijadikan pusat contoh hidup sehat sebagai bentuk nyata langkah-langkah penyelenggaraan kesehatan.Dengan sistem layanan kesehatan primer inilah, pasien yang dirujuk tidak akan lagi menemui kendala keterlambatan penanganan dokter, ruang rawat inap, birokratis dsb.
Layanan Kesehatan Sekunder
Sebagai rujukan dari layanan kesehatan primer atau puskesmas, Pemerintah Kabupaten Karawang harus menyediakan rumah sakit-rumah sakit umum. Rumah sakit rujukan pertama atau secondary health care berupa rumah sakit umum pemerintah yang disediakan bagi masyarakat yang membutuhkan layanan rawat inap dan rujukan, harus dibangun minimal pada setiap region kecamatan misal di Pangkalan mencakup kecamatan sekitar, Rengasdengklok mencakup kecamatan sekitar, Cilamaya mencakup kecamatan sekitar dan Telagasari mencakup kecamatan sekitar. Rumah sakit-rumah sakit yang harus dibangun tersebut secara fasilitas setara dengan RSUD Karawang saat ini karena itu merupakan rujukan pertama. Sementara RSUD tingkat kabupaten Karawang merupakan rujukan kedua yang secara fasilitas setara dengan RSCM.
Yang berlangsung saat ini, pada tahap kuratif, Rumah Sakit Umum Daerah Karawang sendiri yang merupakan lembaga sosial masih menjadi bulan-bulanan kritik serta hujatan. Banyak kalangan yang berpendapat bahwa RSUD Karawang tidak representatif bagi penyelenggaraan kesehatan masyarakat Karawang. Hal yang paling bayak disoroti adalah terletak pada sistem birokrasi Rumah Sakit yang berbelit-belit (seringkali mempersulit pasien gakin) serta penanganan pasien yang cenderung lambat. Baik masyarakat awam, intelektual, akademisi, politisi, bahkan para aktivis nyaris memberikan kesimpulan tunggal bahwa pemangku tugas penyelenggaraan kesehatan masyarakat itu adalah RSUD. Sebagaimana tersebut di atas bahwa sampai sejauh ini, Lembaga sosial (RSUD) tak henti-hentinya mendapat cercaan serta makian dari para kritikus moderat. Mereka sama sekali tidak paham bahwa saat ini fungsi RSUD merupakan jumping processes rujukan.
Tak perlu kaca pembesar untuk melihat secara seksama bahwa layanan Pengobatan/penyembuhan oleh lembaga pengobatan masyarakat tersebut masih banyak keterbatasan baik pada sisi peralatan/teknologi kesehatan maupun dari segi tenaga medisnya, sehingga lembaga tersebut tidak bisa bekerja secara optimal dan efektif. Kondisi ini diperparah dengan rendahnya tingkat kesejahteraan paramedis/perawat/bidan yang bekerja di lembaga penyembuhan.
Dengan demikian, kompleksnya persoalan kesehatan masyarakat merupakan cerminan dari buruknya sistem pemerintahan kabupaten Karawang. Pemerintahan Ade Swara yang memegang kendali sosio- politik, pemerintahan yang tidak pernah menyayangi rakyatnya, namun pemerintahan tidak mengakui kegagalannya dalam membina kesehatan masyarakat dengan cara mendelegitimasi peran sosial RSUD Karawang.