September baru saja menapakkan kakinya. Mendung sudah lama pergi menghilang, menyisakan udara panas yang berdebu, juga tanaman yang meranggas. Beberapa malah sudah layu dan mengering.
Tak ada ojek yang biasa berseliweran di sepanjang jalan Desa Rangkat. Entah, mungkin karena kelarisan, mungkin sedang berteduh, atau mungkin sedang mengudap segelas dua gelas es sari tebu di kelokan jalan.
"Bunda Enggar? Beneran ini bunda?" kudengar teriakan tertahan dari balik punggungku. Aku menghentikan langkahku. Kutoleh siapa dia yang menegurku.
"Icha........," belum juga kuselesaikan kalimatku, gadis itu sudah menghambur untuk memelukku.
"Icha kangen banget buundd......," serunya. Tangannya masih memelukku erat. Kuelus kepalanya penuh kasih.
Sambil berjalan bersisian, gadis itu bercerita panjang lebar tentang keadaan Desa Rangkat. Tentu saja banyak sekali cerita yang tak kuketahui. Sejak awal puasa, aku memang memutuskan untuk tetirah ke kampung halamanku. Disamping mengunjungi makam almarhum ayahku, aku juga menjaga ibu yang sendirian. Sebagai anak perempuan satu-satunya, ibu lebih sreg bila aku yang menemaninya di kampung.