[caption id="attachment_124831" align="alignleft" width="300" caption="Foto Pondok Dalong. Dokumentasi: Al Yan Sukanda."][/caption]
MALAM sudah sedikit lewat, sekitar pukul 01.05 WIB. Kami baru saja tiba kembali di Aorta Hotel, Jl Sisingamangaraja, Ketapang. Rabu (11-8-2011) telah menuntaskan pengembaraannya dan subuh muda mulai menapaki Kamis. Sekitar empat jam sebelumnya, akhirnya saya tiba di tempat itu: sebuah pondok di pinggir sungai, suatu hutan sekira 3 kilometer jaraknya dari pusat kota, yang bernama Dalong. Ini bukan perjumpaan dadakan. Sang empunya pondok, sang maestro seni dan budaya tradisi lokal yang telah menerima Penghargaan Seni dari Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata RI, Yan Sukanda, sudah jauh-jauh hari mengundang saya untuk bertandang ke "padepokan" itu. Dan malam itu, janji itu paripurna sudah! Dengan sinar lampu pelita minyak tanah, sesekali diselingi lampu batere, obrolan malam itu berlangsung renyah. Jendela pondok terbuka selebar-lebarnya, sehingga kami bisa sambil merasakan angin hutan malam atau menikmati bulan yang mengintip dari balik ranting. Sinar bulan yang ikut mewarnai malam dengan cahaya pucat yang terkadang hanya nampak samar dari balik rimbunnya kanopi pepohonan. Sinar pucat yang bisa membangkitkan kenangan akan sejuk dan tenteramnya kehidupan nun di desa kampung halaman. [caption id="attachment_125836" align="alignright" width="300" caption="Di Pondok Dalong, Yan sering membawa siswanya belajar tentang alam. Foto: Dokumentasi Yan Sukanda."][/caption] Bahkan, intipan bulan di balik ranting itu bisa membangkitkan aneka kisah masa kanak-kanak yang tidak mudah untuk dikatakan: masa bermain-main, masa mulai mengenal kehidupan, masa menikmati persaudaraan yang tulus di perkampungan. Aku bersama rekanku, Alexander Mering, mantan redaktur Borneo Tribun, merasa terhormat dijemput secara khusus dan dibawa ke tempat itu. Bersama fotografer handal Eric, Frans Doni, Yofri, juga aktivis Yayasan Palung Piet Canisio, dan teman-teman lain, kami berbincang tentang segala hal. Kuhitung, ada belasan orang menikmati perjumpaan di pondok itu. Sembari menikmati ritual yang bukan aktivitas kami sehari-hari: menunggui pukat yang dipasang di sungai kecil di kaki tangga. Ikan-ikan yang tersangkut telah tergolek pasrah di dalam ember. Senior masa mahasiswa yang kini telah menjadi "orang", menduduki kursi wakil ketua parlemen, juga menyusul dan bergabung. Budi Matheus, memang tak menyinggung tema politik, tetapi ikut larut dalam bincang canda sambil sesekali memeriksa pukat, kalau-kalau ada lagi ikan yang tersangkut. Kami berbicara hal-hal ringan. Mulai soal fotografi, jurnalistik, gerakan sosial, hutan, konservasi, satwa endemik, burung-burung langka, sampai kisah Laksamana Ceng Ho. Hal yang terasa bagai dalam dongeng: berjumpa teman-teman lama dalam atmosfir alam yang dikondisikan jauh dari teknologi sehari-hari. Tanpa aliran listrik dan televisi, meski ponsel kami tetap menyala. Di sekeliling hanya gelap dengan kerimbunan pepohonan yang sesekali dipoles cahaya bulan. Aku menyukai tempat ini, tempat yang kusebut sendiri sebagai Pertapaan Dalong. Tempat segala kerinduan akan suasana penuh ketenangan bisa sedikit dituntaskan. Akhirnya kerbersamaan itu tetap harus berakhir seiring malam yang kian menanjakkan tapaknya. Mobil itu kembali mengantarkan kami, aku, Mering, dan Piet, ke Aorta Hotel, tempat kami menginap selama mengikuti acara USAID-IFACS di Ketapang. Di perjalanan, mobil menabrak seekor kucing yang segera mengantarkan mahluk bernyawa sembilan itu ke alam barkah. Jefi yang menyetir mobil agak shock, tapi merelakan bajunya sebagai bungkus untuk bangkai sang kucing. Kami membungkus hewan itu dengan baju dan mengarahkan mobil ke Kantor Yayasan Palung. Di samping kantor yang lengang itu, kami menggali areal berpasir, dan aku memimpin upacara sederhana mengebumikan sang kucing. Kupanjatkan pinta agar dia tak mendendam kami, dan berharap dia beristirahat dengan tenang.
SEVERIANUS ENDI Note: Catatan ini baru seri pertama, akan dibuat bersambung dalam postingan berikutnya.
KEMBALI KE ARTIKEL