DI sungai ini kerap muncul buaya rawa. Saya sendiri belum pernah melihatnya. Info ini saya peroleh dari Acik Tomo, 43 tahun, seorang pengrajin samuray.
Bengkel mebelnya berada persis di sungai ini, di Dusun Setinggak Tawar, Desa Sebubus, Kecamatan Paloh, pedalaman Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat.
Saya menjumpai Acik, Sabtu (10/3/12) dan Minggu (11/3/12) saat bersama beberapa teman berkunjung ke dusun ini. Perlu waktu sekitar 7 jam dari ibu kota provinsi, Pontianak, untuk menjangkau dusun ini dengan perjalanan darat.
Acik baru setahun belakangan menjadi pengrajin samuray dan senjata tajam lainnya. Sebelumnya, lebih 20 tahunan, dia bekerja di bengkel meubel.
"Buaya ini sekitar 2 tahun belakangan mulai sering masuk kampung. Mereka menyusuri sungai-sungai kecil dari muara laut Cina Selatan yang jaraknya cuma 700 meter dari sini," ucap Acik sambil terus mengerjakan gagang samuraynya.
'Pak RT', sebutan khusus untuk buaya-buaya, karena warga kampung tak bisa lancang menyebut buaya secara langsung. Kedatangan 'Pak RT' ini kerap tak disadari.
Sosoknya berenang tenang, nyaris tanpa riak, dan sepintas tampak seperti ongokan sampah atau kayu hanyut. Tiba-tiba, ternak bebek dan kambing warga diterkamnya.
Sesekali warga memasang kail ukuran besar dengan umpan daging ayam untuk menangkap buaya. Ada yang berhasil, ada juga yang tidak.
"Belum lama ini, ada seekor buaya ditangkap di dermaga. Ada 20 orang yang hampir tak sanggup mengangkat tubuhnya. Bayangkan seperti apa besarnya," kata Acik.
Hewan dengan nama Latin Crocodilus forosus itu disebut-sebut beberapa kali telah mengigit manusia di kampung-kampung sekitar. Ajaibnya, tak ada yang sampai meninggal!
Korban biasanya diterkam jika ada bagian tubuhnya bersentuhan dengan sungai, seperti mencuci kaki, main-main air, atau saat buang hajat.
Warga Dusun Setinggak lainnya, Ramli, 43 tahun, menuturkan, dirinya pernah secara tak sengaja melintas dalam jarak amat dekat dengan 'Pak RT'.
Saat itu, dia tidak sadar ada buaya sedang naik ke daratan untuk berjemur. Dari kejauhan, dia menduga benda itu setumpuk sampah.
Setelah dekat, hanya dalam jarak 3 meter, barulah disadari sang buaya sedang memejam mata menikmati sinar matahari. Ramli lewat perlahan agar tak menganggu keasyikan 'Pak RT'.
"Bagaimana tidak ngeri, tangannya saja sebesar paha orang dewasa," kisah Ramli.
Dia mengaku serba salah. Tak ada gunanya memburu buaya-buaya itu, karena tak ada nilai ekonomisnya.
Tak ada lagi pembeli-pembeli kulit buaya seperti era 1970 hingga 1980. Sementara jika dibiarkan, buaya-buaya itu terus berkembang biak dan membuat warga khawatir.
Mengapa buaya-buaya ini senang masuk pemukiman warga? Menurut Herman, 36, warga asli Setinggak, satwa ini kemungkinan kehabisan sumber makanan.
"Orang menembak monyet, padahal monyet juga makanan buaya. Tak ada hewan kecil yang bisa dimangsa, ya ternak bebek dan kambing jadi sasaran," kata Herman, yang akrab disapa Pak Itam.
Namun, Pak Itam mengaku, belum pernah mendengar kabar adanya orang yang sampai tewas dimangsa buaya. Rata-rata hanya luka dan tetap bisa selamat.
Mungkin potensi ini bisa jadi objek wisata minat khusus. Sepertinya asyik sekaligus bisa menguji adrenalin menyaksikan para buaya ini naik ke daratan untuk berjemur.
Kalau sudah berjemur, kadang mulutnya menganga, mata terpejam, mungkin menikmati hangatnya sinar matahari. Nah, beranikah menjumpai 'Pak RT' yang begini?
SEVERIANUS ENDI