Mohon tunggu...
KOMENTAR
Inovasi

Belantara "Sampah" Bernama Internet

26 Januari 2011   08:30 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:10 203 0
LAMA sudah tak lagi ikut-ikutan kegiatan yang agak serius seperti seminar. Tapi pada Sabtu 22 Januari 2011 lalu, ada magnet tersendiri bagi saya untuk menghadiri sebuah seminar di Hotel Kapuas Pontianak, Kalimantan Barat.

Daya tarik pertama, karena pembicara yang diundang panitia adalah dua dosen saya di Fisip Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Hitung-hitung reunian singkat hehe.

Kedua, tematiknya cukup menarik, yakni tentang media literacy alias sadar media. Jadi, masyarakat harus diberitahu bahwa apa-apa yang dilontarkan media, jangan ditelan bulat-bulat. Amat sangat mungkin pemberitaan yang disajikan media, sudah begitu bias bahkan menyesatkan.

Dua dosen saya dulu, Lukas S Ispandriarno dan Bonaventura Satya Bharata, tampil dalam seminar nasional “Sadar Media” yang digelar Yayasan Sumangat Nusantara. Seminar yang digagas anggota DPD RI dapil Kalbar Maria Goreti ini juga menampilkan pembicara Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Kalbar, Alexius Akim. Para peserta berasal dari kalangan dosen, guru, pelajar, dan pengamat sosial.

Kebetulan saya bekerja di media, bisa dikatakan orang media. Nah, ada kalanya "merefresh" diri supaya tidak angkuh dengan realitas pekerjaan bermedia. Di antara tema pembicaraan, membahas tentang realitas internet. Harus kita akui, internet juga bisa menampakkan sisi lainnya berupa "belantara sampah" yang harus disikapi dengan amat bijak oleh para "pemulung maya". Hahaha, ribet ya.

Sambil liputan, saya menikmati seminar itu. Serasa kuliah kembali. Di depan panel, dosen saya Pak Lukas S Ispandriarno yang memperoleh doktor ilmu komunikasi dari Ilmenau Technical University, Jerman, memaparkan pandangannya tentang media internet.

Internet merupakan ladang informasi mahaluas, yang memberikan banyak pilihan bagi para penggunanya. Namun jika tidak disertai sikap kritis dan sadar media, internet justru berpotensi menyesatkan.

Lukas menuturkan, gejala mundurnya kreativitas yang paling mudah dilihat yakni fenomena copy paste (copas), atau menjiplak mentah-mentah bahan di internet dan diakui sebagai karya sendiri.

“Internet yang canggih bisa membuat para pelajar menjadi malas dan tidak kreatif. Informasi dari internet tidak semuanya kredibel, apalagi untuk tujuan akademik,” paparnya.

Lukas memaparkan contoh pelajar tingkat SMP yang diberi tugas membuat makalah dengan topik lumayan berat, yakni tentang politik dan perempuan. Karena mudahnya memperoleh informasi dari internet, karya tulis para pelajar ini cenderung copas dari bahan-bahan yang sudah ada di berbagai blog dan situs.

Menurut dia, media massa konvensional seperti koran sesungguhnya jauh lebih kredibel. Sebab informasi yang ditampilkan telah melalui berbagai saringan, sumbernya resmi, dan institusi medianya memiliki alamat yang jelas dan bisa dihubungi.

”Tantangan yang amat besar bagi para guru yakni menekankan pentingnya mengakses sumber resmi dan kredibel, untuk dipergunakan para pelajar. Sebab internet berpotensi bahaya jika fenomena copas terjadi terus menerus, lalu menjadi kebiasaan yang akhirnya membentuk budaya,” terangnya.

Aturan yang agak keras harus diterapkan di sekolah dan perguruan tinggi, terkait kejujuran akademis. Pak Bonaventura menuturkan, di kampusnya para mahasiswa yang terbukti melakukan tindak plagiasi dalam membuat karya tulis, bakal digugurkan dan wajib mengulang suatu matakuliah.

“Pada masa koreksi terhadap karya tulis mahasiswa, saya melakukan googling untuk pengecekan. Saya ambil kata kunci dari karya mereka untuk dimasukkan dalam mesin pencari, kemudian mendeteksi apakah karya itu asli atau jiplakan,” tutur Bonaventura.

Dia menjelaskan, media literacy lebih pada membangun sikap kritis terhadap isi media, untuk menyaring informasi apa saja yang benar-benar berguna. Karena itu, internet harus digunakan secara bijak, yakni sebagai satu di antara alternatif untuk menelusuri sumber-sumber resmi yang lebih kredibel, misalnya mengakses perpustakaan online dari berbagai tempat.

Kepala Disdik Kalbar, Alexius Akim, mengaku cukup sering menerima keluhan para orangtua mengenai semakin canggihnya teknologi informasi. Ada orangtua yang meminta dia menerbitkan surat edaran untuk melarang siswa menggunakan telepon selular dan pergi ke warung internet.

“Waduh,  kalau dilarang menggunakan teknologi, mau jadi apa anak-anak kita. Justru yang paling penting adalah peran orangtua mengawasi aktivitas anaknya. Kita harusnya bangga jika sejak dini, anak-anak sudah melek teknologi,”  ujar Akim.

Anggota DPD RI, Maria Goreti, mengingatkan, masyarakat sadar media perlu ditumbuhkan mengingat era globalisasi mengakibatkan banjir informasi. Kemajuan teknologi informasi membuat seluruh dunia bagaiman sebuah desa global.

“Tidak jarang, orangtua heran akan perkembangan anaknya. Sadar atau tidak, sebenarnya telah terjadi pergeseran peran orangtua, karena diambilalih oleh media massa,” ujar Maria.

Panel diskusi menekankan, peran orangtua kembali harus digalakkan, untuk selalu mendampingi anak-anak dalam menyikapi belantara informasi yang tiada batas. Sebab, sikap jujur dan kreativitas harus telah ditumbuhkan sejak usia dini. (*)

SEVERIANUS ENDI

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun