Namun ternyata ada yang tidak menyukai aktivitas para mahasiswa tersebut. Salah satunya adalah seorang pengemis yang biasa mangkal di perempatan jalan itu. Wajahnya masam setiap kali ada orang yang memberikan sumbangan untuk Gaza. Pengemis itu menjadi lebih geram karena orang-orang yang lewat tidak peduli pada dia yang menengadahkan tangannya dengan sikap memelas. Mereka lebih memilih mengisi kotak-kotak yang disodorkan penggalang dana Gaza. Merasa dirugikan oleh kegiatan ini, ia kemudian mendatangi para mahasiswa.
Dengan suara kasar pengemis itu mulai protes, "Ngapain cari sumbangan untuk orang lain. Gak usah ngurusin yang jauh, yang dekat aja banyak yang susah!"
Salah seorang mahasiswa menjawab, "Dari dulu kita memang banyak yang susah karena kita negara besar. Tapi kita harus bantu Palestina, karena mereka adalah saudara kita. Bapak seharusnya tahu, bahwa Palestina adalah negara pertama yang mengakui kemerdekaan kita. Kita berhutang budi pada Palestina."
Pengemis itu tidak mau mendengarkan penjelasan mahasiswa tersebut. Ia tetap bersikeras dan 'nyerocos' tidak karuan. Sepintas, apa yang dikatakan pengemis itu memang benar. Namun kenyataannya, menurut pengamatan salah seorang warga yang tinggal tak jauh dari tempat itu, si pengemis bisa mengantongi uang hingga jutaan rupiah dalam sehari, di bulan Ramadhan.
Jelas permasalahannya adalah karena merasa lahan rejekinya direbut orang lain, pengemis itu melakukan protes. Dengan adanya kegiatan mahasiswa menggalang dana untuk Gaza, ia tak bisa meraup rejeki sebanyak-banyaknya. Padahal para mahasiswa hanya akan melakukan kegiatan tersebut selama beberapa hari, sedangkan dia telah mengemis di sana sejak lama. Keserakahan telah menguasai jiwa pengemis itu. Ia tidak ingin berbagi dengan siapa pun dan dengan alasan apa pun.
Inilah salah satu potret kehidupan masyarakat Indonesia. Di satu sisi, orang Indonesia sangat pemurah sehingga menyuburkan profesi pengemis. Kemiskinan dimanipulasi untuk mereguk penghasilan orang lain. Kalau sudah terbiasa mendapatkan segala sesuatu dengan mudah, ia tidak mau bersusah payah. Karena itu kita melihat bahwa pengemis enggan berganti profesi. Kita perhatikan, di setiap perempatan atau sudut jalan, orang yang mengemis adalah orang yang sama selama bertahun-tahun. Pengemis tingkat tinggi adalah orang-orang yang berada dalam lingkup birokrasi, dengan deretan meja yang direkayasa. Memang kita butuh revolusi mental untuk meminimalisasi pengemis dalam berbagai bentuknya.
(Sementara itu, sekarang di perempatan Pemda Cibinong ada sekelompok orang dewasa yang menyodorkan kotak atas nama Gaza. Mereka tidak jelas asal-usulnya dan tanpa atribut organisasi. Saya kuatir mereka adalah jenis pengemis yang lain)