Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerbung

Kabur di Malam Pernikahan (Part 4)

18 November 2024   12:00 Diperbarui: 18 November 2024   12:32 92 4

Part 4

Alif terus mendekatiku, sampai tiada jarak di antara kami.
“Mau ngapain? Jangan deket-deket, Bang!” Aku membalikkan badan ke tembok.
“Kamu ini kenapa sih Tiara? Orang mau ngambil air, haus tahu!” Tangan Alif meraih gelas di atas nakas—tepat di sampingku.
Aku membalikkan badan kembali, lalu melirik Alif yang sedang minum, hingga air di dalam gelas tandas. Wajahku sepertinya memerah mrnyerupai tomat. Mau menutup muka, nanti ketahuan geernya.
Tunggu … tunggu … jangan-jangan ini hanya akal-akalan Alif saja. Bisa jadi ‘kan … dia pura-pura mengambil air setelah tadi disuruh menjauh.
“Ck! Pinter juga kamu, Bang. Pake pura-pura ngambil air.”
“Ya udah kalo nggak percaya, nih tolong simpan gelasnya!” titahnya sambil menyodorkan gelas ke arahku. Aku mengambil benda yang terbuat dari beling itu, lalu menyimpannya dengan kasar sampai terdengar bunyi entakkan yang cukup keras.
“Duh … yang nggak sabaran, sampai buru-buru begitu.” Alif mengedipkan mata sebelah. Aku bergidik geli.
“Jangan macam-macam ya, Bang! Aku teh masih baik sama kamu, karena kamu itu temanku.”
“Jadi, kalau aku bukan temanmu, kamu mau ngapain aku?” Alif menaikkan alis sebelah.
Ih, Alif jadi nyebelin deh.
“Mau aku lipat terus aku masukin ke lemari, puas!” desisku sekenanya.
“Asyik dong jadi pakaian. Biarin deh jadi lapisan yang terluar juga, asal nempel di badan kamu,” ucapnya sambil terkekeh.
Aku melemparnya dengan bantal bertubi-tubi. Alif mengaduh sambil menahan seranganku dengan kedua tangannya.
“Oyok … tong Tarik teuing heureuyna, Era ku tatangga (oyok, jangan terlalu kencang mainnya, malu sama tetangga!)” Suara Emak disertai cekikikan dua orang di luar, membuat kami terdiam.
“Tuh kan, Emak pasti salah paham.” Aku memelankan suara sambil menunjuk ke arahnya.
“Biarin, Emak kamu tahu kalau anaknya galak di ranjang.” Alif makin mengejekku.
Tak puas melempar bantal, aku menimpuk Alif memakai guling. Kali ini dia berkelit. Sigap tangan kekar itu meraih benda empuk itu dari peganganku, hingga aku terhuyung hilang keseimbangan dan terjatuh tepat di atas badan lelaki bertubuh atletis itu.
Tak sengaja mataku bertemu dengan netra teduhnya. Entah mengapa? Tiba-tiba aku ingin mencari alasan dia menikahiku di balik manik hitamnya. Namun, detak jantungku menjadi tidak beraturan.
“Ehem.”
Mendengar suara deheman Alif membuatku tersadar tempatku berada kini. “Kamu teh  cari-cari kesempatan, ya?”
“Yang cari-cari kesempatan, siapa? Bangun dong! Berat nih.” Alif meringgis sok tersakiti.
Dengan malu-malu kucing aku bangkit. Benar juga aku yang menindihnya, sementara itu tangan Alif terlentang tidak memelukku seperti adegan di film-film.
Tapi … apa iya aku berat? Orang aku langsing kok.
 Seandainya ada sofa, pasti aku lebih memilih tidur di sana. Sayang … kamarku akan lebih sempit dengan adanya sofa. Tadinya berniat tidur di bawah. Namun, udara dingin pegunungan membuatku harus menyusun strategi dengan menyusun banta-bantal sebagai sekat.
Alif mengedikkan bahu melihat aksiku, lalu mengulum senyum.
“Maaf ya Tiara, aku nggak bisa menunaikan hakku malam ini!  Besok-besok aja ya! Aku capek mau istirahat,” ujar Alif sambil merebahkan tubuhnya di atas kasur. Terdengar helaan napasnya yang panjang. Sepertinya benar dia sangat kelelahan.
“Bagus deh, semoga besok-besok teh kamu capek terus,” sungutku sambil merebahkan diri.
Lo kok dia nggak menjawab?
Aku memiringkan badan ke samping, tampak Alif tertidur pulas. Dengkuran halusnya mulai terdengar.
Rasa bersalah kembali menyeruak membuat sesak dalam dada, ketika memandang wajah teduhnya.
Maafkan aku Bang! Aku tak ingin terjatuh dalam perangkap harapan maya. Aku tahu, kamu melakukan ini hanya untuk menolongku.
***
Kumandang azan Subuh melaui pengeras sura masjid di dekat rumahku terdengar nyaring di telinga. Aku menarik selimut kembali, lalu melanjutkan tidur.
“Oyok, bangun atuh ini teh sudah Subuh! Nggak biasanya kamu susah bangun.” Emak mengguncang-guncang tubuhku.
Aku menggeliat malas. “Sebentar lagi, Mak. Tiara masih ngantuk. Lagian Tiara nggak enak badan.”
“Ya, lumrah atuh panganten baru mah, Emak juga dulu kitu. Ayo bangun cepetan mandi! Si Abang sudah dari tadi ke masjid bersama Bapak.”
Aku mengerjapkan mata berusaha menghalau kantuk, lalu menengok ke sebelah kiri. Benar juga Alif sudah tidak berada di sampingku.
***
Setelah mandi dan melaksanakan salat Subuh, aku langsung ke dapur berniat membantu Emak. Aroma harum masakan menguar ke seluruh ruangan. Tangan cekatan Emak membumbui masakan lalu mengaduk-ngaduknya , menghasilkan sura harmoni antara sudip dan penggorengan.
Sepertinya Emak menyadari kehadiranku. Beliau menoleh lalu berkata, “Sudah, nggak usah membantu Emak, nanti bau bawang. Kamu ke kamar saja tungguan suami kamu pulang! Sebentar lagi Bik Nenih datang ke sini.”
“Ya udah, Tiara bantu beres-beres rumah aja ya, Mak?”
Emak mengaguk. Aku berlalu dari dapur hendak mengambil sapu. Biasanya sebelum Subuh aku sudah beres-beres rumah. Namun, kali ini aku benar-benar merasa lelah. Tak hanya raga, melainkan seonggok daging di dalam dada.
Ucapan salam dari luar membuatku urung mengayunkan sapu. Aku menjawab salam sembari membuka pintu. Tampak Bapak dan Alif berdiri di depan pintu. Aku terkesiap melihat wajah putih Alif yang bercahaya. Kokok putih berpadu dengan sarung hitam menambah sejuk di pandang. Mungkin tadi Alif ke rumah Oma Nenah dulu mengganti baju.
“Oyok, malah bengong … suruh masuk atuh Bapak dan si Abangna!” titah Emak di belakangku.
“I-iya, Mak,” ucapku terbata.
Emak menuntun Alif ke ruang tengah, sementara itu Bapak mengekor mengikuti keduanya. Aku masih mematung di dekat pintu. Segitunya perlakuan Emak dan Bapak sama menantu penggantinya itu. Anak semata wayangnya dibiarkan terus berdiri.
Ck! Emak … Bapak … aku masih putrimu ‘kan?
(Bersambung)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun