Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan

Tak Selamanya Kerja Keras Berbuah Manis

16 Juni 2014   00:18 Diperbarui: 20 Juni 2015   03:35 32 0


Tak selamanya pendampingan terhadap anak korban kekerasan seksual berjalan sesuai dengan harapan kita. Banyak halangan dan rintangan yang seringkali menghambat langkah kita. Yang kadang kala menggugat ketulusan kerja kita.





Kali ini, Saya ingin berbagi kisah pendampingan anak korban kekerasan seksual yang menurut saya ‘gagal’.


Tidak enak memang mendengarnya, apalagi  merasakannya. Perasaan bercampur baur antara  marah, kasihan, kecewa, sedih, kesal,  dll. Pokoknya semua perasaan itu bercampur menjadi satu. Yang akhirnya, perasaan saya pada hari itu ‘saya merasa gagal dan sangat tidak produktif’. Galau biasanya melanda dan saya suka menumpahkannya dalam bahasa yang saya samarkan dalam tweet saya, tapi tetap saya jaga rahasia setiap aktor yang terlibat di dalam kasus tersebut.


Saya biasanya mendapat informasi awal sebuah kasus kekerasan dari berita di media. Setelah kejadian itu saya segera berusaha mencari tahu dimana alamat lengkap dari korban.


Setelah saya dapatkan alamat korban, saya pun mencari tahu lebih detail alamat tersebut dari teman-teman saya para TKSK (tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan). Karena mereka sangat menguasai wilayah masing-masing di tiap kecamatan.


Setelah mendapatkan alamat yang lengkap, saya segera hunting memburu alamat rumah korban. Kali ini saya mendatangi rumah seorang anak yang menjadi korban kekerasan seksual yang dilakukan lebih dari satu orang, dan mereka rata-rata masih anak-anak. Beritanya cukup menghebohkan wilayah setempat dan juga secara nasional.


Saya datang ke rumah korban setelah beberapa hari kejadian.


Ketika saya tiba di rumah korban ternyata korban tidak tinggal dengan orang tuanya, melainkan dengan kakek nenek nya yang keduanya sudah berumur di atas 75 tahun.


Saya disambut dengan sangat baik oleh kakek dan nenek korban. Mereka senang menerima kehadiran saya, yang paling tidak mewakili lembaga milik pemerintah setempat.


Sebut saja nama korbannya adalah Bunga. Bunga masih duduk di kelas 1 sebuah SMP Negeri (bisa dibayangkan bahwa Bunga bukan anak yang bodoh, karena bisa masuk di sekolah  negeri yang persaingan masuknya sangat ketat). Kakek dan nenek bunga menerima saya dengan tangan terbuka. Mereka menceritakan tentang masa kecil Bunga, mereka perlihatkan foto-foto Bunga pada saya. Mereka ceritakan bagaimana mereka berdua merawat Bunga dan sulitnya mendidik ‘anak zaman sekarang’, begitu kata mereka.


Saya kemudian minta berkenalan dengan orangtua korban dan yang muncul kemudian adalah ayah korban.


Ketika saya katakan bahwa saya datang dari lembaga perlindungan anak, kakek dan nenek korban sangat senang dan sangat berharap agar cucu mereka bisa didampingi dan  dibantu pemulihan psikologisnya.


Berbeda dengan sikap yang dimunculkan oleh ayah Bunga. Sikap Ayah Bunga cenderung defensif. Ketika saya berusaha menanyakan tentang anaknya, ia lebih banyak menghindar dan tidak mau terbuka. Bahkan ketika saya ingin bertemu pun Ayah bunga tidak mengizinkannya. Ia bilang Bunga sedang diungsikan disuatu tempat, agar tidak ada wartawan yang datang meliput anaknya. Benar sekali langkah yang sudah diambil Ayah Bunga, kalau ini saya sangat setuju.


Saya sebenarnya ingin sekali bertemu dengan Bunga, karena saya sangat prihatin dengan kejadian yang dialaminya. Bunga mengalami perkosaan oleh lebih dari 6 anak (rata-rata masih duduk di bangku SMP, meskipun ada juga anak yang putus sekolah turut memperkosa bunga). Pasti kondisi psikologisnya pun akan sangat terguncang, paling tidak ia butuh seseorang yang bisa mengerti dia.


Apa yang saya utarakan sangat didukung oleh kakek dan neneknya. Mereka berdua sangat ingin saya bisa mendampingi cucunya dan membantu bunga dalam pendampingan psikologisnya.


Yang patut menjadi keprihatinan saya adalah bahwa kedua orangtuanya sudah bercerai, ibunya sudah menikah lagi dan berada jauh di provinsi lain, sedang ayahnya sudah menikah lagi dan tinggal di kota yang berbeda dengan bunga. Kadang-kadang di akhir pekan Bunga menginap di tempat tingal ayahnya.


Sejak kecil Bunga diasuh oleh kakek dan neneknya. Keduanya sangat sayang dengan Bunga. Namun, tentu saja sangat bisa dimaklumi kalau kedua orang kakek dan nenek Bunga ini tidak bisa maksimal mengawasi Bunga. Kerentaan mereka saja sudah menjadi alasan tersendiri. Menurut saya mereka adalah dua  orangtua yang justru harusnya tidak lagi dibebani dengan merawat anak. Mereka sendiri sudah mengalami banyak keterbatasan dalam merawat diri mereka sendiri .


Ketika saya tidak diizinkan bertemu dengan Bunga. Saya pun segera mencari solusi lain. Saya mulai berpikir strategi apa agar para orang dewasa disekitar Bunga bisa efektif membantu . Karena saya tahu support sistem dari orang-orang terdekat akan sangat membantu pemulihan kondisi Bunga.


Saya kemudian menjelaskan apa saja yang sebaiknya dilakukan oleh orangtua korban kekerasan seksual.  Saya juga mengingatkan hal-hal yang sebaiknya menjadi perhatian agar jangan sampai ada hal-hal yang tidak diinginkan terjadi pada Bunga.


Sebelum saya pamit pulang, saya kembali menawarkan bantuan saya untuk bisa mendampingi Bunga. Ayahnya sempat meminta saya untuk datang ke tempat Bunga dititipkan sekarang, yang dia sebut berada di luar kota. Saya pun menyanggupinya, karena saya tahu persoalan yang dihadapi oleh Bunga sangat berat untuk anak berusia 13 tahun. Saya berkomitmen untuk mendampinginya, membantu dan menolongnya.


Saya menitipkan nomor telpon yang bisa dihubungi seandainya ayah Bunga menghendaki saya menemui anaknya. Saya pun menyimpan nomor kontak keluarga Bunga.


Saya tidak bisa berbuat banyak untuk melanjutkan proses pendampingan terhadap Bunga kecuali hanya menunggu dan menunggu.


Hingga lewat beberapa hari. Hampir masuk satu pekan, belum juga ada kabar dari keluarga Bunga. Saya pun berinisiatif untuk menelpon rumah kakek Bunga.


Yang menerima telpon kakek bunga langsung. Beliau sempat ungkapkan bahwa sebenarnya beliau ingin sekali saya bisa mendampingi cucu nya. Namun, ia dan istrinya tidak bisa berbuat banyak ketika Ayah Bunga sudah memutuskan sikapnya. Ia pun sama seperti saya hanya bisa menunggu.


Waktu pun terus berjalan..tidak ada telepon dari ayah Bunga..


Saya merasa sedih dengan sikap ayah Bunga. Namun, saya pun menyadari, saya hanya seorang relawan anak yang  tidak punya hak untuk memaksa ayah Bunga. Saya tidak bisa memaksa ayah Bunga  untuk  kooperatif dalam mengatasi permasalahan anaknya.


Kalau sudah seperti ini saya hanya bisa bersedih..sekaligus bingung...mempertanyakan “dimanakah letak Undang-Undang Perlindungan Anak bisa saya pakai?”.


Akhirnya.. dari kisah pendampingan yang gagal ini.. saya hanya bisa berdo’a


....Semoga Bunga menjadi lebih baik....
Tulisan ini dimuat juga di blog saya : ena-nurjanah.blogspot.com

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun