Saya akan menggambarkan betapa indah dan detail temuan itu, berdasarkan arca tiruan yang dibuat pada lokasi Goa Seplawan. Siwa dan Parwati digambarkan berdiri di atas padmasana dengan sikap samabhanga. Tangan mereka saling berpegangan, sedangkan satu tangan yang lainnya dalam sikap waradamudra. Mereka dibalut kain dengan simpul di bagian belakang membentuk kelopak bunga. Kepala mereka berhiaskan jatamakuta, kundala, hara, keyura, kangkhana, udarabhanda, dan katisutra.
Di belakang kepala mereka terdapat sirashchakra, atau saya menyebutnya godly halo, ketika menjelaskan tentang lingkaran cahaya di kepala tokoh suci kepada gadis-gadis kecil kami di rumah Masing-masing dinaungi chattra. Saya memperhatikan bahwa chattra tersebut memiliki tangkai yang direkatkan pada sirashchakra dengan teknik patri.
Dengan demikian Goa Seplawan dan hamparan Perbukitan Menoreh telah merekam geliat masyarakat lampau yang mendiami gua-gua batu yang sering dianggap sebagai gaya hidup yang paling tertinggal, namun di waktu yang sama juga merekam hasta karya manusia dalam teknik pembuatan arca bernilai seni tinggi.
Hanya sepelemparan batu dari mulut Gua Seplawan terdapat reruntuhan candi berbahan dasar batu putih. Reruntuhan itu nyaris tak dapat dikenali. Yoni putih yang ada di sana menjadi penanda bahwa tempat itu dahulu menjadi tempat pemujaan bercorak Hindu.
Yoni itu terbuat dari batu kapur yang saya duga berasal dari stalagmit atau stalaktit di dalam Gua Seplawan. Masyarakat menyebutnya, Candi Gondoarum. Gondo adalah bunga dan arum adalah wangi. Seperti memori masyarakat yang merekam aroma wangi ketika yoni tersebut dipindahkan ke pondok penampungan.
Tampaknya tempat ini telah menjadi tempat pemujaan berkelanjutan bagi masyarakat di masa lalu. Dari kedalaman gua yang gelap, seperti halnya para Jain di masa silam, berlanjut ke kuil sederhana di bentang kaki perbukitan Menoreh. Semoga segala bentuk kearifan dan kekayaan batin juga berkelanjutan sampai hari ini. Dalam hidup saya, juga anda