Bingkisan pertama, sebuah buku yang berjudul "Merayakan Cinta", menarik perhatianku. Dari sampulnya yang bergambar dua cincin saling bertautan, aku menebak isinya tentang seputar tata cara menjalani pernikahan.
Aku menghela napas dalam. Seandainya pernikahan ini layaknya sepasang kekasih yang melabuhkan cinta, mungkin aku akan semangat membaca buku tebal itu.
Di bawah buku, sebuah kerudung bermerk dengan motif garis-garis masih terkemas rapi. Jujur jilbab segi empat berwarna dasar biru muda itu, menjadi impianku sejak lama. Harganya cukup menguras isi dompet, membuatku berpikir panjang untuk memilikinya. Bisa memakai KW-nya saja, aku sudah bersyukur.
Supaya tidak mengecewakan Alif, aku mencari baju atasan yang cocok dengan kerudung. Aku memakainya, kemudian mematut diri di cermin. Netraku fokus pada bulatan hitam seperti mata panda. Mungkin, karena seminggu belakangan ini aku tidak bisa tidur.
"Oyok, sudah belum dandannya?" teriak Emak dari luar.
Sudah, Mak," sahutku.
"Cepetan atuh keluar, kasihan si Abang menunggu lama."
"Iya, Mak Tiara ngemas dulu pakaian."
"Emak bantuin ya!"
"Nggak usah, Mak. Sebentar juga beres," jawabku sembari memasukkan pakaian ganti dan barang pribadi ke dalam koper.
Sekilas mataku menangkap guling. Aku tersenyum.
Setelah dirasa beres, gegas aku keluar. Alif sepertinya terkesiap melihatku.
"Kerudungnya cantik, adikku Keyla memang pintar memilihnya," bisik Alif begitu aku tepat di sampingnya.
Aku menggilirkan mata ke samping, sambil sedikit mengerucutkan bibir.
Dasar Alif! Malah kerudungnya yang dibilang cantik.
"Aeh-aeh nanaonan (apa-apaan) kamu teh, Oyok! Bawa guling segala." Emak mengambil guling dari tangan kiriku.
"Siniin, Mak. Itu buat senjata Tiara." Aku menyenderkan koper di dinding depan rumah, hendak mengambil guling dari tangan Emak.
"Senjata naon maksudna, Yok? (Senjata apa maksudnya, Yok?)" Emak mengernyitkan dahi.
"Tiara nggak bisa tidur kalau nggak meluk guling ini, Mak," jawabku mencoba memberi alasan yang mudah dimengerti Emak.
Alif membawa koperku dan memasukkannya ke bagasi mobil. Bapak menjinjing kardus yang berisi makananan olahan kampung, lalu memberikannya pada Alif.
"Ini Bang, diterima ya! sae mah heunte hatur lumayan! (ini tidak bagus tapi lumayan)!"
Alif mengaguk dan mengucapkan terima kasih, kemudian menutup pintu bagasi kembali.
"Sebentar Bang, ini nanas simadu. Insyaa Allah dijamin manis, semanis yang bawanya!" seru Mang Kardi sambil setengah berlari menghampiri Alif. Tampak di kedua tangannya lima buah nanas yang berwarna kuning.
"Jangan percaya, Bang! Kalau si Mamang yang bawanya, nanasnya jadi asam," timpal Bik Nenih sambil tertawa.
"Ah, kamu mah haseum (asam) juga tetep doyan, 'kan." Mang Kardi mengedipkan sebelah matanya ke arah Bik Nenih.
Para tetangga yang menyaksikan tingkah lucu Mang Kardi pun ikut tertawa, sementara itu aku baper melihat tingkah mereka.
Alif membuka kembali bagasi mobilnya, kemudian memasukkan nanas ke dalamnya.
Setelah dirasa selesai, aku menghampiri Emak dan Bapak. Aku mencium tangan keduanya dengan takzim. Emak memelukku erat. Tangisnya pecah ketika kepalaku terbenam di dadanya.
Emak mengurai pelukan lalu mencium keningku. Bapak mengusap punggungku sembari berkata, "Sing nurut ka suami nya,Yok! Bapak selalu mendoa'kan Oyok, cing bahagia."
Aku mengangguk. Sekilas netraku menagkap bola mata Bapak yang basah. Entah mengapa kaki ini terasa berat untuk melangkah. Rasa sayang dan khawatir mengalahkan kecewa yang masih tertanam di dalam dada.
Selanjutnya aku melangkah menuju Oma Nenah. Tampak beliau sedang memeluk Alif. Aku berdiri di samping mereka dengan canggung