Judul : Celah Cinta
Penulis : Empong Nurlaela
Suara notifikasi terus berbunyi di ponsel Mas Agus, hingga mengalihkan niat awal tidurku. Mungkin suamiku itu lupa mematikan data selulernya. Dengan sigap aku mengambil benda pipih yang tergeletak di atas meja.
Kubuka aplikasi chat berwarna hijau. Ada lima pesan belum terbaca dari akun yang bernama Rendi. Entah mengapa, naluri kewanitaan mendorongku membuka pesannya.
Aku terkesiap begitu mengetahui pesan bernada kecewa pada Mas Agus karena lama tidak mendapat balasan. Debaran jantung bertambah kencang ketika mendapati dua pesan Mas Agus yang mungkin belum sempat terhapus, karena, tidak ada pesan lain lagi sebelum itu. 'Rianti Sayang, lagi ngapain.' Aku mencebik membaca kalimat tersebut. Setelah lima tahun menikah Mas Agus masih tetap memanggilku dengan sebutan sayang. Ternyata panggilan sayangnya itu, bukan hanya untukku saja.
Darahku semakin mendidih begitu keduanya saling mengucapkan kata kangen. Aku tak bisa menunggu lebih lama lagi memendam emosi yang kian membuncah. Refleks tanganku memukul meja dengan sangat keras.
Mas Agus yang sedang tertidur pulas terperanjat kaget. Dia menger japkan mata, lalu melihat ke arahku.
"Ada apa ini, Dek?" tanyanya heran.
Aku memberikan handphone pada Mas Agus dengan kasar, kemudian meniup tangan kanan yang merah dan sakit.
"Buka Mas, chat dari si Rendi ups! Sorry Rianti-mu yang gelisah menunggu balasan!" titahku sinis, sambil mengerakkan bibir ke samping kiri dan kanan.
Mas Agus terperangah. "I-ini tak seperti yang dipikir kanmu, Dek."
"Lantas, sekarang Mas tahu apa yang aku pikirkan?" de sis ku sembari mengusap air mata yang mulai menganak sungai.
Mas agus memelukku, sembari meminta maaf berulang kali. Aku meronta berusaha lepas dari dekapannya. Rasanya tak sudi berada dekat dengan pria pengkhianat itu. Namun, tangan kekar Mas Agus mengunci tubuhku.
"Lepaskan Mas! Mau kamu apa sebenarnya?" Aku semakin kehilangan kontrol diri.
"Dengarkan dulu penjelasan Mas!" jawab Mas Agus. "Mas mohon!" imbuhnya memelas.
Aku diam terkulai dalam pelukan Mas Agus. Dia melerai pelukannya, kemudian menutup wajahnya. Isakan Mas Agus terdengar jelas.
"Maafkan Mas! Mas khilaf, Dek." Mas Agus kembali meminta maaf.
Aku tertegun. Baru kali ini, aku melihat air mata Mas Agus. Mungkinkah, itu air mata buaya?
Dengan suara serak, Mas Agus melanjutkan penjelasannya. Dia bilang, hubungannya dengan Rianti sebatas di whatsapp. Bahkan lelaki bermata teduh itu memberikan ponselnya padaku dan berjanji tidak akan menghubungi lagi mantan pacarnya itu.
***
"Apa? Suami Mbak Dinar seling kuh?" Ustazah Halimah terbelalak, seolah-olah tidak percaya dengan p e nu tu ran ku.
"Iya Ustazah, saya juga tidak menyangka. Mas Agus mengirim chat mesra pada mantan pacarnya." Wajahku mulai memanas. Air mata yang sejak tadi ku ben dung, akhirnya meluap membanjiri pipi.
Sengaja, aku mencurahkan hati yang gundah pada Ustazah Halimah, setelah pengajian selesai dan Jemaah pulang. Aku yakin pimpinan majelis pengajian ibu-ibu itu bisa memegang amanah dan memberi solusi untuk masalahku kali ini.
"Hati saya s a ki i i t. Saya tidak tahu harus bagaimana, Ustazah?" lan jut ku sembari memegangi dada yang terasa sesak.
"Yang sabar ya, Mbak Dinar! Mungkin ini ujian buat rumah tangga Mbak." Wanita berjilbab lebar itu mengelus punggungku, seolah-olah memberi kekuatan.
Ustazah halimah, menghela napas dalam, lalu melanjutkan wejangannya. Dia bilang aku harus banyak beristighfar dan memohon ampun kepada Allah. Tentu saja aku kaget. Mengapa harus aku yang mohon ampun, bukankah yang bersalah Mas Agus?
Ustazah Halimah juga bilang, kalau segala ujian yang telah menimpaku, bisa jadi pengingat diri akan dosa-dosa yang tidak disadari. Selain itu, aku harus banyak berdoa memohon keutuhan rumah tangga dan dihindarkan dari segala godaan.
Kalimat yang Ter lun cur dari bibir Ustazah Halimah bak embun pagi menyirami panasnya hati. Aku sadar, selama ini terlalu lalai dalam mengingat Sang Maha Kuasa. Mungkin, ini semua teguran dari-Nya, karena ibadahku hanya sebatas menunaikan kewajiban.
***
Hari berganti, hingga satu minggu berlalu, aku mencoba menata rasa, meskipun harus tertatih dan merintih. Bayangan hitam tentang hubungan Mas Agus dan Rianti masih selalu membuntuti.
Bunyi dering ponsel Mas Agus membuatku urung menyematkan peniti pada kerudung. Tertera nomor tidak dikenal di layar lima inci itu. Dengan penuh penasaran, aku mengangkat telepon. Terdengar suara gelagapan seorang wanita setelah aku mengucapkan salam.
"Rianti! Aku mohon, mulai detik ini, jangan mengganggu suamiku!" Aku langsung menebak si pemilik suara sembari menahan emosi yang mulai meluap.
"Aku tidak mengganggu suamimu, ya! tapi, dia sendiri yang menggangguku." Jawaban sinis tersebut membuktikan bahwa benar pemilik suara itu adalah Rianti.
"Tapi, Mas Agus tidak akan terus meng g0damu, jika tidak dibalas olehmu!" desis ku sambil menggigit bibir bagian bawah, berusaha tidak berkata kasar pada wanita penggoda itu.
Rianti meracau tidak jelas. Dia balik menye rang ku dengan cacian. Bahkan, mantan pacar Mas Agus itu m e nga tai ku bahwa wanita yang takut suaminya direbut adalah perempuan yang ragu untuk laku kembali.
Ingin rasanya aku membalas dengan serapah yang sama. Namun, kalau dilayani, apa bedanya aku dengan Rianti. Dengan sigap aku menutup telepon, lalu memblokir nomor tersebut.
Cacian Rianti terus terngiang di telinga, memberikan motivasi kepadaku untuk mempertahankan rumah tangga.
"Siapa yang menelepon, Dek?"
Aku terkesiap. Ternyata Mas Agus sudah pulang dari jogingnya. Mudah-mudahan dia tidak mendengar percakapanku dengan Rianti.
"Enggak tahu Mas, ini salah sambung!" Aku terpaksa berbohong, karena takut emosi tersulut lagi, jika bercerita tentang Rianti.
"Oh ... Mas tunggu di mobil ya, Dek!"
Aku mengangguk, kemudian melangkah mengikuti Mas Agus.
Hari ini, kebetulan Mas Agus libur bekerja. Jadi, lelaki penyuka olahraga itu bisa mengantarku ke aula kecamatan untuk mengikuti seminar pendidikan. Sejak masalah itu, dia bertambah sayang dan perhatian terhadapku. Mungkin, Mas Agus ingin mengambil hatiku lagi.
Sampai di aula kecamatan, Mas Agus pamit pulang dan berjanji akan men jem put ku kembali setelah seminar selesai. Aku mencium tangannya, lalu melangkah memasuki ruangan.
"Kamu Dinar, 'kan?" Tiba-tiba seorang lelaki bertubuh tinggi menghalau langkahku. Aku mengerutkan kening mencoba mengingat pria yang begitu familiar.
Debaran jantung berpacu lebih kencang, setelah menyadari pria di hadapanku itu adalah mantan pacarku. "Mas Andi, Kok Mas, ada di sini?" tanyaku heran.
"Iya, aku Andi. Syukurlah kamu masih ingat. Aku sudah seminggu mutasi ke daerah ini. Enggak nyangka bisa ketemu kamu," jelasnya sembari melempar senyum.
Aku berusaha menguasai hati yang tiba-tiba di penuhi bunga bermekaran. Ucapan Ustazah Halimah kembali terngiang. Seketika aku menunduk menyembunyikan rasa yang seharusnya telah menghilang.
"Dinar, kok kamu melamun." Suara Mas andi membuatku mendongak.
Aku menggelengkan kepala, lalu pamit ke dalam untuk menduduki kursi paling depan dengan alasan ingin lebih konsentrasi menyimak materi. Tanpa menunggu jawaban Mas Andi, Aku bergegas memasuki ruangan, tidak peduli dengan tanggapannya mengenai sikapku yang aneh.
Sambil menunggu seminar dimulai, aku tak berhenti beristighfar sembari Memohon perlindungan Allah dari segala godaan yang bisa menghancurkan kokohnya bangunan cintaku dan Mas Agus. Tak terasa bulir bening berjatuhan membasahi pipi. "Mas Agus, maafkan aku," bisikku lirih.