Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Bapakku adalah Charlie Chaplin

24 September 2024   18:56 Diperbarui: 24 September 2024   19:01 80 1
Salah satu hal yang mengubah seseorang adalah perasaan kehilangan. Bapakku mengalaminya. Tepat setelah Ibu meninggal dunia setahun lalu, Bapak berubah menjadi sosok yang lain. Bapak ingin jadi Charlie Chaplin.

Bapak bukan komedian, bukan juga seniman panggung yang lain. Bapak bukan pemain teater, bukan pemain film ataupun seorang musisi. Bapak adalah buruh senior di pabrik yang memensiunkan dini dirinya ketika krisis moneter melanda. Tentu saja dengan tunjangan tak seberapa.

Kalau pun ada hal tentang Charlie Chaplin yang dekat dalam hidup Bapak adalah tumpukan kaset video berdebu yang tertata seadanya di bawah pemutar video yang sudah lama rusak --- hanya terdengar suaranya, tidak muncul gambarnya. Bapak mengoleksinya sejak sebelum menikah dengan Ibu. Hampir tiap malam Bapak memutar film hitam putih itu, Ibu selalu menemani, aku akan menyusul setelah pekerjaan rumahku selesai dikerjakan.

Kami selalu tertawa dengan tingkah polah Charlie Chaplin walaupun kami sudah menonton filmnya berkali-kali. Pernah suatu malam, Bapak menumpahkan teh hangat di cangkir luriknya karena terpingkal-pingkal. Ibu tidak marah, segera membereskan tumpahan teh dan membuatkan teh yang baru.

***

Ibu meninggal dunia karena tumor payudara, tidak lama setelah Bapak berhenti bekerja. Tunjangan tak seberapa dari pabrik digunakan untuk biaya pengobatan. Uangnya habis cepat seperti daun kering dilalap api. Berobat jalan belum setahun, uang tabungan sudah ludes. Sementara Bapak belum juga mendapatkan pekerjaan pengganti. Aku yang masih sekolah dasar waktu itu tidak berbuat banyak, selain menahan malu tiap kali dipanggil bagian Tata Usaha karena uang sekolah yang menunggak berbulan-bulan.

Hal terberat bagi Bapak dan aku saat itu adalah menyerah. Kemiskinan memaksa kami menyerahkan Ibu digerogoti tumor tanpa bisa berbuat apa-apa. Ibu yang menghendaki itu. Ibu tidak ingin menyusahkan kami. Ibu meninggal dengan tubuh kurus. Usianya belum genap empat puluh tahun saat itu.

***

Suatu sore Bapak menelpon ke kantor.

"Nak, nanti mampirlah ke toko.Tolong belikan Bapak topinya."

Itu permintaan ulangan. Kemarin dia minta dibelikan satu set jas dan kemeja mirip Charlie Chaplin, tanpa sepatu. "Sepatunya pakai yang itu saja." Begitu alasannya sambil menunjuk sepatu pantofel lamanya. Dan sekarang, dia minta dibelikan topi.

Sampai di rumah, dipakainya topi pesanannya. Sepanjang malam Bapak mematut diri didepan cermin lengkap dengan jas, sepatu dan topinya. Kumis khas Charlie Chaplin dibuatnya dari spidol hitam, nyaris tak kentara karena warna kulitnya sama gelapnya.

Setelah itu adalah hari-hari yang sibuk buat Bapak. Bapak mulai meniru Charlie Chaplin. Lebih tepatnya, melatih dirinya agar mirip dengan idolanya itu. Gestur saat dia berjalan, ekspresi saat dia marah, semua dilatihnya. Dan semakin hari memang semakin mirip.

Tidak berhenti sampai di situ, Bapak mulai tampil di acara-acara kampung. Dia tidak pernah absen mengisi panggung tujuh belasan, tahun baru ataupun hajatan lainnya. Pertunjukan sukarela, tanpa bayaran. Banyak yang mengapresiasi dengan tepuk tangan, lebih banyak yang menatap kasihan.

Sampai suatu ketika, kenalan Bapak yang bekerja di stasiun televisi lokal menawari Bapak mengisi salah satu acara di televisi itu. Semacam acara hiburan artis lokal. Aku menangkap wajah girang Bapak menerima tawaran itu. Dia juga minta dibelikan jas dan topi yang baru untuk keperluan acara televisi itu. "Yang lama sudah jelek, Nak," katanya dengan mengiba. Aku belikan. Lebih bagus dari yang lama.

***

Bapak tampil di acara televisi itu tidak lebih dari sepuluh menit dari durasi acara satu jam. Jauh hari dia sudah berpesan agar aku merekamnya kalau acaranya tayang.

Tiap malam ditontonnya rekaman itu dengan senyum mengembang. Paginya dia akan duduk di depan rumah, menghadang setiap orang yang lewat dan menunjukkan rekaman itu. Orang-orang itu banyak yang mengapresiasi dengan tepuk tangan, lebih banyak yang menatap kasihan.

***

"Bapak kenapa suka meniru Charlie Chaplin?"

Aku bertanya suatu malam. Bapak sedang membersihkan topinya.

"Kenapa kau tanyakan itu, Nak? Kau keberatan membelikan baju-baju itu?" Bapak balik bertanya.

"Sama sekali tidak, Pak. Impianku adalah membahagiakan Bapak." Aku terdiam sejenak, sebelum melanjutkan dengan suara berat. "Bapak tidak lihat orang itu menertawakan Bapak?"

"Itu berarti aktingku lucu, kan?" Bapak tertawa. Getir.

"Bukan menertawakan itu. Maksudku itu me-ner-ta-wa-kan." Aku menandaskan kata terakhir.

"Aku tahu itu. Dan aku tidak peduli!" Jawaban yang gusar. Dan dia meninggalkan percakapan itu.

***

Bapak tertidur pulas ketika aku masuk kamarnya. HP milikku tergeletak tak jauh di sampingnya. HP masih memutar rekaman dia tampil di televisi waktu itu. Ketika aku hendak mengambilnya, tanganku menyentuh selembar foto ukuran kartu pos. Wajah Ibu di foto itu. Ibu ketika masih sehat dengan senyum manisnya. Aku pandangi lama senyum itu, sebelum kualihkan pandanganku ke wajah Bapak. Bapak tersenyum dalam tidurnya. Senyumnya mirip sekali dengan senyum Ibu di foto itu.


Semarang, 2019


KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun