Meski jurnalis adalah profesi yang terbuka, profesionalisme atau suatu sikap yang menunjukkan sebuah komitmen dan kesungguhan seseorang terhadap profesinya harus dilakukan.
Seperti di profesi lain, misalnya pilot. Sebelum menjadi pilot, ia harus menempuh pendidikan dengan seleksi yang ketat. Setelah dinyatakan lulus pun ia tidak dengan mudah menerbangkan pesawat. Harus menjadi co-pilot, kemudian menerbangkan pesawat kecil terlebih dahulu. Bahkan, untuk menerbangkan pesawat berbadan besar, ia harus melakukan uji kualifikasi terlebih dahulu.
Begitu pula dengan jurnalis, kualifikasi tentang jurnalisme harus dimiliki sebelum terjun ke lapangan. Jurnalis harus mengetahui hakekat profesinya, aturan main yang baku (standar jurnalistik), rambu-rambu (kode etik dan regulasi pers), dan memiliki kecakapan dalam wawancara dan menulis, setidaknya.
Hal ini perlu supaya tidak merugikan media sendiri, narasumber, dan publik nantinya. Sebab bagaimanapun karya jurnalistik yang dihasilkan akan dibaca atau didengar atau ditonton publik. Begitu diwartakan kontan masuk ranah publik.
Menjadi jurnalis juga tidak boleh spekulatif atau main-main. Meski, faktanya tidak demikian: masih jauh panggang dari api. Dari pengamatan penulis, jangankan reporter baru, jurnalis yang telah memiliki jam terbangnya tinggi pun banyak yang belum menguasai pengetahuan elementer. Sebutan jurnalis yang profesionalis pun masih jauh.
Di Swedia, misalnya, ada juga ketentuan bahwa sarjana dari jurusan jurnalistik saja yang boleh menjadi wartawan. Di Indonesia sendiri baru dalam beberapa tahun terakhir saja lembaga pendidikan yang memberikan pendidikan kejurnalistikan.
Memang ada media yang melatih dulu calon wartawannya sebelum melepaskan mereka ke lapangan seperti Kompas misalnya, yang mewajibkan calon reporternya mengikuti in-house training sekitar setahun sebelum mereka terjun ke lapangan.   Majalah Tempo pun melakukan hal yang sama tapi dengan waktu yang lebih singkat.
Alhasil, untuk menjadi jurnalis professional, harus berprinsip menyajikan fakta, cover both-sides dan cover all-sides, keberimbangan (dengan check and recheck dan triple check serta bersikap imparsial) dan menjaga akurasi tentunya sesuai dengan kode etik jurnalistik.
Secara sedehana, jurnalis professional pasti mampu menyuguhkan berita yang berbobot, bukan talking news dan dangkal karena faktanya tipis. Secara teknis, terjaga dari sudut beritanya (angle), judul, pembuka (lead) nilai berita, narasumber, keberimbangan informasi, penggalian informasi, verifikasi, latar belakang masalah dan akurasinya.