Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Anak, Dikasihi or Dikasari?

26 Juni 2013   17:44 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:23 845 1
Minggu pagi adalah waktu saya dan suami berbelanja beberapa kebutuhan rumah tangga bagi orang tua kami. Suatu waktu saat kami sedang berjalan, di depan kami ada seorang ibu yang sedang mendorong troli belanjaannya. Kemudian datanglah seorang anak kecil perempuan berambut keriting (mungkin usia 6-8 tahun) menjajari langkah si ibu. Ketika tiba disamping si ibu, tiba-tiba si ibu memukul mulut si anak dengan salah satu belanjaannya. Melihat kejadian tersebut, kami berdua terkejut sambil memandang satu dengan yang lain.

Lebih terkejut lagi ketika si ibu mengucapkan kata kotor kepada si anak sambil memukul kembali sehingga saking tidak tahan melihat perlakuan si ibu terhadap anak tersebut, saya menegur si ibu sambil menatapnya dengan tajam. Namun hanya sebentar saja terlihat malu, karena ketika naik travalator dan mungkin merasa saya tidak lagi memperhatikan, si ibu kembali menyentil anak tersebut beberapa kali seperti belum puas mengungkapkan kekesalan hatinya. Entah apa kesalahan anak ini hingga mendapatkan hukuman seperti itu.  Saya benar-benar tertegun melihatnya.

Kejadian tersebut menjadi bahan perenungan bagi saya dan teringat bagian puisi yang ditulis oleh Dorothy Law Nolte, Ph.D (Children Learn What They Live)


If children live with criticism, they learn to condemn.
If children live with hostility, they learn to fight.


Saat membaca bagian puisi ini, maka saya yakin bahwa orang tua manapun tidak menginginkan hal ini terjadi pada putra/putri mereka.

Setiap pasangan suami istri yang menginginkan buah hati, pasti berharap bahwa anak mereka akan menjadi seseorang yang berhasil/sukses, punya karakter yang baik (mau membantu orang tua, rajin, jujur , dstnya). Saat mendapatkannya, kebahagiaan melingkupi bukan hanya pasangan itu saja tetapi juga melebar ke keluarga besar bahkan diantara sahabat-sahabat dan teman.

Seiring dengan perubahan waktu, munculah persoalan-persoalan yang kemudian sangat tergantung dari kematangan emosi, pengetahuan dari orang tua atau orang-orang dewasa di sekitarnya. Budaya juga ikut mempengaruhi seseorang untuk memperlakukan anak-anak.

Puisi Dorothy, yang adalah pakar pendidikan dan ahli konseling keluarga ini, tentunya dipahami bahwa tindakan-tindakan negatif yang dilakukan oleh orang tua (orang dewasa) disekitar anak-anak akan mempengaruhi perilaku dari anak-anak tersebut.

Kembali pada cerita diatas, kalimat kritik atau marah yang dilontarkan si ibu kepada anak kecil itu terdiri dari 2 (dua) kata yang salah satu arti katanya adalah tinja (hasil buangan). Mari kita berkalkulasi sedikit, misal dari kejadian yang kami lihat tersebut, si ibu masih berbelanja kira-kira 15 menit lagi, lalu, si ibu, karena belum puas, masih marah dalam 5 menit ke depan. Bayangkan mengucapkan kata negatif itu tidak membutuhkan waktu lebih dari 1 detik. Jadi, dalam 5 menit sudah 300 kata negatif yang anak ini dengar. Jika ia telah mendengar kata tersebut sejak usianya 7 tahun, meski (asumsi) ia belum paham arti kata tersebut namun ia tahu ia sedang dicemooh, maka tidak heran ia akan tumbuh seperti yang Dorothy tulis dalam puisinya.

Ironisnya adalah sering kali orang tua kaget ketika melihat anak-anak berperilaku kasar, ringan mengucapkan kata-kata cemoohan dan mulai membantah/membalas ucapan orang tua mereka. Pukulan akhirnya menjadi bahasa yang digunakan untuk menyampaikan maksud/keinginan agar dituruti/dipatuhi. Mengenai hasilnya, jika ini adalah sebuah cerpen, silahkan pembaca kompasiana menentukan hasil akhir dari cerpen ini.

Jika saya diminta untuk menuliskan hasil akhir nya, maka saya memilih bahwa pada akhirnya si anak menjadi seorang dewasa yang berpendidikan tinggi, berperilaku sopan, bertutur kata santun dan berkarakter baik.

Pertanyaannya, bagaimana hal tersebut terjadi? Ternyata si anak bertemu orang dewasa lain yang menghargai dirinya, mengajarkannya bertutur kata sopan, memujinya ketika ia melakukan hal yang baik meski hasilnya kurang sempurna, menegurnya dengan kata-kata yang membangun, mendorongnya untuk terus melakukan perbaikan-perbaikan.

Siapakah orang-orang itu? Orang-orang itu adalah masyarakat yang menyadari bahwa anak adalah pemimpin masa kini dan masa depan. Orang-orang dewasa yang memberikan teladan kepada si anak dalam masa tumbuhnya sehingga ia belajar banyak hal baik yang  bisa ia petik. Orang-orang dewasa yang secara bijak menggunakan kekuatan kata-kata positif untuk memperbaiki harga diri anak yang sempat terluka.

Tanggung jawab tersebut bukan hanya pada orang tua masing-masing atau guru atau pelatih atau pendidik  tetapi juga pada masyarakat yang menginginkan anak menjadi pemimpin yang berkualitas.

Anak, dikasihi or dikasari? Tentu pilihannya adalah dikasihi.

Children Learn What They Live
by Dorothy Law Nolte, Ph.D

If children live with criticism, they learn to condemn.
If children live with hostility, they learn to fight.
If children live with fear, they learn to be apprehensive.
If children live with pity, they learn to feel sorry for themselves.
If children live with ridicule, they learn to feel shy.
If children live with jealousy, they learn to feel envy.
If children live with shame, they learn to feel guilty.
If children live with encouragement, they learn confidence.
If children live with tolerance, they learn patience.
If children live with praise, they learn appreciation.
If children live with acceptance, they learn to love.
If children live with approval, they learn to like themselves.
If children live with recognition, they learn it is good to have a goal.
If children live with sharing, they learn generosity.
If children live with honesty, they learn truthfulness.
If children live with fairness, they learn justice.
If children live with kindness and consideration, they learn respect.
If children live with security, they learn to have faith in themselves and in those about them.
If children live with friendliness, they learn the world is a nice place in which to live.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun