Mohon tunggu...
KOMENTAR
Filsafat

Jurus Maut Mbah Dj

19 Agustus 2010   02:01 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:54 152 0
Saya mengenal perempuan ini sejak 29 tahun lalu. Dia nenek saya. Dia menyekolahkan ibu saya, Sri Mumpuni. Sri bisa bekerja, punya penghasilan cukup lalu menyekolahkan saya sampai sarjana. Saya rasa nenek menjadi inspirasi, bahan bakar bahkan lilin yang membakar dirinya sendiri agar menjadi terang bagi sekelilingnya.

Hampir setengah abad lalu perempuan ini teriris hatinya. Suaminya dibunuh. Anaknya sembilan. Si sulung masih SMA. Si bungsu dalam kandungan

Perempuan renta ini tidur-tidur ayam. Dia mengeluh badannya dingin semua. "Penyakit tua le," katanya. Dia menjulurkan salah satu kakinya ke lantai. Tangannya memeluk guling. Kadang-kadang dia mengipas tubuhnya. Rumahnya yang beratap tinggi membuat suhu ruangan tidak terlalu tinggi.

Veronika Saminten, 84 tahun, perempuan dengan tinggi kurang dari satu setengah meter, tidak lulus Sekolah Dasar, wajahnya penuh kerutan, kulitnya coklat terbakar matahari, rambut putih, otot-otot yang mengendur dan tahi lalat di ujung hidung. Hati perempuan ini sekeras baja. Dia melawan anggapan bahwa anak janda kopen ora kajen alias terawat tapi tidak terhormat dengan kerja keras. Dia menolak menikah lagi. Niatnya hanya satu: menyekolahkan anak-anak yang dilahirkannya setinggi mungkin.

Saminten menikah dengan Agustinus Salamun Djayasudarsa, laki-laki berdada bidang, tingginya 170 cm, berkumis tebal, rambut cepak, perlente dengan tunggangan motor Hummel. Setelah menikah, seperti lazimnya perempuan Jawa, Saminten kehilangan namanya sendiri. Orang-orang memanggilnya dengan sebutan Bu Joyo. Belum genap 20 tahun usia pernikahan mereka, Djayasudarsa tewas.

Cucu-cucunya, generasi MTV, memanggil Saminten dengan sebutan Mbah Dj. Selain terdengar lebih modern, Dj ( disk jokey) dan Mbah Dj punya kesamaan: mereka akrab dengan piring. Bedanya, disk jokey memainkan piringan hitam di kelab malam, Mbah Dj memutar piring-piring kaca di bak cucian.

Kekuatan laki-laki dan keteguhan perempuan ada dalam dirinya. Dia menghadapi rentenir yang datang menagih uang. Dia datang kepada siapa saja yang bisa membantunya. Seringkali rentenir pulang dengan marah-marah karena Mbah Dj belum bisa membayar utang. "Saya bilang saya bayar kalau ada uang. Saya tidak pernah menipu siapapun. Pegang itu," kata Mbah Dj mengenang.

Mbah Dj punya tanah, ternak dan ladang peninggalan suaminya. Dia meniatkan dirinya untuk melepas semuanya bagi anak-anaknya. "Tanah seiris dijual buat masuk sekolah, besok seiris buat nyangoni (memberi uang saku), besok apa lagi. Begitu caranya," kata Mbah Dj menjelaskan. Tengkulak juga rajin menyambangi Mbah Dj. Mereka membeli buah pisang ketika masih muda lalu mengambil saat masak. "Yang penting saya jual sesuai kebutuhan. Pohon itu yang bikin ibumu jadi sarjana," katanya. "Untung dulu punya banyak."

"Saya tidak peduli kere bondo (miskin harta) yang penting anak-anak sekolah," katanya sambil bangkit dari tidurnya. "Kaya kalau anaknya bodo malah nyusahi. Mending kere tapi maju."

Ibu saya, Sri Mumpuni menyebutnya manajemen ala The Djoyo. Manajemen yang baik selalu punya visi dan misi yang jelas. Visinya: pendidikan menjadi tujuan utama. Pendidikan dianggap jalan terbaik untuk bebas dari kemiskinan. Misinya: mendata semua yang ada, dijual, untuk membiayai sekolah. Hanya rumah induk yang dipertahankan.

Anak-anaknya menyebutnya sebagai si ratu ngeyel (keras kepala). Benar. Dia "ngeyel" kepada siapapun untuk menembus kemustahilan. Termasuk kepada Tuhan. Setiap malam dia semedi. Dia mengurai rambutnya yang sepanjang pinggang sambil telanjang di teras rumah. Dia selalu meletakkan Heru, anak bungsunya di sampingnya. "Saya tutupi pake handuk badannya. Cuma kelihatan mukanya saja. Saya mohon kepada Tuhan supaya anak saya besok bisa sekolah. Bisa makan. Saya mohon. Saya mohon," katanya. " Saya bertahun-tahun berdoa dalam gelap. Saya beli minyak buat sentir saja tidak bisa."

Mbah Dj merasa doa menjadi kekuatannya. Anak-anaknya diberi kemudahan untuk sekolah. Dia berkisah, Emiliana Saptiningsih, anaknya yang nomer tujuh mendaftar di SMA Stella Duce I Yogyakarta. Saat itu ada lembar yang harus diisi. Salah satu pertanyaannya adalah besarnya uang sekolah yang mampu dibayar oleh siswa. Saptiningsih hanya mengisi Rp 1000. Dia diterima meskipun pada akhirnya harus menambah beberapa ribu rupiah. Padahal, tetangganya yang mengisi Rp 20.000 tidak diterima. "Mungkin itu berkah juga," katanya. " Untungnya anak-anak saya juga nerimo (menerima) kalau cuma makan nasi jagung. Kok ya hidup itu mudah sekali ya. Saya untung. Bener. Untung."

"Masak ngga pernah pengen bunuh diri mbah?"

"Mikir saja ngga," katanya. "Umur itu kesempatan le."

Saat ini Mbah Dj sedang menikmati hasil perjuangannya. Anak-anaknya berturut-turut dari yang tertua, Samini, Sri Mumpuni, Wid, Titik, Bambang (sudah meninggal), Junaedi, Saptin, Heri dan Heru sudah berhasil menjadi sarjana dan mandiri. Kehidupan mereka jauh lebih baik daripada Mbah Dj.

Mbah Dj merebahkan badannya di atas kasur pegas. Anak bungsunya, Heru Pranawa sedang menyelesaikan laporan dengan komputer jinjingnya. Cucunya, Anselmus, 9 tahun, menggambar seekor ikan hiu. Menantunya, Endang, menimang-nimang anaknya yang baru berusia beberapa bulan. Pengawal pribadi Mbah Dj, Wawa, seekor anjing teckel menungguinya di bawah tempat tidur.

Semangat Mbah Dj mengingatkan saya kepada penggalan sajak Hartojo Andangjaya.

Perempuan-perempuan yang membawa bakul di pagi buta, siapakah mereka. Mereka ialah ibu-ibu berhati baja, perempuan-perempuan perkasa

Akar-akar yang melata dari tanah perbukitan turun ke kota. Mereka cinta kasih yang bergerak menghidupi desa demi desa

Semoga semangatnya menular!

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun