Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Maa, Kalau Sudah Menulis, Lupa Berdiri

11 Mei 2013   12:29 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:45 172 2
Gedebag gedebug suara kaki dihentakkan terdengar hingga ke beranda. Sesekali suara kardus yang dibanting, kursi yang diseret sepanjang lantai...... hhh, riuh rendahnya memekakkan telinga. Memaksaku untuk bangkit dari meja pendek di sudut teras yang nyaman oleh semilir angin.

Sulungku sedang ngambek rupanya. Sejak tadi ia mencoba meminta perhatianku dengan rengekan dan pertanyaan konyol lainnya. Tapi tak kuhiraukan. Tulisan setengah jadi ini benar benar menyita waktuku.

"Maaa......" rengeknya. Tangannya menggelayut di lengan kiriku. Mulutnya cemberut, manyun.

"Kenapa, sayaanng?" tanyaku tanpa menoleh. Tanganku masih sibuk memencet tombol di keypad.

"Aaaahh mama. Liat adik doong" serunya. Kali ini dia menerobos tanganku dan berdiri tepat di hadapanku. Wajahnya menutupi layar laptop, tak memungkinkan aku untuk membaca hasil tulisanku di sana.

Kuambil nafas panjang.  Kuendapkan rasa jengkel yang sejak tadi kutahan tahan.

"Adik kenapa? Bukankah tadi sudah mama buatkan puding kesukaanmu? Sudah makan pagi, sudah minum susu? Lalu, masih kurang apa lagi?" susah payah kujaga intonasi suaraku agar tidak meninggi.

Andin hanya menggoyang goyangkan tubuhnya tanpa menjawab.Ia bahkan menolak ajakan papanya untuk bersepeda keliling kampung.

"Andiin...." tegurku. Pengin rasanya menjewer telinganya kuat kuat. Hiihh, ini anak. Mengganggu konsentrasi saja. Kuurungkan niatku. Ia akan makin rewel kalau aku mencubit atau menjewernya.

~~~~~

Ini hari Sabtu. Biasanya aku akan mengajak Andin berjalan jalan ke sawah dengan bertelanjang kaki. Jaring bertangkai, kantung plastik bening ukuran sedang, ember kecil tempat berbagai macam mainannya, tak lupa bekal makan siang dan minuman dingin. Semuanya kutata rapi dalam kotak plastik bertutup yang transparan. Kujinjing di tangan kiriku sementara tangan kananku menggandeng Andin agar tak terperosok ke dalam lumpur.

"Maaa...ini...ini...." jeritnya ketakutan. Seekor ketam sungai sedang berjalan miring miring ke arahnya.

"Ini ketam, sayang. Kalau kau tidak mengusiknya, dia tidak akan melukaimu". Kusingkirkan ketam itu dengan sebatang kayu yang kutemui di pinggir sungai.

"Andin. Lihat. Apa ini?" kutunjukkan seekor cacing yang melata di pematang tempat kami berdiri.

"Itu cacing ya ma? Kok jalannya begitu? Hiihh...." ia bergidik. Jijik melihat binatang itu menelusup masuk ke lumpur sawah.

Itu hanya sebagian kecil kegiatan yang kami lakukan bila hari libur tiba. Meskipun tak terlalu sering, tetapi aku selalu berusaha mengenalkan keadaan sekitar kepada anak perempuanku ini. Biarlah teman temannya sibuk keluar masuk mall, belanja dan jalan jalan. Kami punya cara lain yang tak kalah mengasyikkan dalam menghabiskan waktu libur.

~~~~~

"Paaa......" ia menghambur ke pelukan papanya. Rupanya ia mulai jemu dan mengantuk. Setelah membersihkan kaki dan tangannya di pancuran air kran dekat teras, papanya menggendongnya ke kamar.

"Andin bobok ya, sama papa?" kudengar mas membujuknya dengan lembut.

"Mama kalau sudah menulis, lupa berdiri". Deg. Kalimat Andin yang barusan terasa menohok tepat ke ulu hatiku.

"Maafkan mama nak" sesalku dalam hati. Saat kutengok, ia sudah terlelap berbantalkan lengan papanya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun