Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik Pilihan

Ahok Itu Mahal (Komitmen Sejarah)

16 Oktober 2014   18:14 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:47 222 3
Banyak bangsa  di dunia bisa bangkit dari keterpurukan setelah didera pelbagai penderitaan getir. Tetapi, bukan penderitaannya itu yang meletupkan kejayaan, melainkan daya tahan dan komitmen kuat untuk terus memupuk imajinasi kejayaan mereka.

Salah satu contoh yang mengagumkan dan nyaris menjadi causa celebre (selalu disebut-sebut untuk kasus yang sama), adalah Bangsa Yahudi.

Menurut Max I. Dimont dalam buku Indestructibel Jews, tak ada bangsa di dunia yang mengalami pergumulan sejarah begitu mengerikan selain Bangsa Yahudi. Berabad-abad (malah melewati satu milenium) Yahudi digempur dan digusur, sejak era Babylon, Cyrus, Nebudenzaker, Romawi, Persia, era Perang Salib, hingga ke masa reconquista di Spanyol, inkuisisi di Katolik Roma, Progrom di Rusia dan Polandia, hingga holocaust di Jerman.

Garis waktu sejarah nan panjang itu bahkan belum berakhir, karena anti semitisme masih merebak di mana-mana.

Tetapi apakah Yahudi hancur?

Peradaban dunia moderen, kata Max Dimont lagi, bersumber dari isi kepala Baruch Spinoza, Sigmund Freud, Karl Marx, dan Einstein (ini adalah satir, bahwa memang metodologi ilmiah, positivistik, dan rasionalitas, lahir dari para intelektual raksasa Yahudi).

Hampir 22 % Hadiah Novel jatuh ke tangan (kelahiran) Yahudi. Mereka berjaya di bidang fisika, kimia, biologi, kedokteran, hingga ekonomi dan sastra. Padahal, perkiraan kasar, dari tiga milyar penghuni bumi, hanya 12 juta saja dari bangsa Yahudi. Artinya, alih-alih tumbang, mereka bahkan menang!

Sekali lagi, bukan gurat hitam sejarah yang membuat sebuah bangsa atau komunitas bangsa bisa melesat ke alam kemajuan. Melainkan menjaga komitmen asli dan murni.

Kalau cuma deraan derita sejarah, maka betapa banyak suku bangsa dijajah lalu kemudian malah lenyap. Aborigin di Australia,  Inca dan Aztec (peradaban Meso Amerika), atau suku-suku tribal di pelbagai belahan dunia, terkubur kecuali hanya menyisakan sedikit tetinggalan arkeologis. Banyak fakta bahwa suku-suku bangsa atau komunitas sosial politik budaya di dunia yang pernah bersinar, tetapi lenyap hanya oleh serbuan-serbuan sporadis.

Buku The Last Day of Incas, karya Kim Mac Quarrie, malah nyaris mengolok-olok, bahwa Inca hancur oleh serbuan belasan serdadu pemabuk, anak buah Francisco Pizzaro. Dalam satu sapuan perang, akar tunjang peradaban Inca rontok. Padahal, tulis Kim Mac Quarrie, Pizzaro (dan para petualang Portugis, Spanyol yang merebut Benua Amerika), cuma bermodal keberanian.

Mereka adalah para petani tak terdidik, kaum terbuang, dan golongan sampah masyarakat di negerinya. Uniknya, para penyerbu ini rata-rata berasal dari daerah yang sama, yang keras, gersang, dan penuh konflik, tapi pemberani, sepotong wilayah bernama: Extremadura...

Artinya apa? Imperium sebesar apapun, jika tak kokoh bersandar pada ramuan ideologi yang kuat, tanpa komitmen mewariskan nilai-nilai dari generasi ke generasi, sama saja dengan membangun istana pasir.

Ini yang bisa dilihat dari invasi besar tentara Mongol (yang malah kemudian terserap pada budaya Islam, wilayah yang mereka serbu). Atau aksi-aksi penaklukan dari suku Hun, Visigoth, Vandal, Frank, atau Viking, yang terjadi di Eropa. Suku-suku bangsa ini pernah menang, berkibar, tapi hanya hadir sekelebatan waktu saja. Mereka segera terkonversi menjadi generasi yang melebur bersama wilayah taklukan.

Semua itu cermin besar.

Mozaik sejarah yang benar-benar nyata itu sesungguhnya pernah hadir dalam postur mini di Nusantara.

Jatuh bangun peradaban, pergumulan sengit, perebutan pengaruh, konflik antar suku, ras, dan bahkan antar bangsa, secara sempurna pernah bercokol di negeri ini. Menyediakan bukti tentang bahayanya sifat egosentris dan primordialisme sempit, sekaligus bukti tentang efektivitas solidaritas massa. Melahirkan praktek faktual tentang perlunya mimpi besar dan komitmen serius untuk menggerakkan kemajuan, sekaligus pernah pula melahirkan hancurnya komunitas yang tak memiliki agenda filosofis apapun.

Potongan-potongan sejarah nasional juga kaya wacana, tersalur melalui karya sastra, dalam kropak, lontara, wawacan, babad, kronik, bahkan dongeng, mitos, legenda, dan (maaf) primbon. Sebut saja semua itu maintifak (warisan intelektual), yang potensial dirumuskan menjadi ideologi perjuangan untuk mewujudkan kebesaran negeri ini.

Artinya, bangsa ini punya modal historis dan ideologis untuk melesat ---sebagaimana yang juga terjadi di belahan dunia yang lain. Syaratnya, tak ada penyia-nyiaan potensi bersama.

Bila Amerika berjaya karena berhasil menjadi the melting pot (bejana peleburan), Yahudi maju karena menjadi pool of talent (kolam manusia-manusia berbakat), Eropa melesat karena renaisance (ditandai perdamaian antara gereja dan kaum intelektual), maka Indonesia pun punya modal yang sama: bhineka tunggal ika.

Boleh saja ini sebentuk imajinasi mental yang dibangun terlampau politis (via pemaksaan, via politik, dan sosialisasi datar). Akan tetapi benar-benar terbuka untuk diletupkan daya ledaknya. Yahudi bahkan perlu melakukan riset-riset arkeologis serius (untuk membuktikan keberadaan artefak kuno), guna membuktikan klaim-klaim ideologis mereka atah tanah yang dijanjikan (Kanaan).

Kita pun bisa (beberapa sudah dibuktikan), untuk melakukan hal yang sama. Namun syarat paling fundamental harus lebih dulu hadir. Tak lain adalah: komitmen untuk membangun kejayaan bersama.

Bhineka Tunggal Ika akan jatuh sebagai kredo kosong, jika tak dilambari dengan tafsir cerdas, kuat, dan menjanjikan proyeksi kejayaan. Selama ini, bhineka tunggal ika hadir sebagai air penyiram  semata ---untuk mengingatkan pentingnya kesatuan dan persatuan. Jarang-jarang ada ikhtiar total untuk membedah aspek filosofis, ideologis, strategis, yang memproyeksikan komitmen bhineka tunggal ika untuk merebut masa depan.

Berkaca pada narasi agung sejarah dunia, mestinya kita lipatgandakan komitmen bhineka tunggal ika ini, sebagai perjanjian asli (perenial) bangsa ini. Sebagai imajinasi besar. Sebagai mimpi bersama. Sebagai tanah masa depan yang dijanjikan...

Sayangnya, yang menguat adalah kutub perlawanan.

Melalui aksi para pelaku bandit sosial baru di Jakarta atau wilayah urban lain, yang mengkapitalisasi isu sektarian dan sentimen keagamaan untuk kepentingan pribadi dan kelompok.  Mereka hari ini telah menjadi palu yang menggedor-gedor "tembok moralitas" persatuan bangsa ini. Tapi jika dibiarkan, lama kelamaan akan menjadi meriam penghancur. Mengapa?

Pola-pola yang dilakukan bandit sosial ini mencuri ruang kosong yang bersumber dari ketidakpercayaan diri, inferioritas, dan buta sejarah dari masyarakat seumumnya. Diakui atau tidak, rupanya benih-benih prasangka, stereotype, atas suku bangsa tertentu, masih tersemai luas. Bhineka tunggal ika tak benar-benar menjadi komitmen murni. Gerakan yang dilakukan oleh, misalnya FPI (atau partai politik yang ganti-gantian memanfaatkan mereka), merasa aman karena berlindung dari "psikologi" pembiaran oleh masyarakat.

Memang tak gampang mengubah realitas ini. Tetapi ada jalan ke luar. Sudah saatnya, ritual deseminasi sejarah berjalan melalui metode pembongkaran masa lalu. Buka dan hadirkan file-file lama yang memberi bukti bahwa bangsa ini lahir bukan oleh kerja-kerja sistematis satu dua kelompok. Bangsa ini bahkan lahir dengan pola nyaris acak dan multi strategi. Ada kobaran semangat merdeka atau mati, ada letupan bedil, ada diplomasi, ada sentimen agama, ada perang ideologi, tetapi ada juga pergumulan bisnis dan ekonomi.

Semua pihak ambil peran masing-masing ---sesuai dengan alur hidup dan kemampuan yang mereka punyai.

Salah satu yang penting dihadirkan saat ini adalah sumbangsih dan jasa besar dari komunitas (etnik) China/Tiongkok, baik totok atau peranakan.


Sebuah buku karya Twang Peck Yang (terbitan Diadit Media, Jakarta, 2007), berjudul Elit Bisnis Cina di Indonesia dan Masa Transisi Kemerdekaan (1940-1950), membeber serentetan fakta. Bahwa komunitas China yang plural dan heterogen (mereka datang dari berbagai wilayah daratan China, atau yang sudah turun temurun lahir di bumi nusantara), bukanlah entitas tunggal dalam pemihakan politik. Ini membantah pandangan stereotype yang dianut sebagian besar masyarakat, bahwa mereka pragmatis, oportunistik, dan menunggu siapa yang menang (untuk kemudian ikut gerbong penguasa).

Mereka atas kesadaran peran dan posisi strategis mereka, banyak yang mengambil pilihan beresiko, yakni pro republik. Mereka sanggup menembus blokade pelayaran laut dan sabotase bersenjata di jalur darat, untuk menyelundupkan pasokan senjata sisa Inggris di Malaysia dan Singapura, untuk kemudian dikirim kepada kaum republikan. Mereka pula, komunitas China, yang sanggup mengumpulkan pajak dan iuran untuk menambah pundi-pundi dana revolusi. Mereka yang menyambungkan jalur distribusi Sembako, dari pedalaman ke perkotaan. Dan yang paling penting, mereka yang paling memiliki kemampuan menegakkan fondasi perekonomian masa-masa mempertahankan kemerdekaan. Padahal, kerapkali, tantangan yang dihadapi berkali lipat dibanding para pejuang pribumi. Mereka kadang harus ditipu ---atau juga menipu--- para bandit, lasykar penjarah, milisi bersenjata, atau poltisi culas yang memeras. Mereka bahkan harus ada strategi untuk lolos dari cengkraman Belanda. Intinya, darah revolusi adalah darah bersama.

Memang ada juga sisi kelam. Tetapi noktah hitam itu bukankah sudah berlangsung berkali-kali? Sejak pembasmian China di Batavia oleh VOC pada 1740, sejak huru-hara sosial yang berkali-kali muncul, sejak kedatangan Jepang, sejak era gedoran China di 1946, sejak kecurigaan di ujung Orde Lama, atau sejak kerusuhan Mei 1998... Mengapa tak pernah ada pelajaran bersama untuk bekerjasama?

Kembali ke awal, yang tak hadir ada komitmen murni. Perang berkali-kali, kerusuhan berkali-kali, kecurigaan yang dirawat, tak memberikan apapun. Kecuali (mungkin) permainan zero sum game, sama-sama hancur. Kalau kita percaya bangsa ini bukan keledai, maka sebaiknya belajar dari sejarah. Bangsa ini lahir dari pergumulan keras, digotong bersama, dikerjakan bersama, dan diperjuangkan bersama.

Titik genting saat ini mestinya jadi momentum. Harus ada penyebaran informasi yang kaya dan segar, untuk menjadi kontra propaganda para pembenci antar etnik. Bersumber dari dokumen historis faktual. Jangan cuma mengolok-olok FPI dengan cara rendah seperti yang mereka lakukan. Lawan dengan intelektualitas, benturkan dengan senarai argumentasi, dan kibarkan kemenangan komitmen bersama, imajinasi bersama. Bahwa Bangsa Indonesia bisa besar oleh mereka yang percaya nilai-nilai fundamental bangsa. Dan negeri ini bisa maju oleh siapa saja, dari latar apa saja, termasuk oleh Ahok.

Mari kita sadari, Ahok berpeluang menjadi masinis sejarah yang menarik gerbong kejayaan masa lalu yang pernah kita miliki. Ahok itu bisa mahal, kalau kita percaya bahwa China pernah menyumbang peradaban penting, dari teknik pertanian, seni, hingga penyebaran Islam, dan perjuangan kemerdekaan. Tetapi Ahok juga murah, kalau semata-mata dijadikan objek politik.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun